Menggalang Pelokalan dalam Aksi Pengurangan Risiko Bencana
Aksi penanggulangan bencana membutuhkan usaha, biaya, koordinasi, dan program yang tertata dengan baik. Melibatkan warga lokal adalah strategi untuk mencapai ketepatan sasaran aktivitas pengurangan risiko di daerah rawan bencana.
Risiko bencana alam mengintai hampir seluruh daerah di Indonesia. Indeks Risiko Global (WRI) yang dikeluarkan oleh Konvensi Rangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) menunjukkan, Indonesia riskan terhadap pengaruh tektonik dan vulkanik lantaran berada dalam lingkar cincin api (ring of fire).
Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Indonesia, ring of fire adalah lingkaran api Pasifik yang melingkupi daerah pertemuan lempeng tektonik. Wilayah Indonesia yang dilalui ring of fire pun menjadi langganan gempa bumi hingga letusan gunung berapi.
Hal senada terungkap dalam laporan World Risk Report 2022, yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara paling rawan bencana ketiga di dunia. Indonesia mendapatkan skor dari WRI sebesar 41,46 poin. Besaran skor ini dilihat dari banyaknya angka kejadian bencana alam yang melanda Indonesia dalam setahun belakangan.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, sepanjang 2022 terdapat 3.531 peristiwa bencana alam di Indonesia. Bencana yang paling banyak terjadi adalah banjir, yakni 1.524 kejadian. Jumlah ini setara 43,1 persen dari total kejadian bencana nasional.
Selain banjir, terdapat pula 1.062 peristiwa cuaca ekstrem, 634 tanah longsor, 252 kebakaran hutan dan lahan, 28 gempa bumi, 26 gelombang pasang/abrasi, serta 4 peristiwa kekeringan.
Kendati demikian, pengalaman masyarakat Indonesia dalam menghadapi bencana bisa sangat berbeda-beda. Kemampuan bertahan dari bencana sangat dipengaruhi pengalaman dan faktor sosial yang ada di lingkungan sekitar.
Untuk mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan akibat bencana, masyarakat perlu memahami aksi-aksi pengurangan risiko bencana (PRB).
Dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Penilaian Kapasitas Daerah dalam Penanggulangan Bencana, PRB adalah salah satu tujuan dari kebijakan dan rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup, termasuk untuk pengelolaan sumber daya alam, tata guna lahan, dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Aksi PRB dapat dikatakan sebagai kegiatan yang membantu masyarakat dalam mengantisipasi, menghadapi, dan menanggulangi risiko bencana. Kegiatan ini dilakukan sesuai konteks sosial dan karakteristik masyarakat di dearah terdampak bencana.
Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2012 menyebutkan, salah satu dasar dari aksi PRB adalah kapasitas daerah. Tak pelak, aksi PRB membutuhkan pendekatan khusus dengan sudut pandang lokal.
Hal ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki lembaga swadaya masyarakat (NGO) dan pemangku kepentingan daerah setempat. Dalam hal ini, NGO sebagai entitas nirlaba berperan dalam mendampingi masyarakat dan pemerintah desa untuk melaksanakan aksi-aksi PRB.
Dalam acara World Humanitarian Summit 2016 silam, muncul kesepakatan berupa komitmen agar kerja-kerja humanitarian lebih efektif dan efisien. Hasil forum itu membawa perubahan bagi lanskap bantuan kemanusiaan. Agenda itu mendorong adanya pendanaan yang memadai, tepat waktu, dan dapat diprediksi.
Dalam agenda itu, muncul kesepakatan Grand Bargain. Kesepakatan itu adalah perjanjian antara lembaga kemanusiaan dan lembaga donor, dengan komitmen untuk membuat ekosistem aktivitas kemanusiaan yang lebih efektif dan efisien.
Grand Bargain berisi 10 rumusan kesepakatan terkait aktivitas kemanusiaan. Kesepakatan-kesepakatan itu meliputi perbaikan transparansi kegiatan, pemberian program pendanaan untuk lembaga lokal dan nasional, peningkatan koordinasi untuk program pendanaan, dan pengurangan risiko manajerial pada program pendanaan dengan tinjauan secara berkala.
Selanjutnya, yaitu peningkatan penilaian kebutuhan imparsial, revolusi partisipasi termasuk penerimaan bantuan kemanusiaan, peningkatan kolaborasi dalam humanitarian, mengurangi kontribusi donor, penyederhanaan persyaratan pelaporan, serta peningkatan keterlibatan aktor pembangunan dan humanitarian.
Pada 2021 lalu, terjadi pembaruan dari Grand Bargain menjadi Grand Bargain 2.0, karena praktik Grand Bargain sebelumnya berjalan kurang maksimal. Pembaruan kesepakatan itu meringkas 10 kesepakatan menjadi 2, yakni perbaikan sistem pendanaan kemanusiaan dan kepemimpinan lokal.
Lain dari itu, pada agenda World Humanitarian Summit, dibahas pula terkait perluasan peran aktor lokal dalam aksi kemanusiaan dan tanggap bencana yang disebut pelokalan.
Dalam riset yang dirilis oleh Pujino Centre bertajuk Pergeseran Sistem: Perjalanan Menuju Reformasi Kemanusiaan di Indonesia, aktor lokal adalah kelompok atau individu yang berbasis di daerah dan memiliki komitmen terhadap aksi penanggulangan dampak bencana.
Aktor lokal itu bisa terdiri dari individu, komunitas, maupun kelompok rentan yang meliputi ibu hamil, ibu menyusui, anak-anak, dan difabel. Riset yang sama menjelaskan pelokalan sebagai agenda yang mendorong aktor lokal lebih berperan secara dominan, sementara lembaga internasional berperan seminimal mungkin.
Sejauh ini, banyak pihak menilai pelokalan bisa mendorong respons krisis lebih cepat di daerah terdampak bencana. Pelokalan membuat aktor lokal berperan sebagai ujung tombak kegiatan pelokalan.
Keberadaan aktor lokal dalam respons krisis bisa mempermudah komunikasi dan pemetaan masalah dalam waktu yang lebih singkat, lantaran mereka lebih memahami konteks sosial budaya di wilayah setempat.
Peningkatan Kapasitas Aktor Lokal
Berbagai lembaga menggunakan konsep pelokalan dalam memberdayakan aktor lokal. Rumah Zakat, misalnya.
Lembaga ini memiliki beragam program pemberdayaan yang menjangkau berbagai daerah di Indonesia. “Jadi kami memang mengutamakan local heroes,” kata Head of Humanitarian Rumah Zakat Indonesia Al-Razi Izzatul Yazid, Selasa (21/2).
Pria yang kerap disapa “Ari” itu mengungkapkan, Rumah Zakat memiliki Program Desa Berdaya yang sudah menjangkau 1.700 lokasi di seluruh Indonesia. Dalam program itu, terdapat program-program turunan, seperti Desa Tangguh Bencana, Bank Sampah, dan Desa Bebas Stunting.
Rumah Zakat mempunyai jaringan berupa kantor cabang dan relawan yang mempunyai kapasitas untuk melakukan kegiatan PRB. Para relawan dan pengurus kantor-kantor cabang itu tidak mengandalkan pengurus Kantor Pusat Rumah Zakat yang berada di Kota Bandung, Jawa Barat.
Justru, aktor lokallah yang lebih diandalkan. Pengurus Kantor Pusat Rumah Zakat cukup melaksanakan fungsi supervisi. ”Makanya, kita membentuk forum relawan inspirasi. Di sana para relawan saling membantu dan menguatkan satu sama lain,” ujar Ari.
Salah satu pengalaman Rumah Zakat mengandalkan aktor lokal terdapat pada kasus bencana di gempa dan tsunami Kota Palu, Sulawesi Tengah, 2018 silam. Langkah Rumah Zakat dalam mengandalkan aktor lokal pada momentum tersebut dinilai berhasil menimbulkan respons krisis yang lebih efektif.
Ari melanjutkan, program-program PRB yang dilakukan Rumah Zakat bersama aktor lokal harus selaras dengan komitmen pemerintah desa. ”Kita lebih melakukan pendekatan secara kooperatif cost program-nya seperti apa, lalu kebutuhan seperti apa yang harus dilakukan. Semua stakeholder kita rangkul untuk menyukseskan program,” ucap Ari.
Akan tetapi, tidak selamanya aktor lokal bisa menjadi tumpuan program. Kadang kala, terjadi suatu kendala di lapangan, sementara warga setempat kurang memahami bagaimana penyelesaian krisis yang tepat.
Karena itu, Rumah Zakat melakukan edukasi untuk mengurangi kesenjangan pengetahuan yang ada. Tak hanya pelatihan, kegiatan yang edukatif juga dilakukan lewat forum-forum antarrelawan tingkat nasional, dan koordinasi antara relawan dengan pengurus pusat Rumah Zakat.
Sehubungan dengan sumber dana, sebagian besar anggaran operasional Rumah Zakat berasal dari dana sumbangan masyarakat. Tak jarang, lembaga ini juga mendapat kucuran dana dari program-program tanggung jawab sosial perusahaan. Dana tersebut dimanfaatkan untuk berbagai program Rumah Zakat, salah satunya Desa Berdaya.
Pertanggungjawaban pengelolaan dana dicantumkan dalam laporan tahunan. ”Tetapi, jika (donaturnya) secarai person, kita akan mengirim laporan yang ada ke pihak tersebut. Kalau dengan mitra, kita biasanya di suatu program akan merilis progress report di tiap acara,” tutur Ari.
Sementara itu, Program Manager Humanitarian Forum Indonesia (HFI), Widowati, mengatakan aktivitas pelokalan dalam isu PRB membutuhkan dukungan pemerintah. Khususnya, pemerintah daerah dan pemerintahan desa.
Peran pemerintah di level ini sangat penting, karena mereka bisa melihat permasalahan sesuai konteks yang ada di daerah dan menguasai anggaran pembangunan yang dibuat setiap tahun.
”Di daerah itu biasanya ada BPBD (badan penanggulangan bencana daerah) yang mempunyai anggaran untuk program-program pengembangan masyarakat. Akan tetapi, di sebagian daerah, (anggaran) BPBD biasanya sebagian besar keluar untuk operasional,” ucapnya pada Selasa (21/2).
Tersebab kesenjangan pengetahuan aktor lokal seputar PRB, maka ada dua aspek penting dalam penguatan pelokalan, yaitu peningkatan kapasitas dan jejaring. Selain pelatihan untuk aktor lokal yang terus ditingkatkan, para aktor lokal ini juga diarahkan untuk saling terkoneksi.
Jaringan yang terbentuk akan membantu para aktor lokal dalam berbagi sumber daya. Selanjutnya, para aktor lokal diharapkan bisa menjadi narasumber ihwal PRB bagi lingkungan di sekitarnya.
Ada dua opsi dalam peningkatkan kapasitas aktor lokal, yaitu menjadikan aktor itu sebagai seorang spesialis atau generalis. Dengan menjadi spesialis, seorang aktor lokal berarti menguasai pengembangan sistem peringatan dini. Sementara yang lainnya berkemampuan untuk mengkaji kebutuhan dan pemetaan sumber daya.
Perbedaan kemampuan ini akan saling melengkapi ketika para aktor lokal melakukan pendampingan terkait PRB di suatu wilayah. Meski demikian, aktor lain juga berkesempatan meningkatkan kemampuan, supaya masyarakat mendapatkan pengetahuan yang lebih komprehensif.
Dengan adanya pembagian antara spesialis dan generalis, akan terwujud sebuah jejaring yang kuat di daerah rawan bencana. ”Mereka itu akan saling melengkapi satu sama lain,” ungkap Widowati.
Kemudian, jejaring yang kuat antara aktor lokal, relawan, dan pihak-pihak lain juga memunculkan akan gerakan-gerakan advokasi terkait PRB. Gerakan ini mendorong adanya pembahasan mengenai isu risiko bencana dalam perencanaan pembangunan desa/daerah dalam bentuk regulasi.
Namun, terkadang terjadi penolakan dari pemangku kepentingan di daerah yang menjadi sasaran program PRB. Umumnya, hal itu disebabkan sosialisasi program yang kurang efektif, prasangka yang berlebihan terhadap latar belakang program respons bencana, maupun pemberian bantuan kemanusiaan.
Widowati pun kerap mengalami kendala ini. Ia mengantisipasi hal itu dengan melakukan pendekatan pelokalan.
”Kita minta bantuan orang lokal yang sudah mempunyai pemahaman yang sama, sehingga bisa diterima oleh masyarakat setempat. Selama ini berhasil, karena yang menyampaikan adalah tokoh masyarakat atau tokoh agama setempat dan mereka biasanya menggunakan bahasa daerah,” urainya.
Perbedaan kebutuhan juga dapat menimbulkan penolakan. Terkadang, tuntutan dan perencanaan awal dari lembaga donor bisa jadi berbeda dengan kebutuhan masyarakat di lapangan. ”Yang penting itu, kita harus mempertemukan, bagaimana keinginan mereka,” ujar Widowati.
Ia menambahkan, penting bagi aktor lokal untuk mengetahui perspektif anggaran. Pengetahuan tentang postur anggaran akan berguna untuk membuka akses bagi program-program PRB yang sebenarnya telah ada dalam anggaran pemerintah desa atau daerah setempat.
”Semisal di anggaran daerah ada peluang untuk pelaksanaan program PRB, nah itu bisa ditindaklanjuti,” imbuhnya.
Kemitraan Lokal
Pada sisi lain, Direktur RedR Indonesia, Benny Usdianto, mengatakan bahwa kemitraan dengan lembaga lokal perlu dimulai dari investasi pengetahuan tentang prinsip-prinsip kemanusiaan. Mitra yang dimaksud terdiri dari individu, komunitas lokal, maupun NGO yang berbasis di daerah setempat.
Untuk itulah, menurut Benny, setiap NGO perlu mengalokasikan anggaran khusus untuk pengembangan SDM. Dengan begitu, pengetahuan dan kemampuan mitra yang terlibat dalam kerja-kerja kemanusiaan akan terus bertumbuh.
Terkhusus dalam aksi PRB, pelibatan mitra lokal tidak terbatas pada kerja sama dengan NGO lokal saja. Pelibatan mitra lokal juga bisa berupa ajakan kepada komunitas-komunitas lokal untuk terlibat dalam aksi-aksi PRB.
Keberadaan komunitas-komunitas lokal ini akan membantu memperkuat respons masyarakat saat terjadi krisis. Komunitas yang dapat menjadi mitra aksi PRB bisa terdiri dari berbagai usia, terutama para pemuda. Kaum muda memiliki peranan yang kuat dalam aksi PRB, karena memiliki akses informasi yang lebih luas.
Akan tetapi, menurut dia, mencari mitra bukanlah hal yang mudah. Setiap NGO lokal maupun komunitas lokal biasanya memiliki kriteria tersendiri. Salah satu masalah yang kerap terjadi misalnya pola penanganan krisis yang berbeda antarlembaga.
Kalau semisal suatu lembaga tidak memenuhi standar PRB, kata Benny, mereka bisa digabungkan dalam suatu konsorsium. Dalam konsorsium itu, beberapa komunitas dan lembaga lokal akan digabung, kemudian saling berkoordinasi untuk menjalankan program PRB bersama.
”Joint capacity seperti itu akan membuat masyarakat lebih berdaya,” kata Benny. Menurutnya, konsorsium seperti ini akan memperkuat fungsi masyarakat sipil sebagai aktor yang tanggap bencana.
Pemimpin dalam konsorsium ini harus memahami prinsip dasar kemanusiaan, konteks sosial masyarakat setempat, dan alur kerja yang sistematis. ”Mereka harus punya komando yang paham cara koordinasi, bagaimana alurnya, bagaimana efektivitasnya,” kata Benny melanjutkan.
Transparansi Program
Dalam Grand Bargain 2.0, terdapat sebuah kesepakatan yang menyebutkan bahwa 25 persen dana dari lembaga donor bisa dikelola oleh masyarakat melalui sebuah lembaga lokal. Ini membuka ruang bagi masyarakat sipil agar bisa berdaya, dan memimpin dirinya sendiri untuk menyampaikan kebutuhan.
Dengan keberdayaan ini, maka transparansi pendanaan dalam sebuah program PRB akan lebih bisa dipercaya oleh masyarakat. Untuk itu, pemahaman aktor lokal dalam memetakan anggaran dan membuat strategi proposal atau bidding sangatlah penting.
Kemampuan ini juga akan membantu para aktor lokal untuk mengakses pendanan dan memperoleh kepercayaan dari lembaga donor. Proses pelokalan memungkinkan lembaga donor dan aktor lokal bisa saling bekerja sama.
Semua pihak dapat saling bersepakat tentang bagaimana seharusnya program PRB berjalan, dan bagaimana cara mengelola dana yang tersedia.
Namun, lembaga donor perlu berkompromi dengan pelaku pelokalan. Lembaga donor mesti menguatkan kapasitas para pelaku pelokalan terlebih dulu. Untuk tahap awal, lembaga donor bisa membantu aktor lokal dalam membuat proposal.
Kemudian, para aktor lokal harus menunjukkan integritasnya. Manajer Humanitarian dan Urusan Kebencanaan World Vision Timor Leste, Widya Setiabudi, mengatakan para aktor lokal perlu memperlihatkan akuntabilitasnya, baik kepada pihak donor, sesama pelaku kerja kemanusiaan, maupun masyarakat terdampak bencana.
Dalam aspek akuntabilitas ini, lembaga lokal biasanya didampingi oleh staf lembaga internasional atau lembaga nasional yang bekerja di lapangan. Pendampingan ini akan membantu komunitas lokal untuk memenuhi tuntutan akuntabilitas dalam kerja-kerja kemanusiaan.
Aksi pelokalan dalam program PRB juga hendaknya terbuka dengan kemitraan (partnership). Kemitraan ini perlu dijelaskan dengan detail, baik kepada lembaga donor, pemerintah daerah, maupun mitra lokal.
”Jangan cuma ditawarkan agenda belaka, tapi ikut diterangkan apa saja yang harus dilalui, apa pula kebutuhannya,” tutur Widya. Menurutnya, keterbukaan inilah yang disebutnya sebagai kemitraan yang setara. ”Inilah pelokalan yang sebenarnya menurut saya.”
Cerita Pelokalan
Bencana tsunami di Aceh pada 2004 lalu telah mengubah lanskap bantuan kemanusiaan, termasuk aksi PRB di Indonesia. Pada momen itu, hampir semua lembaga dari berbagai latar belakang ikut memberikan bantuan. Sebagai seorang aktivis, Widya pun turut berperan dalam kerja-kerja kemanusiaan di kawasan Serambi Mekkah itu.
”Di sana saya bertemu dengan orang-orang lokal, memetakan masalah, mencari solusi, dan mengandalkan mereka juga untuk program-program kami,” jelas Widya.
Situasi terbilang rumit, sebab saat itu Aceh juga lekat dengan isu Gerakan Aceh Merdeka. Banyak lembaga yang datang untuk membantu warga setempat. Tetapi, kegamangan sempat terjadi dalam proses pemberian bantuan, antara tetap melakukan advokasi hak asasi manusia, atau memulihkan kondisi masyarakat pasca tsunami.
Beberapa lembaga dan komunitas yang hendak memberikan bantuan pun akhirnya dikarbit untuk melakukan respons terhadap bencana alam. Banyak lembaga yang sebenarnya tidak memiliki latar belakang mitigasi, respons, maupun penanggulangan bencana.
Akhirnya, lembaga-lembaga itu pun harus memacu diri untuk bekerja maksimal dalam jangka waktu yang cukup singkat. ”Maka dari itu, kita harus mengembalikan putusan ke lembaga lokal. Apakah yang akan menjadi core business mereka ke depan,” ucap Widya.
Hal-hal seperti ini harus didiskusikan bersama dalam pelokalan. “Apakah mereka (lembaga penyalur bantuan) memahami prinsip imparsial atau mengetahui standar-standar humanitarian?” sambung Widya.
Tahun 2018, saat tsunami terjadi di Palu, banyak lembaga berskala nasional maupun internasional yang datang ke lokasi untuk membantu penanggulangan bencana.
Akan tetapi, banyak lembaga lokal di Palu yang tidak mendapat alokasi pendanaan dari lembaga-lembaga besar tersebut. Hal ini membuat lembaga-lembaga besar yang datang tidak mampu memenuhi syarat-syarat akuntabilitas. Karena itu, Widya menilai pengetahuan lokal harus diutamakan saat menyalurkan bantuan kemanusiaan.
Di luar itu semua, bagi Widya, pengalaman menanggulangi bencana bersama masyarakat di lapangan sangatlah berharga. Relasi Widya dengan warga setempat membuatnya mampu menelusuri persoalan sosial dan budaya yang ada.
Pengetahuan, desain program, dan kreativitas akan mencetuskan inovasi dalam aksi pelokalan, khususnya terkait aktivitas PRB. Ketiganya bisa dikombinasikan dengan pengetahuan lokal untuk menciptakan inovasi yang tepat guna.
Pelokalan bertujuan untuk menyelamatkan masyarakat yang terdampak bencana. Semua aktivitas PRB pun disesuaikan dengan karakter dan kebutuhan masyarakat setempat. Gerakan ini harus dilakukan dengan tepat sasaran, dan sedapat mungkin menghindari miskomunikasi. Tujuannya, agar efek bantuan yang dirasakan oleh masyarakat bisa maksimal.
”Bila dengan terlalu mengandalkan lembaga lokal tetapi memperlambat aksi kemanusiaan, maka tindakan pertolongan harus lebih didahulukan dan (aktivitas) pelokalan bisa berjalan selanjutnya,” pungkas lulusan Master Studi Pembangunan dari Kimmage Development Studies Center Irlandia itu.