Mewujudkan Ketahanan Energi Nasional di Era New Normal
Tim Riset dan Publikasi Katadata
2 Desember 2020, 14.21
21 April 2020 akan menjadi catatan penting dalam sejarah industri minyak dan gas bumi (migas) global. Untuk pertama kalinya dalam sejarah perjalanan “emas hitam”, harga minyak mentah berjangka Amerika Serikat (AS) untuk kontrak Mei anjlok hingga di bawah US$ 0 per barel.
Dilansir dari Reuters, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) minus US$ 37,63 per barel saat bursa perdagangan ditutup. Para pedagang merasa putus asa karena stok minyak di kilang-kilang sangat berlebih. Mereka rela membayar pembeli untuk mengurangi pasokan tersebut. Setali tiga uang menimpa minyak Brent. Meski tak sedalam WTI, harga minyak Brent turun US$ 2,51 per barel atau sekitar 9 persen menjadi US$ 25,57 per barel.
Guncangan hebat terhadap harga minyak disebabkan pandemi Covid-19 yang meluluhlantahkan perekonomian dunia. Kebijakan karantina wilayah atau lockdown membuat aktifitas di berbagai belahan dunia menurun. Secara otomatis memangkas permintaan minyak, sementara pasokan berlimpah.
Kondisi tersebut memukul pelaku industri hulu migas. Berdasarkan analisis perusahaan riset dan intelijen bisnis energi, Rystad Energy, perusahaan hulu migas diproyeksikan akan kehilangan pendapatan US$ 1 triliun pada 2020. Tahun lalu industri eksplorasi dan produksi migas global mencatatkan pendapatan US$ 2,4 triliun namun tahun ini diperkirakan anjlok menjadi US$ 1,47 triliun. Adapun pada 2021, pendapatan diproyeksikan US$ 1,79 triliun. Lebih rendah dari proyeksi sebelum pandemi sebesar US$ 2,52 triliun.
Dahsyatnya imbas pandemi membuat perusahaan-perusahaan migas mengambil langkah cepat untuk menjaga keberlanjutan bisnis mereka. Anggaran belanja modal (capital expenditure) dipangkas. Berdasarkan catatan International Energy Agency (IEA), raksasa migas global seperti Shell, Chevron, Total, dan British Petroleum (BP) memangkas belanja modalnya hingga 20 persen.
Anggaran belanja Shell untuk 2020 awalnya sebesar US$ 25 miliar. Kemudian dikurangi menjadi US$ 20 miliar. Untuk periode yang sama, Chevron mengurangi belanja modal dari US$ 20 miliar menjadi US$ 16 miliar, Total mengurangi dari US$ 18 miliar menjadi US$ 14,4 miliar, dan BP memangkas dari US$ 15 menjadi US$ 12 miliar.
Perusahaan migas negara seperti Saudi Aramco memangkas anggaran dari US$ 35 miliar menjadi US$ 25 miliar dan Petrobas dari US$ 12 miliar menjadi US$ 8,5 miliar. Revisi anggaran berdampak terhadap penundaan proyek-proyek migas besar seperti Lapangan Whale di Teluk Meksiko yang dioperasikan oleh Shell. Atau Lapangan North Platte yang dioperasikan Total di lokasi yang sama.
Bila ditarik ke belakang dalam rentang satu dekade terakhir, industri migas global setidaknya mengalami dua kali hantaman telak. Pertama, anjloknya harga minyak dari kisaran US$ 90 per barel pada 2014 menjadi kisaran US$ 50 barel pada 2015. Hingga saat ini, harga minyak belum bisa naik ke level yang sama dengan 2014.
Kedua, pandemi yang melanda dunia pada awal 2020. Permintaan yang menurun drastis membuat stok di kilang-kilang berlimpah. Alhasil harga minyak terkontraksi. Bahkan harga minyak WTI untuk pertama kali dalam sejarah mencatatkan minus.
Lesunya industri migas diproyeksikan masih akan berlanjut. Lembaga statistik energi pemerintah Amerika Serikat (US Energy Information Administration/EIA) memproyeksikan harga minyak Brent pada 2020 masih rendah di kisaran US$ 40,5 per barel. Turun 37 persen dibandingkan 2019 yang sebesar US$ 64,4 per barel.
Situasi yang terjadi membuat perusahaan-perusahaan migas mesti mengencangkan ikat pinggang. Kalkulasi investasi dilakukan secara cermat pada proyek-proyek strategis yang mampu menopang keberlanjutan bisnis perusahaan.
Lansekap Industri Hulu Migas Global
Lansekap industri hulu migas global secara otomatis terpengaruh oleh pandemi. Seperti dilansir dari Forbes, jika keseimbangan antara pasokan dan pemintaan belum menemukan titiknya maka upaya perusahaan migas untuk meningkatkan pendapatan masih akan menghadapi tantangan.
Untuk bergerak ke fase selanjutnya, perusahaan perlu menata ulang strategi dan memperkuat inti bisnis mereka. Caranya fokus pada penggunaan teknologi dan “cara baru” dalam bekerja. Sebab perusahaan mesti melakukan efisiensi biaya dan kegiatan operasional.
Industri migas juga dihadapkan pada isu transisi energi. Disrupsi ekonomi akibat pandemi dan pengurangan karbon atau dekarbonisasi akan mengerek turun permintaan migas. Berbagai negara akan meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan dan kendaraan listrik sebagai bagian untuk mendorong perekonomian.
Sebagai gambaran, paket stimulus yang dikeluarkan Amerika Serikat pada 2009 untuk investasi energi terbarukan telah dikembangkan hingga lebih dari US$ 100 miliar. Transisi energi akan menjadi proses realokasi modal dalam jumlah besar dan perusahaan migas akan beradaptasi terhadap hal ini.
Menurut laporan lembaga riset energi Wood Mackenzie yang dikutip dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), keputusan investasi akan didasarkan pada kesehatan keuangan, ketahanan portofolio bisnis, dan transisi energi. Berdasarkan data dari lembaga riset energi tersebut, pada periode 2020-2025 investasi di sektor hulu migas global akan berkurang US$ 500 miliar.
Hulu Migas di Asia Tenggara
Pengencangan ikat pinggang yang dilakukan perusahaan migas akibat pandemi sudah berlangsung. Wilayah Asia Tenggara tidak luput dari lesunya investasi. Dilansir dari Phnompenhpost.com, pengembangan Lapangan Migas Aspara di lepas pantai Kamboja melambat.
Di Filipina, melansir dari Powerphilippines.com, Departemen Energi (DOE) memutuskan untuk menunda lelang cekungan Mindoro-Cuyo. Selain itu, dikutip dari Reuters, perusahaan energi nasional Thailand, PTT Exploration and Production (PTT EP), diproyeksikan tidak akan mencapai target perjualan karena pandemi dan anjloknya harga minyak. Perusahaan juga mempertimbangkan untuk menunda pelaksanaan sejumlah proyek.
Penerimaan negara yang bergantung pada sektor migas juga terancam menurun. Berdasarkan laporan ASEAN Centre for Energy (edisi 1 Januari-30 April 2020), Malaysia berpotensi kehilangan pendapatan sekitar RM 30,9 miliar atau sekitar US$ 7,4 miliar. Brunei Darussalam juga mereview untuk memangkas produksinya yang mana hal ini akan berdampak terhadap penerimaan negara.
Industri Hulu Migas Indonesia
Menurunnya performa industri migas global turut berdampak kepada Indonesia. Berbagai proyek migas besar di Tanah Air harus tertunda. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun memutuskan menggeser lelang wilayah kerja (WK) migas yang seharusnya dilakukan pada tahun ini ke kuartal pertama tahun depan.
Ada 12 WK migas baru yang akan dilelang pada awal 2021. Sebanyak dua WK merupakan laut dalam, lima WK penawaran langsung, dan lima WK lelang reguler. WK penawaran langsung memiliki potensi minyak 2.232,8 juta barel (MMBO) dan gas 4.420 miliar kaki kubik (BCF). Adapun WK lelang reguler memiliki potensi 1.203,7 MMBO dan 586,9 BCF.
Sejatinya Indonesia masih memiliki potensi cadangan migas yang mumpuni. Saat ini terdapat 128 cekungan sedimen yang tersebar di wilayah Barat dan Timur. Berdasarkan data SKK Migas, di wilayah Barat ada 20 cekungan yang dieksplorasi dan terdapat penemuan, 14 cekungan sudah dieksplorasi tapi tidak ada temuan, dan 28 cekungan belum dieksplorasi.
Adapun di wilayah Timur terdapat delapan cekungan yang yang sudah dieksplorasi dengan penemuan, 16 cekungan sudah dieksplorasi namun tidak ada temuan, dan 42 cekungan belum dieksplorasi.
Secara keseluruhan, potensi cadangan minyak di wilayah Barat sebanyak 683 miliar barel setara minyak (BBOE) dan gas sebesar 47,2 BBOE. Sedangkan di wilayah Timur cadangan minyak sebesar 20 BBOE dan gas sebesar 50,45 BBOE. Meskipun jumlah blok aktif di Indonesia Timur lebih rendah dibandingkan Indonesia Barat, kawasan tersebut memiliki prospek cadangan gas yang cukup tinggi.
Menurut Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno seperti dilansir dari Katadata.co.id, saat ini SKK Migas tengah fokus pada 12 wilayah yang diproyeksikan memiliki potensi migas. Antara lain North Sumatra, Central Sumatra, South Sumatra, NE Java-Makassar Strait, Tarakan Offshore, Kutai Offshore, Makassar Strait Area, Buton Offshore, Timor-Tanimbar-Semai, Northern Papua, Bird's Body, dan Warim.
Dari 12 wilayah tersebut setidaknya lima di antaranya berada di kawasan timur. Proses joint study di wilayah tersebut tengah dilakukan oleh SKK Migas bersama dengan Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM.
"Semuanya sedang berproses. Nanti kita lihat hasilnya satu hingga dua tahun lagi. Ini masih menjanjikan," ujar Julius.
Adapun pada tahun ini, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Kementerian ESDM telah merekomendasikan 12 dari 38 wilayah hasil survei seismik yang dilakukan selama 2015-2019. Sebanyak 12 rekomendasi WK migas itu terdiri dari Teluk Bone Utara dengan potensi sumber daya minyak 239,79 juta barel (MMBO) dan gas sebesar 1,16 triliun kaki kubik (TCF) serta Misool Timur dengan potensi minyak 69,94 MMBO dan gas 0,26 TCF.
Selain itu ada WK Alsy dengan potensi minyak 750 MMBO dan gas 0,9 TCF, WK Mamberamo dengan potensi gas 7,58 TCF, WK Boku dengan potensi minyak 930 MMBO dan gas 1,1 TCF, serta WK Buru dengan potensi minyak 118,54 MMBO dan gas 0,12 TCF.
WK Aru-Tanimbar Offshore memiliki potensi gas 0,14 TCF, WK Biak dengan potensi minyak 8,44 MMBO dan gas 0,01 TCF, WK Wamena dengan potensi minyak 263,75 MMBO dan gas 0,4 TCF, WK Sahul dengan potensi minyak 150,75 MMBO dan gas 0,18 TCF, WK Selaru dengan potensi minyak 4.060 MMBO dan gas 4,8 TCF, serta WK Arafura Selatan dengan potensi minyak 6.144,54 MMBO dan gas 7,36 TCF.
Seperti dikutip dari Katadata.co.id, Kepala Bidang Migas Pusat Survei Geologi Badan Geologi Kementerian ESDM Edy Slamento mengatakan, pada 2021 akan dilaksanakan satu kegiatan akuisisi seismik 2D yang difokuskan di Cekungan Pangkal Bun Selatan. Diharapkan kegiatan eksplorasi pada tahun depan bisa menghasilkan rekomendasi WK migas.
Upaya mengoptimalkan potensi cadangan migas yang dimiliki perlu dikelola dengan baik. Apalagi perusahaan migas global maupun nasional tengah melakukan upaya efisiensi. Itu artinya mereka akan menanamkan modalnya pada proyek-proyek yang mendatangkan keuntungan besar.
Oleh karenanya hal tersebut perlu didukung dengan iklim investasi yang menarik. Mengurai berbagai hambatan dan mengatasi tantangan. Mengingat, konsumsi minyak dan gas bumi diproyeksikan terus meningkat. Sesuai Rencana Umum Energi Nasional, porsi migas dalam bauran energi nasional masih mendekati 50 persen pada 2050.
Tantangan Mewujudkan Ketahanan Energi
Meski memiliki potensi migas yang menjanjikan, Indonesia punya pekerjaan rumah. Terutama untuk mewujudkan ketahanan energi di masa depan. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) porsi migas masih cukup besar dalam memenuhi kebutuhan energi nasional.
Pada 2030, komposisi kebutuhan energi nasional ialah energi baru terbarukan (EBT) sebesar 25,6 persen, batubara sebesar 29,6 persen, gas bumi sebesar 21,8 persen, dan minyak bumi sebesar 23 persen. Sedangkan pada 2050, komposisinya adalah EBT sebesar 31,2 persen, batubara sebesar 25,3 persen, gas bumi sebesar 24 persen, dan minyak bumi sebesar 19,5 persen.
Namun, produksi migas sulit mengejar peningkatan konsumsi. Mengacu data RUEN, pada 2030 kebutuhan minyak mentah domestik diperkirakan sebesar 2.538,3 ribu barel per hari (MBOPD). Sedangkan produksinya diperkirakan hanya 676,5 MBOPD. Artinya ada gap yang cukup besar. Produksi hanya cukup menutupi kebutuhan minyak sekitar 27 persen.
Adapun kebutuhan gas bumi domestik pada 2030 diproyeksikan mencapai 11.338,6 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Sementara produksi gas bumi sebesar 5.808,1 MMSCFD. Hanya bisa menutupi sekitar 51 persen dari kebutuhan.
Kondisi tersebut tentunya menjadi alarm bagi Indonesia. Pasalnya gap yang besar mesti ditutup dari impor. Impor yang lebih besar daripada ekspor tentu dapat mengganggu perekonomian nasional. Neraca migas yang defisit akan berdampak terhadap defisit transaksi berjalan. Pun akan mengganggu kestabilan rupiah sebab impor yang besar bisa menggerus cadangan devisa negara. Namun upaya untuk mewujudkan ketahanan energi bukan perkara mudah. Laju produksi terus menurun. Begitupun dengan cadangan migas.
Kementerian ESDM mencatat, cadangan minyak Indonesia mencapai 3.775 miliar barel dan gas 77 triliun kaki kubik pada 2019. Apabila tidak ada pencarian kandungan migas baru dengan tingkat produksi minyak sebesar 745 MBOPD dan gas sebesar 1.282 juta barel sejara minyak (MMBOE), maka cadangan minyak hanya cukup 9,2 tahun dan gas 21,9 tahun.
Defisit Neraca Minyak Indonesia Kian Melebar
Menjaga Laju Produksi
Demi menjaga laju produksi, beberapa strategi dijalankan. Antara lain mendorong eksplorasi yang masif dan intensif untuk penemuan sumur baru, pengelolaan lapangan dan aset-aset tua, serta optimalisasi pengelolaan blok-blok transisi. Selain itu mengakselerasi monetisasi proyek-proyek utama untuk menghasilkan migas.
Guna menahan penurunan produksi alami, penting pula menjaga keandalan fasilitas produksi, perawatan sumur, reaktivasi sumur tidak berproduksi, dan inovasi teknologi.
SKK Migas bersama Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas berkomitmen untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi. Salah satunya dengan melaksanakan survei seismik 2D terbesar di Asia Pasifik. Melalui komitmen kerja pasti Wilayah Kerja (WK) Jambi Merang dengan target 30.000 kilometer (km), pelaksanaan survei seismik tersebut akan melewati area yang berpotensi menjadi giant discovery.
Pemanfaatan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) di lapangan tua juga dilakukan. Teknologi tersebut diproyeksikan dapat menambah produksi sebesar 1,5 miliar barel cadangan migas Indonesia. Meski demikian, EOR membutuhkan teknologi tingkat tinggi yang berdampak pada mahalnya biaya produksi per barel. Oleh karenanya diperlukan insentif fiskal.
Upaya menjaga laju produksi meniupkan angin segar. Lifting migas Indonesia per September 2020, mencapai 706 MBOPD untuk lifting minyak dan 5.502 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) untuk lifting gas.
SKK Migas mampu menjaga target produksi migas nasional di atas target produksi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sepanjang 2015-2019. Langkah ini selalu diusahakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dengan mendukung kecukupan energi.
"Dengan capaian produksi di atas RUEN, volume minyak yang perlu diimpor Indonesia dapat ditekan sehingga membantu mengurangi defisit anggaran Pemerintah," ujar Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto pada diskusi UPbringing Live Session: Meet the Expert yang diselenggarakan oleh Indonesia Strategic Management Society Universitas Pertamina.
Pencapaian tersebut diharapkan dapat mendukung upaya SKK Migas mewujudkan produksi minyak 1 juta barel pada 2030.
"Kami berharap visi SKK Migas ini menjadi visi nasional yang dapat didukung oleh seluruh pihak sehingga mimpi produksi 1 juta barel minyak di tahun 2030 dapat kita capai," ujar Dwi.
Iklim Investasi yang Baik
Kegiatan eksplorasi dan produksi migas di Tanah Air tentunya perlu didukung dengan iklim investasi yang baik. Menurut Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, ada tiga isu besar di sektor hulu migas. Pertama, sumur dan fasilitas produksi migas yang telah menua menyebabkan tingkat penurunan alamiah yang tinggi.
Kedua, kegiatan eksplorasi yang masih belum memadai ditandai dengan tingkat rasio kesuksesan yang semakin kecil. Ketiga adalah kemudahan berusaha di mana isu birokrasi, risiko ketidakpastian hukum, penghapusan prinsip assume and discharge, dan adanya ketidakpastian kebijakan fiskal berdampak pada kegiatan usaha.
Menurut SKK Migas, investasi di industri hulu migas Indonesia seringkali terhambat oleh proses birokrasi yang berbelit-belit. Operator perlu mendapatkan 178 lisensi dan izin yang berbeda dari berbagai lembaga pemerintahan dari fase eksplorasi awal (seismik dan pengeboran) hingga mencapai fase operasional. Tentu hal ini dianggap cukup memberatkan.
“Jika dibandingkan dengan negara-negara penghasil migas lainnya, proses lisensi dan perizinan di Indonesia dua sampai empat kali lipat lebih lambat dan rumit,”ujar Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto.
Terlebih lagi, persoalan investasi migas di Indonesia semakin kompleks ketika pandemi Covid-19 melumpuhkan perekonomian dunia. Perusahaan migas semakin mengetatkan ikat pinggang. Belanja modal dikurangi yang berdampak pada penurunan investasi. Indonesia pun tak luput dari dampaknya. Apalagi, lelang WK migas diundur ke kuartal I tahun 2021.
Oleh karena itu, solusi jangka pendek maupun panjang diperlukan untuk mengantisipasi kondisi ini. Pemerintah memberikan paket stimulus bagi pelaku usaha migas seperti penundaan pencadangan biaya Abandonment and Site Restoration (ASR), tax holiday, dan pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) liquefied natural gas (LNG)
Selain itu menghapuskan biaya pemanfaatan kilang LNG Badak sebesar US$ 0,22/MMBTU, mengurangi pajak-pajak tidak langsung, pembebasan bea masuk, hingga memberikan insentif hingga batas waktu tertentu.
Menurut Vice President Commercial and Business Development ConocoPhillips Taufik Ahmad, kebijakan ini menjadi kabar baik bagi investor hulu migas. "Selain jenis PSC yang fleksibel dan fiscal term yang menarik, yang juga penting bagi investor hulu migas adalah adalah proses bisnis yang efisien," ujarnya.
Adapun untuk rencana jangka panjang, penting untuk mendorong penyederhanaan birokrasi dan perizinan, serta meningkatkan kepastian dan daya saing sistem fiskal.
Transformasi SKK Migas
SKK Migas menjadi salah satu ujung tombak dalam mewujudkan ketahanan energi nasional. Semakin menipisnya pasokan migas di masa depan menjadi ancaman serius. Demi mengantisipasi hal tersebut, SKK Migas terus bersinergi melakukan berbagai inovasi dan beradaptasi dengan berbagai tantangan.
Salah satu upaya yang digalakkan ialah meningkatkan investasi. Ini penting mengingat SKK Migas tengah mengusung program produksi minyak 1 juta barel per hari (BOPD) pada 2030. Oleh karenanya SKK Migas akan berupaya menggaet investasi untuk mencapai target produksi. Dengan begitu gap antara produksi dan konsumsi bisa ditekan.
"Kami akan mencoba menarik investasi baru secara massif mencapai US$ 70 miliar," ujar Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dalam sebuah diskusi virtual pertengahan Agustus lalu.
Kinerja sektor hulu migas nasional sendiri menunjukkan optimisme sepanjang tahun 2019 hingga 2020. Di antaranya adalah penemuan migas terbaru di cekungan Jawa Barat, yaitu Sumur Eksplorasi Pertamina EP Akasia Prima-01 dengan potensi sumber daya mencapai 18 juta barel setara minyak (MMBOE).
Selain itu, penambahan cadangan sebesar 367 MMBOE mengerek naik tingkat Reserve Replacement Ratio (RRR) Indonesia menjadi di atas 100 persen. Sebuah pencapaian dalam tiga tahun berturut-turut.
Demi mendukung kegiatan eksplorasi, SKK Migas juga aktif melakukan survei seismik. Pada 2020, SKK Migas telah merealisasikan kegiatan survei seismik terpanjang di Asia Pasifik dalam 10 tahun terakhir dengan angka realisasi sepanjang 20.686 km. Adapun realisasi ini meningkat 3 kali lipat dibanding tahun 2019 yang hanya mencapai 7.050 km.
Guna mempertahankan kinerja hulu migas demi mewujudkan ketahanan energi nasional, SKK Migas terus melakukan berbagai transformasi untuk memperbaiki industri migas di Tanah Air.
Dari sisi produksi, beberapa langkah yang dilakukan SKK Migas di antaranya adalah mempertahankan dan meningkatkan nilai aset yang dimiliki Indonesia saat ini. Salah satu upaya mewujudkan visi tersebut adalah dengan memaksimalkan pengeboran sumur sebagai upaya kontribusi terhadap pencapaian target produksi 1 juta BOPD.
Pada tahun ini, sebanyak 400 sumur migas telah dibor dan ditargetkan dapat mencapai 1.000 hingga 1.200 sumur pada 2030 nanti. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengoptimalkan produksi dari sumur-sumur tersebut adalah dengan manajemen downtime. Ini untuk memastikan operator meminimalisir hilangnya peluang produksi. Sementara demi mengoptimalkan biaya operasional, dilakukan manajemen operasi strategis.
Selain itu, SKK Migas juga akan mengoptimalkan peremajaan sumur dan lapangan yang tidak aktif (idle) dan efisiensi produksi melalui restorasi. Saat ini, sumur idle berjumlah kurang lebih 30 persen dari total profil sumur di Indonesia.
Adapun strategi dalam mengelola blok-blok migas yang akan melewati masa terminasi ialah memastikan ketepatan waktunya. Hal itu dilakukan dengan memastikan kelancaran proses pemindahtanganan aset serta memperkirakan kemungkinan penghalang yang dapat menghambat kinerja blok, terutama sehubungan dengan kapabilitas produksi.
Selanjutnya, SKK Migas juga mendorong transformasi sumber daya menjadi produksi yang diusahakan melalui tiga komponen, yaitu plan of development (POD), commercial exercise, dan percepatan pengembangan undeveloped discoveries.
Ada pula proyek Enhanced Oil Recovery (EOR) yang masih menjadi salah satu fokus SKK Migas. SKK Migas saat ini memastikan peningkatan recovery factor dengan beberapa lapangan yang siap beroperasi sesuai roadmap.
2019 | Tanjung polymer and surfactant field trial |
---|---|
2022 | Gemah CO2 field trial |
Minas 1st stage full scale chemical EOR | |
2024 | Gemah full scale CO2 EOR |
2026 | Sukowati full scale CO2 EOR |
2027 | Rantau and Jirak full scale chemical EOR |
Strategi eksplorasi untuk mendapatkan giant discoveries juga menjadi fokus mengingat fakta bahwa Indonesia masih memiliki potensi migas mencapai 783 miliar barel setara minyak (BBOE) di 42 lapangan berstatus PSE (penentuan status eksplorasi) hingga 2030. SKK Migas bertindak sebagai promotor untuk aktivitas eksplorasi ini.
Dari sisi manajemen operasional dan keekonomian, SKK Migas juga berupaya mewujudkan penerapan sistem manajemen proyek berskala internasional yang efisien di seluruh area operasi. Adapun guna meningkatkan kelayakan ekonomi industri hulu migas, SKK Migas memastikan basis biaya yang kompetitif dan berkelanjutan. Dipastikan pula keberlanjutan infrastruktur vital saat proses pengalihan kepemilikan blok antar operator yang selama ini berisiko ditinggalkan pasca kontrak selesai.
Demi meningkatkan daya saing dan kualitas pemasok nasional dalam bisnis migas, SKK Migas juga mendorong penggunaan produk lokal dalam proyek hulu migas. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) industri hulu migas dalam lima tahun terakhir berkisar antara 58-60 persen.
SKK Migas juga mendorong kegiatan penutupan fasilitas dan memulihkan kondisi lingkungan sekitar fasilitas atau decommissioning melalui abandonment and site restoration (ASR) yang efisien dan kolaboratif.
Caranya dengan menyusun strategi jangka pendek, menengah, dan panjang guna memastikan keberlanjutan proses rantai nilai (value chain) di industri hulu migas. ASR merupakan hal penting dalam aspek keselamatan, rancangan, dan pengelolaan aset yang sudah tidak terpakai.
Digitalisasi dan strategi data juga menjadi upaya SKK Migas agar permasalahan yang muncul di setiap blok dapat secara cepat ditangani. Serta untuk meningkatkan ketersediaan informasi dari industri kepada investor. Strategi ini termasuk standardisasi data dan teknik pengumpulan data, serta memperkenalkan fungsi data scientist ke dalam organisasi SKK Migas.
Realisasi yang dilakukan dengan membentuk Integrated Operation Center (IOC). Sebuah sistem yang dapat melakukan day to day monitoring operation secara real time sehingga memudahkan SKK Migas mendapatkan akses data setara KKKS sebagai operator dalam pelaksanaan pengelolaan kegiatan di wilayah operasi KKKS.
“Dengan data yang real time, tidak ada lagi yang disembunyikan, oleh karena itu kami mengajak KKKS untuk lebih melihat adanya peluang dari integrasi data ini melalui peningkatan kolaborasi yang lebih intens antara SKK Migas dan KKKS. Mari kita kaji setiap potensi yang ada dan bersama-sama kita melakukan best effort,” kata Dwi Soetjipto.
SKK Migas juga akan memfasilitasi kerja sama dan aliansi strategis antara operator dan penyedia teknologi guna mengurangi kesenjangan kapabilitas serta menaikkan tingkat produksi.
Meningkatkan nilai melalui teknologi dan inovasi melalui kolaborasi pengetahuan dan penelitian lintas industri melalui focus group discussion (FGD) rutin, diskusi roundtable, penelitian bersama, penggalangan dana bersama, dan peningkatan publikasi. Selain itu, juga membuat akses terhadap teknologi dan kapabilitas menjadi lebih terjangkau, terutama dari sisi biaya.
Dalam rangka meningkatkan investasi juga dirancang beragam insentif pajak untuk beragam jenis proyek. Seiring dengan itu SKK Migas berupaya meningkatkan komersialisasi gas mengingat banyaknya jumlah sumber daya gas yang masih dimiliki Indonesia. Caranya melalui peningkatan keterikatan dengan pembeli.
Adapun dalam merespon dampak yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19, SKK Migas melakukan berbagai penyesuaian kebijakan. Dengan begitu asa bisnis migas Indonesia tetap terjaga.
Transformasi yang dilakukan SKK Migas bisa merupakan angin segar untuk menjaga iklim investasi migas Indonesia tetap atraktif. Dengan begitu Indonesia tetap dilirik oleh investor meskipun industri migas global tengah lesu. Mengingat investasi hulu migas terutama dalam kegiatan eksplorasi merupakan faktor penting untuk meningkatkan dan mempertahankan laju produksi.
Di sisi lain dengan investasi yang besar, diharapkan akan mendorong terciptanya efek berganda pada perekonomian nasional. Mengingat migas merupakan sektor yang berkontribusi besar dalam pembangunan Indonesia.
Sebagai upaya mendapat komitmen dari seluruh pemangku kepentingan untuk mendukung dan mewujudkan industri hulu migas sebagai pilar utama pembangunan dan ekonomi nasional, SKK Migas akan melaksanakan 2020 International Convention on Indonesian Upstream Oil & Gas yang digelar pada 2-4 Desember 2020.
SKK Migas menargetkan sebanyak 5.000 peserta dapat tergabung dalam konvensi ini mulai dari pemerintah selaku pemegang kebijakan, akademisi, serta pelaku bisnis hulu migas nasional dan internasional.
Beberapa topik yang akan dibahas antara lain, sudut pandang global terhadap transformasi hulu migas di Indonesia, adaptasi industri hulu migas terhadap perubahan dan ketahanan energi nasional, serta rumusan rincian kegiatan untuk memastikan keberhasilan pencapaian target di 2030.
Tim Produksi
PenulisArofatin Maulina Ulfa, Anshar Dwi Wibowo
EditorAnshar Dwi Wibowo
Teknologi InformasiFirman Firdaus, Christine Sani, Donny Faturrachman, Maulana
Desain GrafisMuhamad Yana, Nunik Septiyani
FotoArief Kamaludin