Credit: KUD Tani Subur

Petani sawit swadaya masih menemui kendala untuk mendapatkan sertifikasi.

Indonesia berkontribusi terhadap 50,6 persen pasokan CPO global. Jutaan metrik ton crude palm oil (CPO) Indonesia dikirim ke berbagai belahan dunia. Pasar global mensyaratkan setiap negara eksportir, termasuk Indonesia, hanya menjual CPO bersertifikasi sebagai bukti komitmen prinsip berkelanjutan dan memastikan produk telah melewati proses standardisasi yang ditetapkan.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, petani swadaya mengelola 41 persen lahan perkebunan sawit di Tanah Air. Angka tersebut menempatkan petani swadaya dalam posisi yang strategis, mulai dari mitra potensial industri biodiesel, makanan, dan oleokimia.

Peranan strategis petani lainnya, yakni memenuhi kebutuhan sawit tanpa memperluas lahan, letak kebun dekat dengan pabrik, dan juga dapat mengurangi emisi transportasi.

Melibatkan petani swadaya dalam rantai pasok CPO secara nasional maupun global bukan hanya bermanfaat bagi petani, tapi juga bagi perusahaan dan pemerintah. Bagi petani, akan ada kepastian harga, bantuan bibit dan pupuk, dan kenaikan harga jual tandan buah segar (TBS).

Bagi perusahaan, mengikutsertakan petani swadaya berarti juga memenuhi kebutuhan lahan dan bahan baku, menghemat biaya produksi, serta menerapkan bisnis berkelanjutan. Adapun untuk pemerintah, ada jaminan produksi berkelanjutan, memastikan bahan baku, juga transparansi dan terlacaknya rantai pasok.

Meskipun memiliki posisi strategis dalam tata niaga CPO di Indonesia, petani swadaya masih menemui berbagai kendala di lapangan. Beberapa di antaranya kualitas hasil panen tidak sebagus milik perkebunan perusahaan, tidak dapat menentukan harga, juga sulit mengakses pabrik.

Menurut Peneliti Madani Berkelanjutan, Trias Fetra dalam wawancara dengan Katadata (15/9), legalitas lahan merupakan persoalan utama dari permasalahan petani swadaya. “Mengurus legalitas lahan susah, padahal ini dasar dari instrumen hukum,” kata dia.

Dia menambahkan bahwa jika tidak ada legalitas (STDB), ada potensi konflik, sulit mendapat subsisidi pupuk, dan produktivitas kebun menjadi rendah. “(ujung-ujungnya) Kesejahteraan rendah dan juga sulit bisa masuk dalam sertifikasi berkelanjutan.”

Kepala Sekolah Petani Forum Petani Kelapa Sawit Indonesia (Fortasbi), Rukaiyah Rafik, dalam wawancara dengan Katadata (3/8) menyebutkan, kelembagaan menjadi persoalan serius pada petani swadaya. “Apabila petani tidak bergabung dalam kelembagaan, petani tidak dapat bergabung dalam sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan,” kata Uki, sapaan akrab Rukaiyah.

Di Indonesia, terdapat dua lembaga sertifikasi sawit berkelanjutan. Di tingkat nasional ada ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) sejak 2011 dan cakupan global ada RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) sejak 2004. Sampai 2020, RSPO telah melakukan sertifikasi pada 8.063 petani, sedangkan ISPO sebanyak 20 petani.

Untuk RSPO, menurut Direktur RSPO Indonesia, Tiur Rumondang dalam wawancara dengan Katadata pada (4/8), per Juni 2021, ada 219 perkebunan sawit atau setara dengan 1.448.801 ha gabungan lahan perusahaan dan petani swadaya yang tersertifikasi RSPO. “Jika pemerintah Indonesia mau mendorong, kontribusi perkebunan berkelanjutan di Indonesia akan makin banyak,” katanya.

RSPO juga melakukan inovasi dengan menyederhanakan standar sertifikasi bagi petani swadaya per November 2019. “Kami memahami bahwa petani swadaya bukan tipe yang terbiasa dengan standardisasi, verifikasi lahan, capacity building,” ujar Tiur.

Dengan penyederhanaan persyaratan, petani swadaya yang bergabung dalam RSPO semakin banyak. Pada 2015 hanya tiga grup petani swadaya yang bergabung. Namun, pada 2021 bertambah menjadi 33 kelompok, dengan total lahan tersertifikasi seluas 20.014,5 ha.

Petani sawit memeriksa kondisi pohon sawit sebelum memanen. Credit: Katadata

Selain manfaat yang sudah disebutkan sebelumnya, RSPO juga memberikan insentif kepada petani bersertifikasi. Sampai 2021, insentif senilai Rp33 miliar didistribusikan kepada 33 kelompok petani swadaya dalam RSPO. Dana insentif ini, oleh kelompok tani dimanfaatkan juga untuk membentuk program inovasi sesuai kebutuhan warga sekitar.

Program umum yang ada di hampir seluruh wilayah sertifikasi, seperti simpan pinjam untuk mengakali sulitnya akses pinjaman ke bank, memfasilitasi pupuk dengan harga terjangkau ataupun gratis, serta bantuan sembako.

Selain itu juga terdapat inovasi program yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekitar. Misalnya pengadaan ambulans di Sumatra Utara, konservasi sungai dan beasiswa untuk anak kurang mampu di Jambi, dan sunatan massal di Kalimantan Barat. “Sertifikasi seperti pengalaman di banyak kelompok tani mengubah pola berpikir dan memberi impact lebih luas,” kata Uki.

  • 1 of 4
  • Next