Risiko Peningkatan Kadar Biodiesel Bagi Mesin Dan Polusi Udara
Rencana pemerintah mengembangkan biodiesel dengan kadar campuran minyak kelapa sawit sebesar 30 persen (B30), kemudian dilanjutkan dengan B40 dan terus meningkat menjadi B50 telah menimbulkan kekhawatiran pada dampak yang akan ditimbulkan. Dari sisi hilir, pengembangan biodiesel tersebut dikhawatirkan meningkatkan risiko pada kerusakan mesin kendaraan dan berdampak pada polusi udara.
Kekhawatiran itu setidaknya diungkapkan oleh Anggota Kompartemen Teknologi Otomotif Masa Depan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) Abdul Rochim. Ia mengungkapkan sejumlah risiko yang timbul dari penggunaan biodiesel dengan campuran minyak kelapa sawit yang semakin tinggi.
Pertama, bahan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) pada biodiesel mudah bercampur dengan air sehingga dapat menyebabkan pembakaran tidak maksimal pada mesin. “Biodiesel dengan kadar air tinggi bila masuk ke ruang bakar dapat mengakibatkan korosi dan tumbuhnya mikroba,” ujar Abdul dalam wawancara dengan Katadata, Selasa (4 Mei 2021).
Kedua, biodiesel mudah teroksidasi sehingga tidak tahan lama dan dapat menyebabkan korosi yang dapat merusak injektor pada mesin. Ketiga, biodiesel juga mengandung gliserin atau kotoran yang tidak dapat terbakar. Keempat, risiko titik didih yang tinggi sehingga dapat menyebabkan pembakaran tidak sempurna sehingga mesin kendaraan berbasis bahan bakar fosil dapat mengalami kerusakan jika dialihkan ke biodiesel.
Kelima, biodiesel juga mengandung kalori yang rendah sehingga tenaga mesin akan turun. Untuk meningkatkan tenaganya, mesin akan memompa bahan bakar lebih banyak. Dampaknya, bahan bakar akan lebih boros 0,87 persen.
Keenam, menurut Abdul Rochim, tingkat kelarutan biodiesel juga tergolong tinggi sehingga mampu membersihkan kotoran. Sifat tersebut mengakibatkan terangkatnya kotoran yang kemudian masuk ke filter bahan bakar. “Bila kotoran masuk ke bahan bakar akan mengakibatkan penyumbatan pada filter, dampaknya terjadi pengurangan umur filter,” kata Abdul.
Untuk mengantisipasi berbagai persoalan yang bisa terjadi pada mesin kendaraan, Kepala Balitbang ESDM Dadan Kusdiana dalam webinar Katadata pada Selasa (9 Maret 2021), merekomendasikan beberapa hal untuk pengguna maupun penyedia biodiesel.
Langkah utama yang harus dilakukan adalah metode blending harus sesuai standar. Untuk mencegah peningkatan kadar air, biodiesel harus disimpan dalam tangki tertutup. Kadar air dalam biodiesel juga perlu diperhatikan, maksimum 350 ppm. Lebih dari itu harus dilakukan pengujian tambahan.
Bagi pengguna, Agen Pemegang Merek (APM) sudah semestinya memberikan informasi penggantian filter bahan bakar pada kendaraan baru atau kendaraan yang belum pernah menggunakan bahan bakar campuran biodiesel sebelumnya.
“Pergantian filter bahan bakar kendaraan perlu diganti pada rentang penggunaan 7.500-15.000 kilometer. Ini hanya di awal, setelah itu penggunaan normal,” kata Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna masih dalam webinar Katadata pada Kamis (7 Januari 2021).
Selain berdampak negatif terhadap mesin kendaraan, biodiesel juga berdampak pada emisi gas buang kendaraan. Berdasarkan kajian International Council on Clean Transportation (ICCT), biodiesel memang berhasil menurunkan tiga jenis emisi, yaitu Particulate Matter (PM), Karbon Monoksida (CO), dan Hidro Karbon (HC). Namun biodiesel juga meningkatkan kadar emisi Nitrogen Oksida (NOx).
ICCT menemukan bahwa dampak NOx biodiesel mencapai 8 persen untuk kadar 100 persen biodiesel. Dengan analisis ini, maka akan terjadi peningkatan NOx sebesar 0,8 persen pada setiap campuran 10 persen biodiesel. Peningkatan NOx menjadi Nitric Oxide (NO) dan Nitrogen Dioxide (NO2) tergolong berbahaya bagi kesehatan manusia.
Menurut kajian Jurnal Ilmiah Kurva Teknik, NO tidak mengakibatkan iritasi dan tidak berbahaya pada konsentrasi normal di atmosfer. Namun, pada konsentrasi udara normal, NO akan mengalami oksidasi menjadi NO2 yang lebih beracun. Gas tersebut menjadi ancaman bagi manusia dan menyebabkan peradangan paru-paru bila terpapar selama beberapa menit pada konsentrasi sebesar 50-100 ppm.
Untuk mengurangi dan mengatasi risiko emisi tersebut, pemerintah akan melakukan penerapan standar Euro 4 mulai April 2022. KLHK menilai, perbandingan antara Euro 2 dan Euro 4 setidaknya menurunkan 55 persen kandungan CO dalam udara, 68 persen kandungan NOx, dan 60 persen kandungan HC.
Koordinator | Jeany Hartriani |
Editor | Heri Susanto, Padjar Iswara, Jeany Hartriani |
Penulis | Alfons Yoshio Hartanto, Arofatin Maulina Ulfa, Fitria Nurhayati, Melati Kristina Andriarsi |
Produser | Ratri Kartika Widya |
Editor Video | Tim Multimedia |
Desain Grafis | Muhamad Yana, Cicilia Sri Bintang Lestari, Dani Nurbiantoro, Nunik Septiyanti, Very Anggar Kusuma, Wahyu Risyanto |
Teknologi Informasi | Firman Firdaus, Christine Sani, Maulana, M. Afandi |