Pekerja memperlihatkan biji buah sawit di salah satu perkebunan sawit di Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi barat, Sabtu (25/3). Credit: ANTARA FOTO/Akbar Tado

Untuk mewujudkan biodiesel berkelanjutan, tidak cukup hanya dengan melibatkan petani swadaya dalam rantai pasok biodiesel dan meningkatkan produktivitas mereka. Sejumlah opsi lainnya juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan sumber bahan baku lainnya, seperti limbah lemak nabati dan hewani.

Hasil kajian dari lembaga International Council on Clean Transportation (ICCT) menemukan bahwa Indonesia memiliki potensi sekitar 1,4 miliar liter biodiesel atau 1,35 miliar liter bahan bakar solar terbarukan dari hasil pengolahan berbagai limbah.

Berbagai jenis limbah tersebut di antaranya lemak hewani yang tidak dapat dimakan dari rumah pemotongan hewan, limbah minyak ikan yang dapat diambil dari limbah padat pengolahan ikan, air limbah pengolahan ikan dan limbah ikan, lumpur sawit (sludge palm oil), minyak residu yang mengambang di atas limbah cair kelapa sawit (palm oil mill effluent/POME), dan produk sampingan dari industri bubur kayu (pulp) dan kertas. Selain itu, terdapat potensi dari limbah minyak goreng bekas atau jelantah yang dapat menghasilkan 3,2 miliar liter biodiesel atau 3 miliar liter solar terbarukan.

Tenny Kristiana, Fuel Consultant di ICCT dalam webinar Katadata bertajuk The Next Generation Biofuels pada Selasa (9 Maret 2021) mengungkapkan, Indonesia memiliki bahan baku yang melimpah dan murah jika dibandingkan negara lain yang mengembangkan jenis bahan bakar nabati serupa. Hal ini menjadikan limbah cukup potensial untuk mendukung pengembangan energi biomassa di Tanah Air.

"Alternatif ini akan membantu Indonesia keluar dari lingkaran ketergantungan impor bahan bakar dan memperkecil defisit perdagangan," ujarnya dalam webinar yang sama.

Menurut Tenny, sebagai industri baru, pengembangan minyak nabati juga berpotensi menciptakan lapangan pekerjaan di masa depan. Contohnya, hasil penelitian ICCT menunjukkan bahwa dengan memproduksi 4,6 miliar liter biofuel dari 5 jenis limbah bahan baku setidaknya bisa menciptakan 28 ribu lapangan pekerjaan.

Biofuel berbahan baku limbah juga dapat mengurangi emisi GRK lebih besar dibanding biofuel food-based atau yang dipakai saat ini, yaitu sawit. Kalkulasi ICCT menyimpulkan, dengan mengganti solar dari fosil dengan 4,6 miliar liter biofuel, dapat mengurangi 12 juta ton CO2 per tahun. “Angka itu cukup besar untuk target NDC kita,” ujar Tenny.

Manfaat lain dari penggunaan limbah sebagai bahan baku biofuel adalah untuk mengatasi masalah lingkungan akibat pembuangan limbah yang tidak benar. Selain itu, praktik konversi limbah dapat menjadi bagian dari sirkular ekonomi yang juga menjadi program pemerintah.

Namun, Tenny mengakui tidak mudah untuk mewujudkan program biodiesel berbasis limbah. Menurut dia, diperlukan sejumlah langkah untuk merealisasikannya. Pertama, perlu adanya kolaborasi pemerintah dan masyarakat untuk menyukseskan program biodiesel limbah. Kedua, perlu mempromosikan penggunaan limbah sebagai alternatif bahan baku energi. Ketiga, perlu ada dukungan kebijakan dari pemerintah untuk mengembangkan energi berbasis limbah.

“Kebijakan saat ini masih berfokus pada bahan baku berbasis pangan contohnya kelapa sawit yang menjadi sorotan dunia. Padahal, Indonesia memiliki potensi limbah yang sangat besar. Tapi potensi ini membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah,” ujarnya.

***