Credit: Katadata/Joshua Siringo Ringo

Penulis: Monavia Ayu Rizaty

23 November 2021, 13:00 WIB


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis pedoman kualitas udara (AQG) terbaru pada September 2021 lalu. Pedoman tersebut merekomendasikan perubahan parameter kualitas udara lima polutan klasik, yakni partikulat atau debu halus (PM), ozon (O3), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), dan karbon monoksida (CO).

WHO berharap standar baru tersebut dapat menyelamatkan jutaan nyawa manusia di masa depan. “Setiap tahun, paparan polusi udara diperkirakan menyebabkan 7 juta kematian dini dan mengakibatkan hilangnya jutaan kehidupan yang lebih sehat,” tulis WHO dalam situs resminya.

Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom mengatakan, “polusi udara merupakan ancaman bagi kesehatan di semua negara, tetapi yang paling parah menyerang orang-orang di negara berpenghasilan rendah dan menengah.”

Standar kualitas udara terbaru ini semakin tinggi dibandingkan 15 tahun lalu. Kadar PM2.5 harian (24 jam) misalnya, menjadi 15 μg/m3 dari sebelumnya sebesar 25 μg/m3. Sedangkan untuk tahunan, dari 10 μg/m3 menjadi 5 μg/m3.

WHO mendesak agar semua negara dapat mengikuti pedoman terbaru ini. “Pedoman Kualitas Udara terbaru WHO adalah alat berbasis bukti dan praktis untuk meningkatkan kualitas udara di semua tempat,” tutur Tedros Adhanom.

edus kualitas udara grafi 1

Dari lima jenis polutan utama, partikulat atau debu halus, yakni PM2.5 dan PM10 merupakan yang paling banyak mendapat sorotan. Terutama Particulate Matter (PM) 2.5 yakni partikel halus di udara yang ukurannya 2,5 mikron atau lebih kecil dari itu. Sedangkan PM 10 adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 10 mikron.

PM2.5 memiliki lebar sekitar 2 sampai 1,5 mikron. Ukuran ini 30 kali lebih kecil dari lebar rambut manusia. Ukurannya yang sangat kecil membuatnya bisa masuk hingga ke dalam paru-paru. Paparan PM2.5 dalam waktu sebentar saja sudah cukup untuk menyebabkan masalah pada mata, hidung, tenggorokan, iritasi paru, batuk, dan pilek. Paparan dalam jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan bronkitis hingga kanker paru dan mulut.

edus kualitas udara grafi 2

Di Indonesia, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, baku mutu udara ambien nasional harian PM2.5 masih sebesar 55 μg/m3. Artinya, pedoman WHO tentang baku mutu polusi udara belum diikuti Pemerintah Indonesia. Bahkan, PP tersebut juga belum mengikuti pedoman WHO 2005.

Pedoman baru WHO ini seharusnya dijadikan momentum untuk memperbaiki standar baku kualitas udara di Indonesia khususnya Jakarta, karena polusi udara semakin mengkhawatirkan.

Survei Katadata Insight Center (KIC) pada Agustus 2021 menemukan, mayoritas warga di Jabodetabek merasakan kondisi udara di sekitar tempat tinggal mereka telah terpapar debu dan asap kendaraan. Selain itu mereka juga merasakan udara lebih panas.

Sementara, hanya 4,2% masyarakat yang menggambarkan kondisi udara sekitar masih asri, bersih, dan sejuk. Kemudian 1,8% responden menggambarkan kondisi udara masih dalam keadaan normal.

UDARA JAKARTA MENURUT STANDAR WHO

Berpegang pada pedoman terbaru WHO, kualitas udara Jakarta semakin jauh dari batas yang ditentukan. Konsentrasi PM2.5 pada 31 Oktober 2021 pukul 19.15 WIB, tercatat sebesar 38,5 μg/m3. Artinya, sudah 2,6 kali melampaui batas konsentrasi PM2.5 harian (24 jam) berdasarkan pedoman terbaru dan 1,5 kali dari pedoman lama.

Sementara untuk rata-rata tahunan, konsentrasi PM2.5 di Jakarta sebesar 39,6 μg/m3 pada 2020. Hal ini menunjukkan, konsentrasi PM2.5 di udara Jakarta delapan kali di atas pedoman kualitas udara terbaru WHO yang menyaratkan hanya 5 μg/m3. Dibandingkan dengan pedoman lama, perbedaannya sebesar 3,9 kali. Kesimpulannya, kualitas udara Jakarta menjadi semakin buruk dengan berpedoman pada standar kualitas udara terbaru.

PERBANDINGAN JAKARTA DENGAN KOTA LAIN

Berdasarkan data World Air Quality 2020, konsentrasi PM2,5 Jakarta termasuk yang tertinggi di Indonesia. Rata-rata tahunan, konsentrasi PM2.5 mencapai 39,6 di bawah Tangerang Selatan dan Bekasi.

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku sejak April 2020 memang telah menurunkan konsentrasi PM2.5. Pada Mei 2020 atau sebulan pemberlakuan, konsentrasi PM2.5 berkurang 12,8% atau turun 31,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Meski begitu, pembatasan aktivitas tidak terlalu signifikan menurunkan kadar polusi udara. Menurut Chief Growth Officer NAFAS Indonesia, Piotr Jakubowski, dalam Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3 dan 4 bulan Juli 2021 tidak membuat polusi udara di Jakarta semakin baik, padahal semua aktivitas benar-benar dibatasi.

“Itu sudah full lockdown semua, bisnis tidak boleh, ini tidak boleh, mau ke Jalan Sudirman harus ada izin. Dan melihat data yang NAFAS kumpulkan, kalau ada beberapa tempat yang polusi udaranya malah memburuk, bukan jadi lebih bagus,” ujar Piotr.

Sementara di antara ibu kota dunia, Jakarta termasuk dalam sepuluh besar yang memiliki konsentrasi PM2.5 tertinggi. Posisi Jakarta berada di bawah ibu kota Bahrain, Manama, yang memiliki konsentrasi PM2.5 sebesar 39,7 μg/m3.

Kota Delhi di India menjadi ibu kota dengan rata-rata konsentrasi PM2.5 tahunan tertinggi di dunia yakni mencapai 84,1 μg/m3. Sepanjang 2020, konsentrasi PM2.5 tertinggi di Kota Delhi terjadi pada bulan Desember yaitu 157,3 μg/m3. Laporan dari Energy Policy Institute University Chicago (EPIC) mengungkapkan bahwa buruknya kualitas udara di India bisa mengurangi angka harapan hidup penduduk hingga sembilan tahun.

Sumber utama polusi udara di India berasal dari asap kendaraan bermotor, penggunaan kompor biomassa (kompor menggunakan kayu dan arang) untuk memasak, pembangkit listrik, kontruksi, hingga pembakaran limbah. Kendaraan bermotor menjadi sumber emisi PM2.5 terbesar. Kompor biomassa juga menjadi penyumbang terbesar polusi udara di rumah tangga sehingga memberikan efek buruk terhadap kesehatan wanita serta anak-anak.

GUGATAN TERHADAP PEMERINTAH

Kamis, 16 September 2021 lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan lima orang pejabat mulai dari Presiden Joko Widodo hingga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan perbuatan melawan hukum terkait kasus pencemaran udara Jakarta. Mereka dinilai lalai dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat di Jakarta.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa para tergugat sudah mengetahui bahwa udara di DKI Jakarta tercemar selama bertahun-tahun. Namun para pemangku kepentingan tidak banyak mengeluarkan kebijakan untuk memperbaiki hal tersebut.

Adapun sanksi yang dijatuhkan yaitu:

  • Menghukum tergugat I (Presiden RI) untuk menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia serta lingkungan dan ekosistem
  • Menghukum tergugat II (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) untuk melakukan supervisi terhadap Gubernur DKI, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat, dalam melakukan inventarisasi emisi lintas batas Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat
  • Menghukum tergugat III (Menteri Dalam Negeri) untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap kinerja tergugat 5 dalam pengendalian pencemaran udara
  • Menghukum tergugat IV (Menteri Kesehatan) untuk melakukan penghitungan penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di Jakarta
  • Menghukum tergugat V (Gubernur DKI Jakarta) untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pencemaran udara di Jakarta

Presiden Joko Widodo dan tiga menterinya memutuskan melakukan banding ke Pengadilan Tinggi. Banding dilakukan karena pemerintah merasa sudah menjalankan semua yang diperintahkan oleh majelis hakim terkait pengendalian polusi udara Jakarta

Sementara Gubernur Anies Baswedan memilih menerima dan keputusan majelis hakim. “Pemprov DKI Jakarta memutuskan tidak banding dan siap menjalankan putusan pengadilan demi udara Jakarta yang lebih baik,” cuitnya di akun twitter @aniesbaswedan.

Pemerintah Provinsi DKI lewat Dinas Lingkungan Hidup menyatakan telah melakukan sejumlah langkah untuk mengendalikan polusi udara. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, Asep Kuswanto, mengatakan salah satunya dengan mengintegrasikan moda transportasi di Jakarta.

Kemudian menambah area khusus bagi pesepeda, pejalan kaki, memperbaiki halte, serta gedung-gedung menggunakan desain green building. “Itu semua sudah clear di Pergub dan akan dilakukan secara bertahap,” ujar Asep.

Menurut survei kualitas udara Katadata Insight Center (KIC), secara umum masyarakat Jabodetabek menilai kinerja pemerintah dalam mengurangi polusi udara sudah cukup baik (5,96 dari 10). Adapun, yang masih jadi kendala antara lain kurang atau terbatasnya akses terhadap informasi kualitas udara, serta keterbatasan alat dan teknologi pengukuran kualitas udara.

Langkah pemerintah untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta dinilai penting. Namun, peran masyarakat juga tetap diperlukan karena sudah menjadi tanggung jawab bersama.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan seperti mulai beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum, merawat mesin kendaraan secara rutin, berjalan kaki atau bersepeda, serta menanam tanaman di rumah.

Dengan melakukan beberapa cara tersebut secara konsisten, masyarakat turut berkontribusi dalam memperbaiki kualitas udara Jakarta. Kualitas udara tidak bisa dianggap sepele karena udara merupakan unsur penting yang dapat mempengaruhi kesehatan dan menentukan kualitas hidup di masa kini dan masa yang akan datang.

  • 1 of 4
  • Next

Tim Produksi

Koordinator

Aria W. Yudhistira

Penulis

Cindy Mutia Annur, Dimas Jarot, Monavia Ayu Rizaty, Ratri Kartika

Editor

Yura Syahrul, Aria W. Yudhistira

Desain Grafis

Lambok Hutabarat

Illustrator

Joshua Siringo Ringo

Produser

Ratri Kartika

Reporter

Dini Apriliana

Video Editor

Arfi Mustakim

Videographer

Wahyu Dwi Jayanto

Motion Grapher

Andriyansah

3D Animator

Timothy Adry Emanuel

Teknologi Informasi

Firman Firdaus, Mariana Garcia, Mohammad Afandi