Babak Baru
Ekonomi Indonesia

Praktik ekonomi yang berkelanjutan, inklusif dan melindungi lingkungan serta manusia.

Ketergantungan Indonesia terhadap sektor sumber daya alam (SDA) dan industri ekstraktif terbukti mempunyai daya rusak yang besar terhadap lingkungan, juga ekonomi.

Maka pandemi Covid-19 seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk merumuskan kembali kebijakan transformasi ekonomi nasional, dari business as usual (BAU) menjadi berkelanjutan dan inklusif, dengan merealisasikan pembangunan hijau yang pro kepada planet, profit dan people.

Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)

Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) seharusnya lebih pro terhadap lingkungan. Membangun kembali ekonomi harus dimaknai dengan reorientasi pembangunan yang memiliki koneksi antara lingkungan, manusia dan ekonomi. Sektor UMKM pun semakin menyadari pentingnya menjalani bisnis yang berkelanjutan seiring dengan besarnya manfaat yang diperoleh. Mereka pun terus berusaha melakukannya di tengah kondisi pandemi.

Investasi ke energi bersih dan relokasi anggaran dari program yang menambah emisi karbon bisa dilakukan. Sayangnya sejauh ini, program PEN masih berfokus pada pemulihan ekonomi saja.

Pandemi Covid-19 menghantam sektor ekonomi semua negara di dunia. Dalam jangka pendek, pandemi menghambat aktivitas bisnis, tertundanya permintaan, dan meningkatkan angka kemiskinan serta pengangguran. Beberapa negara di dunia bahkan memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan tranformasi ekonomi hijau.

Contoh dua tetangga terdekat, Malaysia dan Singapura menjadi dua negara dengan persentase program hijau tertinggi lewat stimulus Covid-19. Singapura mengalokasikan 10,8% dari pengeluarannya untuk program yang bersifat hijau, sementara Malaysia telah mengalokasikan 4,4%. Bentuknya sendiri mulai dari pembangunan infrastruktur energi baru terbarukan (EBT), pembangunan perumahan hijau, sampai dengan insentif untuk kendaraan listrik.

Indonesia lewat stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) seharusnya bisa mengambil langkah serupa. Investasi ke energi bersih dan relokasi anggaran dari program yang menambah emisi karbon bisa dilakukan. Sayangnya sejauh ini, program PEN masih berfokus pada pemulihan ekonomi saja.

Selengkapnya »
Praktik ramah lingkungan yang dilakukan UMKM mulai dari hal kecil, seperti mematikan lampu setelah selesai bekerja, menghemat penggunaan AC, menanam tanaman di sekitar tempat kerja, pemanfaatan transportasi ramah lingkungan, hingga mengolah limbah dan sampah.

Menjadi salah satu pihak yang mengalami tamparan keras akibat pandemi –yang bahkan menyebabkan resesi, para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia terus berupaya menerapkan praktik bisnis ramah lingkungan. Hal tersebut terungkap dari survei yang dilakukan oleh dua peneliti senior Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Poppy Ismalina dan Rokhima Rostiani, terhadap 1.073 pelaku UMKM di Tanah Air.

Survei tersebut menemukan bahwa mayoritas UMKM di Indonesia menerapkan praktik bisnis ramah lingkungan. Hal ini menarik, mengingat 96 persen responden mengakui mengalami penurunan omzet. Bahkan sampai 27 persen mengakui mengalami penurunan omzet mencapai 27 persen.

Adapun praktik ramah lingkungan yang dilakukan UMKM mulai dari hal kecil, seperti mematikan lampu setelah selesai bekerja, menghemat penggunaan AC, menanam tanaman di sekitar tempat kerja, pemanfaatan transportasi ramah lingkungan, hingga mengolah limbah dan sampah. Para pelaku UMKM percaya praktik ramah lingkungan dapat memberi citra yang baik, membuat bisnis bertahan lama, dan mampu bersaing lebih baik.

Selengkapnya »
Kondisi pandemi Covid-19 menjadi momentum bagi banyak negara untuk meninggalkan model ekonomi intensif karbon ke arah ekonomi hijau. Indonesia pun bisa juga memulainya dengan memasukan unsur ekonomi hijau dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Ekonomi hijau diyakini dapat menyokong pertumbuhan berkelanjutan dan membangun lebih banyak lapangan pekerjaan, serta menjaga kelestarian alam di saat yang bersamaan. People, planet, dan profit menjadi tiga komponen penting dalam mengembangkan sistem ekonomi yang ramah lingkungan.

Pembangunan ekonomi yang merusak lingkungan berpotensi melahirkan “ongkos” bagi perekonomian itu sendiri. Analisis McKinsey Global Institute (2020) menunjukkan PDB 105 negara berpotensi terdampak perubahan iklim. Perubahan iklim serta kerusakan lingkungan menimbulkan ongkos yang besar bagi PDB, kesejahteraan, dan lapangan kerja. Mengacu data Word Economic Forum (2020), lebih dari separuh PDB global, senilai US$ 44 triliun, terancam hilang karena rusaknya alam.

Kondisi pandemi Covid-19 menjadi momentum bagi banyak negara untuk meninggalkan model ekonomi intensif karbon ke arah ekonomi hijau. Indonesia pun bisa juga memulainya dengan memasukan unsur ekonomi hijau dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Selengkapnya »

Nationally Determined Contribution (NDC)

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 29% pada 2030 (41% dengan bantuan internasional). Namun, usaha pemerintah untuk menurunkan emisi GRK bak jauh panggang dari api.

Menurut dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), sektor energi akan menjadi kontributor emisi terbesar pada tahun 2030, disusul oleh sektor kehutanan, sehingga dibutuhkan solusi yang serius dari Pemerintah.

Dengan bentang alam yang luas, terdapat potensi mencapai 442 GW untuk pemanfaatan energi terbarukan.

Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030 (atau 41 persen dengan dukungan internasional).

Energi terbarukan menjadi solusi tepat guna yang berpeluang untuk dieksplorasi lebih jauh di Indonesia. Dengan bentang alam yang luas, terdapat potensi mencapai 442 GW untuk pemanfaatan energi terbarukan sebagai pembangkit.

Sayangnya sejauh ini kebijakan-kebijakan yang ada masih berpihak pada penggunaan PLTU yang tentu tidak ramah lingkungan. Sejauh ini emisi yang dihasilkan PLTU yang beroperasi mencapai 168 juta ton/tahun --angka ini setara dengan emisi 80 juta unit mobil/tahun. Belum lagi rencana pembangungan PLTU tambahan sampai 2028 mencapai 28 GW, berpotensi menyebabkan emisi sampai 162 juta ton/tahun atau setara dengan emisi 77 juta unit mobil/tahun.

Beberapa 'solusi semu' juga sempat ditawarkan antara lain pemanfaatan Co-firing PLTU, yaitu pemanfaatan cangkang sawit dan sampah sebagai bahan bakar di PLTU batu bara. Hal itu jelas tidak ideal. Sampah subtitusi yang digunakan tidak lebih dari lima persen. Sementara, penggunaan sampah justru menurunkan efisiensi boiler, dan permasalahan sampah plastik pun tak terselesaikan. Jangan lupa juga pemanfaatan cangkang sawit berarti berpotensi membuat ekstensifikasi lahan makin luas.

Selengkapnya »
Dua sektor penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia adalah sektor energi dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Jika tak ada aral melintang, UN Climate Change Conference (COP26) akan dimulai 1 November mendatang di Glasgow, Skotlandia. Acara ini adalah kelanjutan dari Perjanjian Paris 2015. Saat itu,  Indonesia berkomitmen melakukan kontribusi terhadap lingkungan, dengan target Nationally Determined Contribution (NDC), lewat penurunan emisi gas rumah kaca 29 persen pada 2030 (atau 41 persen dengan dukungan internasional).

Rencananya Indonesia belum akan menaikan target NDC tersebut. Padahal berdasarkan perhitungan Climate Action Tracker, dengan target Indonesia saat ini, kenaikan temperatur global diperkirakan bisa mencapai 4 derajat celsius, jauh dari target awal Perjanjian Paris, 1,5 derajat Celsius.

Upaya Indonesia untuk menurukan emisi gas rumah kaca (GRK) juga masih bersifat business as usual. Wajar kalau kemudian data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, tren emisi GRK Indonesia sejak tahun 2016 selalu naik. Dari 1,34 juta GgCo2e menjadi 1,87 juta GgCo2e pada 2019.

Selengkapnya »

Biofuel

Bahan bakar nabati (biofuel) digadang-gadang menjadi salah satu energi alternatif pengganti bahan bakar fosil di Tanah Air. Sebuah solusi semu karena program biofuel justru akan menambah beban subsidi dan berpeluang menambah luasan lahan kelapa sawit, yang akhirnya mengurangi luasan hutan yang tersisa dan memperbesar potensi kebakaran hutan dan lahan.

Kajian LPEM FEB UI menunjukkan, semakin agresif implementasi biodiesel maka kebutuhan CPO akan semakin besar. Hal ini akan mendorong kekurangan pasokan CPO yang akan terus terakumulasi setiap tahunnya.

Program biodiesel di Indonesia semakin serius dikembangkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan impor solar. Namun, mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh, Greenpeace melihat program biodiesel tidak sejalan dengan ekonomi hijau.

Kajian LPEM FEB UI menunjukkan, semakin agresif implementasi biodiesel maka kebutuhan CPO akan semakin besar. Hal ini akan mendorong kekurangan pasokan CPO yang akan terus terakumulasi setiap tahunnya. Jika penerapan B50 dilakukan (pada tahun 2021) defisit akan mencapai 108,6 juta ton CPO pada tahun 2025.

Adapun LPEM FEB UI membuat tiga skenario perhitungan dampak. Skenario pertama, penerapan B20 sampai tahun 2025; skenario kedua, penerapan B30 sampai tahun 2025; dan, skenario 3 penerapan B30 sampai 2020, dilanjutkan B50 untuk tahun 2021-2025.

Selengkapnya »
Sayangnya, kucuran subsidi biodiesel ini sebagian besar diserap oleh perusahaan kakap kelapa sawit. Angkanya sampai 81,8 persen.

Indonesia adalah produsen sekaligus eksportir minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil, CPO) terbesar di dunia. Hingga akhir tahun 2019 diperkirakan sekitar 34 juta ton CPO Indonesia diserap untuk konsumsi global.

Mengikuti kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia, alokasi dari pungutan ekspor minyak sawit mentah, lebih dari 80 persen diberikan untuk insentif program tersebut. Biodiesel dinilai pemerintah sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan. Di sisi lain, produksi CPO, sebagai bahan baku biodiesel, kita juga sangat melimpah.

Sayangnya, kucuran subsidi biodiesel ini sebagian besar diserap oleh perusahaan kakap kelapa sawit. Angkanya sampai 81,8 persen. Berdasarkan laporan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) tahun 2016, alokasi itu hanya dinikmati empat perusahaan besar. Sementara perkebunan rakyat skala kecil masih belum menikmati manfaat dari program biodiesel.

Selengkapnya »

Energi Terbarukan (ET)

Pengembangan Energi Terbarukan (ET) masih terhambat selama pandemi. Seharusnya ini menjadi salah satu sektor yang diusung pemerintah untuk dikembangkan sebagai landasan ekonomi hijau. Momentum pandemi dapat menjadi waktu bagi pemerintah untuk membuka lembar baru dalam kelanjutan transisi energi di Indonesia.

Indonesia perlu lebih serius untuk mengembangkan ET. Laporan Penilaian Sektor Ketenagalistrikan Asia Tenggara yang disusun Greenpeace, Indonesia mendapat skor F (skala A-F), alias terburuk, karena masih mengandalkan energi kotor batu bara. Dukungan kebijakan dan insentif untuk pengembangan energi ramah lingkungan perlu didorong ditekankan lebih jauh.

Jika Indonesia serius mengembangkan energi terbarukan (ET), target menjaga kenaikan suhu Bumi di bawah 1,5 derajat, pada 2050 bisa tercapai.

Transisi energi dengan meningkatkan bauran energi terbarukan (ET), menjadi salah satu upaya negara-negara di dunia untuk menekan laju pemanasan global, termasuk Indonesia. Hal ini penting karena sektor energi -salah satunya kelistrikan- merupakan penyumbang emisi terbesar di Tanah Air, dan akan semakin besar porsinya menuju 2030.

Sayangnya, berdasarkan Laporan Penilaian Sektor Ketenagalistrikan Asia Tenggara yang disusun Greenpeace, Indonesia mendapat skor F (skala A-F), alias terburuk. Hal ini tidak lepas dari laju pembangunan PLTU batu bara yang bahkan mencapai titik kelebihan kapasitas.

Selain itu, terkait perencanaan, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), pembangkit ET diharapkan dapat berkontribusi sampai 23,2 persen pada 2028. Namun, melihat rekam jejak selama ini, target model ini jarang tercapai. Di lain sisi, 48 persen dari daya tambahan di RUPTL saat ini adalah PLTU batu bara, hampir menggandakan kapasitas yang ada.

Dengan kondisi seperti ini, jika menjalankan skenario normal, atau business as usual (BAU), pembangkit tenaga batu bara akan naik jumlahnya dua kali lipat dalam 10 tahun ke depan. Sementara perkembangan ET akan sangat terbatas, hanya akan ada proyek pembangkit listrik tenaga surya dan angin (PLTS dan PLTB) yang itu pun memiliki waktu tunggu lama ke pasaran.

Selengkapnya »
Bank-bank BUMN di tiga negara; Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok merupakan investor terbesar energi berbasis fosil.

Laporan Greenpeace Jepang mendapatkan adanya peluang investasi sebesar US$ 205,8 miliar dari pengembangan energi terbarukan (ET) di wilayah Asia Tenggara untuk 10 tahun ke depan. Angka ini lebih besar sekitar 2,6 kali jika dibandingkan dengan investasi di energi fosil –seperti batu bara, dalam satu dekade ke belakang (2009-2019) di wilayah ASEAN.

Bank-bank BUMN di tiga negara; Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok merupakan investor terbesar energi berbasis fosil. Antara tahun 2009 sampai 2019, enam bank BUMN dari tiga negara tersebut menanam modal sampai US$ 78,9 miliar untuk energi batu bara dan gas dan hanya sekitar US$ 9,1 miliar untuk ET.

Melihat peluang di masa depan, suplai listrik di wilayah Asia Tenggara – termasuk Indonesia, membutuhkan investasi di sektor energi surya sebesar US$ 125,1 miliar, US$ 48,1 miliar untuk energi angin, dan US$ 32,6 miliar untuk energi terbarukan lainnya..

Selengkapnya »

Kabar dari Tanah Papua

Papua merupakan kawasan hutan terluas di Indonesia, setelah hutan di Sumatera dan Kalimantan hancur. Pelaku industri kini telah merambah tanah Papua dengan ekspansi kelapa sawit. Padahal sebagian besar masyarakat adat Papua hidup di hutan dan menggantungkan hidupnya pada hutan. Mengandalkan hutan sebagai sumber makanan, obat-obatan, budaya hingga rumah tinggal.

Keamanan pangan menjadi isu penting selama pandemi. Maka dari itu, mempromosikan makanan lokal yang berasal dari hutan merupakan ketahanan pangan yang nyata mengatasi situasi yang tak menentu ini. Untuk itu diperlukan perlindungan terhadap hutan sebagai sumber segala kehidupan.

Hutan Desa adalah salah satu skema program nasional Perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Program ini sebagai upaya memeratakan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan ekonomi, sekaligus menjaga kelestarian alam.

Tanah Papua dengan luas hutan tersisa 34,7 juta hektare (ha) –sekitar 32 persen luas hutan Indonesia, menyimpan banyak keistimewaan dan potensi. Salah satunya adalah Hutan Manggroholo-Sira, di Sorong Selatan, Papua Barat. Wilayah tempat tinggal Masyarakat Adat Knasaimos ini adalah hutan desa pertama dalam program Perhutanan Sosial di Papua. Status Hutan Desa didapatkan sejak Maret 2017, dikenal sebagai Hutan Kampung oleh masyarakat, karena Papua tidak mengenal Desa.

Adapun luas hutan desa yang mendapat izin pengelolaan di Sira mencapai 1.850 hektar. Sedangkan luas hutan untuk Manggroholo sekitar 1.695 hektar.

Hutan Desa adalah salah satu skema program nasional Perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Program ini sebagai upaya memeratakan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan ekonomi, sekaligus menjaga kelestarian alam.

Selengkapnya »