Indonesia Perlu Serius Kembangkan ET
Transisi energi dengan meningkatkan bauran energi terbarukan (ET), menjadi salah satu upaya negara-negara di dunia untuk menekan laju pemanasan global, termasuk Indonesia. Hal ini penting karena sektor energi -salah satunya kelistrikan- merupakan penyumbang emisi terbesar di Tanah Air, dan akan semakin besar porsinya menuju 2030.
Sayangnya, berdasarkan Laporan Penilaian Sektor Ketenagalistrikan Asia Tenggara yang disusun Greenpeace, Indonesia mendapat skor F (skala A-F), alias terburuk. Hal ini tidak lepas dari laju pembangunan PLTU batu bara yang bahkan mencapai titik kelebihan kapasitas.
Selain itu, terkait perencanaan, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), pembangkit ET diharapkan dapat berkontribusi sampai 23,2 persen pada 2028. Namun, melihat rekam jejak selama ini, target model ini jarang tercapai. Di lain sisi, 48 persen dari daya tambahan di RUPTL saat ini adalah PLTU batu bara, hampir menggandakan kapasitas yang ada.
Dengan kondisi seperti ini, jika menjalankan skenario normal, atau business as usual (BAU), pembangkit tenaga batu bara akan naik jumlahnya dua kali lipat dalam 10 tahun ke depan. Sementara perkembangan ET akan sangat terbatas, hanya akan ada proyek pembangkit listrik tenaga surya dan angin (PLTS dan PLTB) yang itu pun memiliki waktu tunggu lama ke pasaran.
Kabar baiknya, jika Indonesia memulai segera pengembangan energi matahari dan angin serta mengeksklusi bahan bakar fosil di sektor kelistrikan, target menjaga kenaikan suhu Bumi di bawah 1,5 derajat, pada 2050 bisa tercapai. Negara kita juga memiliki potensi sumber energi terbarukan melimpah, misalnya energi matahari sebesar 200-500 GW dan baru dimanfaatkan sekitar 0,02 persen.
(Bahan pengantar ada di sini)