11 Februari 2019, 09.06

Menurut Direktur ABK Johanes Gosal, perusahaannya dan MSA telah berkonsultasi dengan Dinas Pertambangan dan Energi Kutai Kertanegara mengenai perjanjian bagi hasil tadi. Langkah ini diambil setelah lahir UU Minerba tahun 2009.

“Kami berkonsultasi dengan ESDM Kukar dan pusat, tak ada masalah perizinan sampai sekarang,” kata Johanes. “Setiap bulan juga melapor ke ESDM.”

Johanes yang juga menjabat sebagai salah satu direktur di MSA dan WSJ menyatakan perusahaan-perusahaan tempat dia bekerja telah melaporkan transaksi ini setiap tahun dalam Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB). Meski begitu, setiap tahun pula MSA selalu mendapat surat kurang bayar pajak dari kantor pajak setempat.

Grafik sengketa pajak revisi
 

Kerja sama bagi hasil batu bara ini pun menjadi polemik tak berkesudahan antara perusahaan dan Ditjen Pajak karena tak ada regulasi yang mengatur secara detail. “Seolah-olah itu adalah haknya pemegang IUP yang diserahkan ke orang lain yang mengelola. Istilah mereka bagi hasil. Dalam undang-undang tidak ada,” kata Kepala KPP Pratama Tenggarong, Kalimantan Timur, Widodo.

Sementara itu, Kementerian ESDM menilai tak perlu membuat aturan transaksi bagi hasil secara khusus. “Bagi hasil itu bussiness to business, jadi tidak masalah asalkan yang melakukan kegiatan tambang pemilik IUP OP atau memerintahkan IUP Jasa Pertambangan atau kontraktor,” kata Kasubdit Pengawasan Usaha Operasi Produksi dan Pemasaran Batubara Ditjen Minerba Dodik Ariyanto.

Hal senada disampaikan Yustinus Prastowo. Pengamat pajak dari kantor CITA ini mengatakan perjanjian antara pedagang batu bara dan pemilik izin tambang sebagai hal wajar. “Karena tak semua IUP mampu membiayai proses produksi, sehingga biasanya menggandeng investor lain dan kebanyakan merupakan trader,” kata Prastowo.

Dia mengatakan skema bagi hasil merupakan sistem yang lazim dilakukan dalam beragam bisnis. “Yang terpenting adalah laporan keuangan yang transparan masing-masing pihak,” ujarnya.

Menambahkan Prastowo, pengamat pajak dari Taxprime, Suharno mengatakan perjanjian bagi hasil ABK dan MSA merupakan jenis Kerja Sama Operasi (KSO) non-administrasi. Sifat kerja sama hanya koordinasi. Dalam hal ini, setiap perusahaan melaksanakan kewajibannya masing-masing.

Prastowo mengatakan pemerintah tak mengatur detail mengenai perjanjian bagi hasil. Hal ini menjadikannya masuk wilayah abu-abu yang dimanfaatkan perusahaan. “Setiap perusahaan memiliki motif mengambil untung sebanyak-banyaknya, masuk ke wilayah abu-abu. Namun tak bisa sistem bagi hasil disebut sebagai pelanggaran hukum,” kata Prastowo.

Investigasi BatubaraAktivitas tambang batu bara di Desa Jahab, Kecamatan Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (17/1/2019).Investigasi Batubara (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Direktur Eksekutif PRAKARSA dan Koordinator Forum Pajak Berkeadilan Ah Maftuchan menyatakan aturan yang tidak rinci menimbulkan celah hukum dan ragam intrepretasi sehingga pelaku industri berpotensi menyiasatinya. “Wajar jika dalam beberapa kasus otoritas pajak kalah dengan pelaku industri. Persoalan utama adalah regulasinya,” kata Maftuchan.

Maftuchan menilai, pemerintah perlu segera mungkin melengkapi regulasi pokok UU Minerba dengan regulasi teknis yang tidak interpretatif. “Hal ini bukan semata urusan business to business, ESDM perlu mengatur hal yang lebih operasional teknis,” kata dia.

Sejak beberapa tahun terakhir, Ditjen Pajak memang berupaya mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor tambang batu bara. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur merupakan wilayah yang didorong mengoptimalkan pajak dari perusahaan batu bara.

Pada 2017, produksi batu bara dari Kaltim sebanyak 82,87 juta ton dengan Kabupaten Kutai Kertanegara sebagai produsen terbanyak sebanyak 65,11 juta ton. Luas lahan yang ditambang batu bara mencapai 5,2 juta hektare.

Setiap tahunnya, pajak dari pertambangan batu bara memberikan kontribusi 40 % dari total penerimaan di Kaltim. Menurut Pelaksana Harian Kepala Kanwil DJP Kaltimra Djumadi, pada 2018, Provinsi Kalimantan Timur menargetkan pajak dari pertambangan batu bara sebesar Rp 20 triliun. Hingga akhir November 2018, target yang tercapai 79%.

Optimalisasi pajak sektor batu bara juga didorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kajian KPK menyimpulkan rendahnya kepatuhan pajak di sektor Sumber Daya Alam (SDA) atau industri ekstraktif seperti pertambangan batu bara masih sangat rendah.

Rendahnya kepatuhan pajak terlihat dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) dari pertambangan batu bara. Pada 2014, PPh tambang batu bara sebesar Rp 26,40 triliun. Angka ini memang sedikit naik dari periode yang sama 2011 sebesar Rp 22,92 triliun. Namun, bila membandingkan dengan seluruh penerimaan PPh tahun tersebut hanya sekitar 6,59 %.

Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengakui kepatuhan pajak di sektor SDA masih rendah. Hingga kini, kontribusi PPh perusahaan batu bara masih di bawah 7 %. “Memang kalau dari analisis dan termasuk yang dilakukan KPK masih ada gap,” kata Robert, beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan pihaknya akan hati-hati dalam memproses data terkait optimalisasi pajak. Data harus sesuai dengan bukti yang komplet sehingga memiliki dasar hukum yang kuat.

Halaman:
  • Penanggung jawab
  • Koordinator
  • Editor

  • Penulis
  • Penyumbang Bahan


  • Analis
  • Riset dan Data


  • Multimedia
  • Video & Foto
  • Video Editor
  • Foto Editor
  • Grafis


  • Ilustrator
  • Desain Web
  • Programmer
  • Yura Syahrul
  • Muchamad Nafi
  • Metta Dharmasaputra
    Muchamad Nafi
  • Yuliawati
  • Yovanda
    Fariha Sulmaihati
    Dimas Jarot Bayu
  • Stevanny Limuria
  • Nenden S. Arum
    Jeany Hartriani
    Ika Rodhiah Putri
  • Aria Wiratma
  • Ajeng Dinar Ulfiana ,Yovanda
  • Muhamad Yana
  • Arif Kamaludin,Donang Wahyu
  • Cicilia Sri Bintang Lestari,
    Pretty Zulkarnain
    Nunik Septiyanti
  • Betaria Sarulina
  • Firman Firdaus
  • Bayu Mahdani
    Heri Nurwanto