11 Februari 2019, 08.40

Praktik kutip ilegal ini dibenarkan Kepala Seksi Kajian Dampak Lingkungan Dinas LHK Kukar, Aji Sayid Muhammad Aji. Dia mengungkapkan rutin menyetor uang untuk bupati sejak 2014.

Sepanjang 2014-2017, misalnya, dia mengumpulkan sekitar Rp 2,3 miliar yang diserahkan kepada Rita. Ali menyebutnya sebagai uang terima kasih kepada Rita, hal yang dianggap lumrah sebagai tradisi. “Tahunya dari pejabat sebelum saya dan dari konsultan-konsultan yang sering mengurus izin,” kata Aji.

Ilustrasi kasus pungutan liar di masa pemerintahan Rita Widyasari 

Aji mengatakan tidak secara langsung menyerahkan uang kepada Rita, namun melalui tangan kanannya yang dikenal dengan sebutan Tim 11. Nama-nama di tim ini yang disebut-sebut dalam persidangan yakni Suroto dan Abrianto Amin.

Keterangan Aji sinkron dengan kesaksian ajudan Rita yang bernama Ibrahim. Dia mengaku sering mendapatkan amplop berisi uang dari beberapa orang tangan kanan Rita. Namun, Ibrahim tak mengetahui jumlahnya.

Kuasa hukum Rita, Noval El Farveisa mengatakan selama persidangan tak ada saksi yang menyebutkan Rita memerintahkan dan menerima uang pungutan dalam pengurusan izin Amdal dan lingkungan.

“Di persidangan tak ada saksi yang menyebutkan Rita yang memberikan perintah dan menerima secara langsung,” kata Noval ketika dihubungi beberapa waktu lalu.  

Noval menilai informasi yang menyebutkan Rita memperoleh uang hanya berdasarkan keterangan dari ajudannya saja.

Namun Noval membenarkan bila pungutan ke perusahaan batu bara melalui konsultan sebagai praktik lama, bahkan sebelum di masa Rita. “Jadi itu kebiasaan lama yang mereka jalankan, dari kepala dinas yang lama,” kata dia.

Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang mengatakan setoran untuk pengurusan Amdal dan izin lingkungan lainnya merupakan pungutan liar karena tak ada aturan secara khusus. Kalau pun ada pungutan resmi seharusnya masuk ke kas daerah.

Rupang mencurigai dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di masa Rita tak menutup kemungkinan terjadi suap. “Rita merupakan bupati yang paling banyak mengeluarkan IUP, mencapai 200-an,” kata Rupang.

Salah seorang pengusaha batu bara, Akmal Muzakir, bukan nama sebenarnya mengatakan setelah pengadilan kasus korupsi Rita, pungutan saat mengurus izin terus berjalan. “Setoran tetap ada, tapi jumlahnya tidak sebesar dulu,” kata dia.

Setoran tak hanya dalam mengurus izin. Para pengusaha batu bara menyerahkan upeti ke aparat keamanan, baik oleh pengusaha resmi maupun illegal. “Setoran diserahkan ke penghubung aparat, nanti direspons dengan pengiriman satu atau dua personel untuk rutin menjaga lokasi tambang,” kata salah seorang konsultan.

Terkait fenomena pungutan liar, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menyatakan perlu perhatian serius dari pemerintah. Berbagai setoran, kata dia, diduga berlangsung di berbagai sektor dan membuat biaya perusahaan membengkak. Untuk menekannya, banyak perusahaan kemudian menutupi dengan berbagai cara, termasuk memanipulasi perdagangan batu bara.

Halaman:
  • Penanggung jawab
  • Koordinator
  • Editor

  • Penulis
  • Penyumbang Bahan


  • Analis
  • Riset dan Data


  • Multimedia
  • Video & Foto
  • Video Editor
  • Foto Editor
  • Grafis


  • Ilustrator
  • Desain Web
  • Programmer
  • Yura Syahrul
  • Muchamad Nafi
  • Metta Dharmasaputra
    Muchamad Nafi
  • Yuliawati
  • Yovanda
    Fariha Sulmaihati
    Dimas Jarot Bayu
  • Stevanny Limuria
  • Nenden S. Arum
    Jeany Hartriani
    Ika Rodhiah Putri
  • Aria Wiratma
  • Ajeng Dinar Ulfiana ,Yovanda
  • Muhamad Yana
  • Arif Kamaludin,Donang Wahyu
  • Cicilia Sri Bintang Lestari,
    Pretty Zulkarnain
    Nunik Septiyanti
  • Betaria Sarulina
  • Firman Firdaus
  • Bayu Mahdani
    Heri Nurwanto