11 Februari 2019, 09.27

Ternate, 9 Juni 2014. Ini waktu bersejarah dalam sistem pengawasan industri batu bara. Ketika itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menginisiasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA). Selain Ketua KPK, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, dan Jaksa Agung menandatangani deklarasi tersebut.

Mereka berkomitmen untuk menegakkan hukum atas pelanggaran di sektor ini, memastikan terwujudnya tata kelola kekayaan alam yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Lalu, di dalamnya dibentuklah koordinasi dan supervisi mineral dan batu bara (Korsup Minerba).

Advertisement

Setelah berjalan empat tahun, banyak hal yang ditemukan, mulai dari izin ribuan tambang yang belum clean and clear, berderetnya pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) tak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan, hingga maraknya pelaku usaha yang tidak menyampaikan laporan pengangkutan atau pengapalan kepada pemerintah.

KPK juga mengamati kekacauan akibat perbedaan data perdagangan batu bara antara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Perbedaan data ini berpotensi merugikan negara dalam pembayaran pajak dan royalti. “Sangat besar kemungkinannya,” kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif.

Terakhir, komisi antirasuah menindaklanjutinya dengan menyusuri aliran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, salah satu jalur utama lalu-lintas batu bara terbesar di Indonesia pada November lalu. Mereka menemukan indikasi praktik perdagangan batu bara ilegal.

la Ode KPK
Wakil Ketua KPK La Ode M Syarif saat wawancara dengan Katadata di ruang perpustakaan Gedung Merah Putih KPK.(Hindra Kusuma Wijaya|KATADATA)

Apa pokok persoalan terjadinya perbedaan data perdagangan batu bara antarakementerian atau instansi?

Sumbernya tak berdasarkan pada satu data. Kementerian ESDM, Bea dan Cukai, dan Direktorat Jenderal Pajak memiliki data sendiri. Seharusnya, pemerintah menggunakan satu peta atau one map policy. Sampai hari ini, untuk satu komoditas pun belum punya satu data.

Apakah selisih data perdagangan tersebut berpotensi menyebabkan kerugian negara?

Sangat besar. Pembayaran pajak atau royalti dihitung berdasarkan data, berapa banyak yang diambil, diekspor, nilai jual ekspor. Juga mempengaruhi dana pasca-operasi tambang yang harus dibayar. Jadi, ketidaksinkronan data ini berpotensi sangat besar menimbulkan kerugian negara.

Apa rekomendasi KPK kepada kementerian atau instansi terkait perbedaan data perdagangan ini?

Kami mulai dari Gerakan Nasional Penyelematan Sumber Daya Alam (GN-PSDA), dan sekarang membantu kebijakan satu atap di bawah Kementerian Ekonomi. Rekomendasinya banyak, salah satunya, masing-masing kementerian dan lembaga harus saling membagi data, misalnya, di antara Kementerian ESDM, Pertanian, dan Agraria. Masing-masing ada datanya. Nah, sebagian tidak saling berbagi.

Kedua, kami ingin memperbaiki tata kelola pemberian izin sehingga tercatat, koordinatnya jelas, tak terjadi tumpang tindih. Misalnya di Kalimantan, pemda telah memberikan izin untuk tambang sekaligus kebun.

Bahkan ada izin yang diberikan di dalam hutan yang tidak boleh diproduksi, misalnya kawasan konservasi atau hutan lindung. Kami pun meminta kesediaan provinsi dan kabupaten agar datanya dikumpulkan sehingga bisa dipakai sebagai alat mengambil sebuah kebijakan.

Investigasi Batubara
Lalu lintas pengiriman batu bara ekspor melewati Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. (19/1/2019). (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

 

Mereka sudah bersedia mengikuti rekomendasi ini?

Awalnya agak susah. Sekarang kami mulai dengan khusus soal peta dari Kalimantan Tengah. Penerapannya masih menunggu beberapa kabupaten lagi. Peta Kalimantan Tengah skalanya 1:50.000.

Kunjungan ke Kalimantan Timur pada November lalu yang dipimpin Ketua KPK Agus Rahardjo menemukan beberapa praktik yang diduga terjadi perdagangan batu bara ilegal. Mengapa memilih Kalimantan Timur?

Kalimantan Timur merupakan daerah yang memiliki paling banyak konsesi batu bara. Kedua, kami mendapatkan laporan dari masyarakat bahwa banyak sekali kegiatan-kegiatan tambang ilegal. Bahkan, banyak perdagangan batu bara yang tidak melalui bea dan cukai.

Orang gampang pergi melalui anak sungai, tanpa terkontrol. Nah, itu negara kehilangan uang yang sangat banyak dari yang ilegal dan tak terlaporkan. Kalaupun terlaporkan, mungkin jumlahnya berbeda dengan jumlah sesungguhnya.

Titik-titik apa yang diperlukan untuk peningkatan pengawasan di Kalimantan Timur?

Pertama, ketersediaan data. Kami minta data kepada gubernur agar mendapat semua jumlah izin batu bara. Kami juga meminta ke Kementerian ESDM. Memang ada kesulitan karena dulu pemberian konsesi bisa dilakukan oleh bupati, sekarang melalui gubernur.

Banyak bupati yang sekarang sudah tak menjabat lagi, atau pemerintah kabupatennya kurang kooperatif untuk menyerahkan data-data itu ke provinsi dan Kementerian ESDM. Oleh karena itu, kami fasilitasi.

Halaman:
  • Penanggung jawab
  • Koordinator
  • Editor

  • Penulis
  • Penyumbang Bahan


  • Analis
  • Riset dan Data


  • Multimedia
  • Video & Foto
  • Video Editor
  • Foto Editor
  • Grafis


  • Ilustrator
  • Desain Web
  • Programmer
  • Yura Syahrul
  • Muchamad Nafi
  • Metta Dharmasaputra
    Muchamad Nafi
  • Yuliawati
  • Yovanda
    Fariha Sulmaihati
    Dimas Jarot Bayu
  • Stevanny Limuria
  • Nenden S. Arum
    Jeany Hartriani
    Ika Rodhiah Putri
  • Aria Wiratma
  • Ajeng Dinar Ulfiana ,Yovanda
  • Muhamad Yana
  • Arif Kamaludin,Donang Wahyu
  • Cicilia Sri Bintang Lestari,
    Pretty Zulkarnain
    Nunik Septiyanti
  • Betaria Sarulina
  • Firman Firdaus
  • Bayu Mahdani
    Heri Nurwanto