Credit: Katadata/Joshua Siringo Ringo

Marsya Nabila begitu teguh menggenggam prinsip dasar investasi, “don’t put all your egg in one basket”. Dari banyak jenis investasi, mulai di pasar modal yang dapat diperoleh secara digital, maupun investasi tradisional seperti emas, tanah, serta deposito, perempuan 30 tahun ini tak menggantungkan hanya di salah satunya. Meminimalkan risiko kerugian sebagai tujuan utama.

Walau demikian, dia mengaku konservatif dalam berinvestasi. Lantaran itu, karyawan perusahaan media ini menaruh dana di aset berisiko rendah menjadi pilihan awal. “Pertimbangannya selalu karena tidak mau uang sampai hilang. Sampai sekarang selalu konservatif,” kata Marsya kepada Katadata.co.id beberapa waktu lalu.

Itulah mengapa sebagian besar investasinya di reksa dana, terutama pasar uang. Setelah itu sisanya baru dialokasikan ke aset yang lebih berisiko, seperti mata uang kripto, saham, dan peer to peer lending. “Selalu lebih prefer taruh di reksa dana. Sisanya hanya sampingan, sesekali saja di-top up-nya,” ujar Marsya yang berdomisili di Bekasi.

Marsya juga sempat berinvestasi pada emas. Namun tahun lalu ia telah menjual aset safe haven itu, dan menangguk untung dari lonjakan harga emas dunia yang sempat menembus US$ 2.000 per ons yang melejitkan harga emas dalam negeri hingga Rp 1.065.000 per gram. Meski, dalam hitungannya, return emas relatif sama dengan reksa dana pendapatan tetap atau pasar uang.

Kini, dia tertarik dengan promo tabungan berbunga 7 % per tahun yang ditawarkan bank Seabank Indonesia dan telah mengalokasikan sejumlah tertentu sebagai dana darurat.

Marsya merupakan satu dari sekian banyak investor yang lebih memilih untuk “bermain aman” dalam berinvestasi. Ada investor lain yang memiliki selera risiko (risk appetite) lebih tinggi untuk mencari return yang lebih besar. Ada juga yang moderat dengan menyeimbangkan antara risiko dan return.

Investor Muda Pilih Reksa Dana

Penyebaran investasi di kalangan anak muda tercermin dalam survei Katadata Insight Center (KIC), Zigi.id, dan PT Sisi Plus. Survei bertajuk “Investasi Pilihan Generasi Muda” memperlihatkan bahwa reksa dana merupakan instrumen investasi pasar modal yang cukup banyak dipilih investor. Dari 1.425 responden, 24,8 % memilih reksa dana, diikuti saham 22,5 %, sedangkan obligasi hanya 5,1 %.

Umumnya, investor reksa dana pada survei ini baru menggelutinya kurang dari dua tahun. Mereka didominasi oleh Gen Z (berusia 15-22 tahun) dan Gen Y (23-38 tahun). Sedangkan Gen X atau milenial yang berusia 39-54 tahun cukup banyak yang berinvestasi pada reksa dana lebih dari lima tahun, meski tak sedikit pula yang merupakan investor baru.

Sedangkan obligasi menjadi pilihan terakhir investor muda di pasar modal yang sebagian besar baru terjun ke instrumen ini dalam dua tahun terakhir dengan total investasi kurang dari Rp 5 juta. Sebagian besar investor juga hanya berinvestasi pada obligasi jika memiliki dana lebih.

Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menunjukkan bahwa investor reksa dana mendominasi pasar modal dalam negeri. Dari total jumlah investor 7,49 juta individu atau single investor identification (SID) per Desember 2021, sebanyak 6,84 juta atau 91,3 % merupakan investor reksa dana.

Sedangkan saham hanya berjumlah 3,45 juta investor (46,1%), dan obligasi 661,14 ribu (8,2 %). Pertumbuhan jumlah investor reksa dana juga menjadi yang tertinggi yakni 115,4 % secara tahunan (yoy), dibandingkan saham yang naik 103,6 % atau obligasi yang hanya tumbuh 32,7 %.

Data KSEI juga menunjukkan pasar modal didominasi oleh investor muda yang berusia di bawah 30 tahun yang porsinya mencapai 60 % atau hampir 4,5 juta investor. Sementara yang berusia 31-40 tahun 21,46 % setara 1,6 juta investor.

Meski demikian dua kelompok investor ini hanya menguasai aset Rp 138,4 triliun atau 13,85 % dari total aset pasar modal sebesar Rp 998,76 triliun. Sisanya Rp 860,36 triliun dimiliki investor berusia 41 tahun ke atas.

Head of Investment Research Infovesta Utama, Wawan Hendrayana, menjelaskan fenomena membuncahnya animo investasi para generasi muda ini, di antaranya, didorong oleh teknologi finansial (fintech). Variannya seperti aplikasi dompet digital, e-commerce, dan berbagai aplikasi investasi semisal Bibit dan Bareksa, yang menawarkan kemudahan berinvestasi.

Driver utaman investasi di reksa dana adalah fintech. Tinggal buka apps, daftar, foto KTP, selfie sama KTP, jadi. Kemudahan teknologi membuka jalan bagi generasi muda untuk cepat sekali berinvestasi,” ujarnya kepada Katadata.co.id, akhir Desember 2021.

Selain kemudahan, fintech juga menawarkan berbagai promo yang semakin menarik minat generasi muda. Apalagi, fintech mengejar pertumbuhan jumlah pemakai sehingga cenderung jor-joran membakar duit melalui aneka promo. “Ini tidak bisa dilakukan fund manager. Sekian tahun saya di industri ini, fintech bisa melakukannya dalam waktu yang cepat,” kata Wawan.

Dengan membuncahnya animo investasi para generasi muda didukung dengan keberadaan fintech, Wawan optimistis jumlah investor reksa dana bisa mencapai 10 juta individu pada 2022.

Prospek Cerah Reksa Dana dan Obligasi di Tahun Macan

Lalu bagaimana prospek imbal hasil atau return reksa dana? Ketika berbicara imbal hasil, reksa dana saham jelas menawarkan yang tertinggi. Dapat dilihat dari perkembangan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang dalam 20 tahun terakhir melonjak dari level 400-an pada awal 2001 menjadi 6.500-an pada akhir 2021. Artinya, naik lebih dari 1.500 %.

Namun dengan return yang tinggi, risiko juga mengintai. Tidak ada investor yang dapat meramal gejolak di masa depan. Seperti krisis global 2008-2009 yang membuat IHSG kehilangan lebih dari 1.500 poin. Begitu juga pada awal 2020 ketika virus corona pertama kali dideteksi di Indonesia, IHSG anjlok lebih dari 2.000 poin.

Seiring penanganan pandemi dan pemberian vaksin yang meluas, roda perekonomian kembali berputar memasuki fase pemulihan. IHSG tak hanya bangkit, namun mencatatkan rekor tertinggi baru. Prospek IHSG tahun ini pun cerah. Berbagai lembaga riset memprediksi indeks dapat menembus level 7.500-7.800 pada akhir 2022.

Kuncinya masih pada kemampuan pemerintah mengendalikan pandemi. “Saya lihat pemerintah sanggup menghadapi Omicron, cepat tanggap karantina, dan tidak ada PPKM yang lebih ketat. Kalau ada PPKM, pendapatan perusahaan turun, saham pasti turun,” kata Wawan.

Selain perkembangan kondisi pandemi, harga komoditas menjadi salah satu pendorong kinerja reksa dana saham yang berinvestasi pada sektor komoditas. Harga batu bara, misalnya, terus naik di tengah tingginya permintaan energi yang didorong pemulihan ekonomi. Ini akan mendorong pendapatan dan harga saham emiten-emiten batu bara.

Reksa Dana Pilihan Investor
 

Tantangan berikutnya adalah inflasi dan rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (Fed). Fed diramal menaikkan suku bunga hingga empat kali, masing-masing 25 basis poin, untuk mengendalikan inflasi. Kenaikan suku bunga Fed dipastikan akan diikuti bank sentral di seluruh dunia.

“Kenaikan suku bunga berpotensi memberikan tekanan pada pasar surat utang atau obligasi, serta reksa dana pendapatan tetap,” ujar Wawan. “Meski di sisi lain tren kenaikan suku bunga juga akan membuat reksa dana pasar uang menjadi lebih menarik karena menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi.”

Kendati di tengah ancaman kenaikan tingkat suku bunga serta penyebaran Covid-19 varian Omicron, Wawan cukup yakin dengan prospek reksa dana saham maupun reksa dana pendapatan tetap tahun ini. Ekonomi yang perlahan bangkit dan vaksinasi booster yang mulai terdistribusi dinilai sebagai katalis positif terhadap kinerja reksa dana berbasis ekuitas (saham) dan surat utang.

Sementara itu Schroders Indonesia dalam Outlook Pasar Obligasi 2022 menilai pasar obligasi Indonesia tahun ini dapat mencatatkan kinerja positif. Salah satunya didorong oleh melimpahnya likuiditas di dalam negeri di tengah kebijakan moneter longgar bank sentral. Ekses likuiditas ini dapat dialihkan ke surat berharga negara yang akan menopang pasar obligasi.

Strategi Investasi Reksa Dana

Pengembangan aset menjadi strategi kunci dalam berinvestasi. Produk reksa dana pun menawarkan berbagai pilihan jenis berdasarkan tingkat risikonya, mulai dari reksa dana saham, pendapatan tetap, pasar uang, campuran, terproteksi, hingga reksa dana indeks dan ETF.

Menurut Wawan, perluasan aset ini tergantung tujuan investor serta kondisi ekonomi dan pasar. Sebab, investasi bukan semata mencari return setinggi-tingginya, tapi untuk mencapai tujuan tertentu.

Misalnya, untuk anak kuliah dalam 10 tahun ke depan membutuhkan return 8 %, dua kalinya deposito. Bila seperti itu, sebagian besar dana bisa ke reksa dana pendapatan tetap, pasar uang, sisanya saham.

Kemudian kondisi perekonomian. Jika pasar penuh ketidakpastian seperti pada 2021, dia menyarankan investor bermain aman dengan porsi 5-3-2, yakni 50 % reksa dana pendapatan tetap, 30 % reksa dana saham, dan 20 % reksa dana pasar uang. Namun jika prospeknya positif, seperti tahun ini, ia menyarankan strategi 4-3-3.

“Paling optimal ke obligasi karena punya kelebihan yang menarik yakni pendapatan tetap atau fixed income dari kupon. Memang ada potensi harganya turun karena kenaikan suku bunga, tapi tunggu saja, misal dua tahun pasti sudah balik modal,” kata dia.

Sementara itu Direktur Avrist Asset Management Farash Akbar Farich mengatakan bahwa 2022 merupakan tahun pemulihan ekonomi, kenaikan suku bunga, dan inflasi. Sehingga, ia menyarankan investor mempertimbangkan alokasi yang lebih besar ke reksa dana saham. “Terutama yang berbasis saham big caps seperti reksa dana indeks LQ45 atau IDX30,” ujarnya.

Seiring kenaikan suku bunga, Farash menyarankan agar investor juga mempertimbangkan reksa dana pendapatan tetap jangka pendek seperti Surat Berharga Negara (SBN) dengan imbal hasil mengambang seperti Sukuk Tabungan atau Savings Bond Ritel (SBR).

Dengan fitur imbalan mengambang dengan batas minimal (floating with floor), investasi di ST dan SBR akan diuntungkan dari potensi tren kenaikan suku bunga acuan di masa mendatang seiring pemulihan ekonomi.

Sementara itu Direktur Utama PT Trimegah Asset Management, Antony Dirga merekomendasikan reksa dana saham dan campuran seiring dengan IHSG yang diramal mencapai level 7.800 pada akhir tahun. Ia juga menilai reksa dana obligasi korporasi menarik lantaran ada pemulihan ekonomi sehingga kinerja perusahaan bisa membaik.

Investasi Emas dan Logam Mulia Masih Berkilau di 2022

Menurut hasil survei KIC, Zigi.id, dan PT Sisi Plus Indonesia, emas masih menjadi pilihan umum saat berinvestasi. Lebih 60 % responden mengaku memiliki aset safe haven ini. Ketika pandemi meluluhlantakkan pasar modal pada awal 2020, harga emas sebagai lindung nilai justru melenggang.

Ketika itu harga emas dunia melambung hingga menembus US$ 2.000 per ons, tepatnya US$ 2.048 pada Oktober 2020. Harga emas batangan Antam di dalam negeri pun ikut melejit hingga menyentuh Rp 1.065.000 per gram.

Saat ini harga emas turun ke US$ 1.803,6 per ons. Sama halnya dengan harga emas Antam di dalam negeri yang pada akhir Januari berada pada posisi Rp 927.000 per gram. Turunnya harga emas didorong pemulihan ekonomi yang membuat investor kembali memburu aset berisiko seperti saham.

Namun saat ini harga emas diramal lebih kompetitif lantaran The Fed berencana menaikkan suku bunga yang dipastikan akan diikuti oleh bank sentral di seluruh dunia. Selain itu sifat emas sebagai aset lindung nilai membuatnya masih sebagai instrumen investasi yang menarik pada 2022.

“Investasi emas akan lebih kompetitif, selain karena perkiraan kenaikan suku bunga Fed, juga pengaruh dari pemulihan ekonomi dunia yang bisa membuat harga emas tertahan,” kata analis Ariston Chendra dalam keterangan tertulis, Sabtu (15/1).

Kenaikan suku bunga bisa memberikan dampak negatif terhadap emas, tetapi kenaikan suku bunga Fed pada tiga bulan ke depan dinilai belum mampu menekan harga emas. Ini bisa menjadi kabar baik, yang bisa menjadi sinyal emas akan kuat menahan kenaikan suku bunga dan melaju pada 2022.

Sementara itu, Goldman Sachs dalam laporan terbarunya memperkirakan harga emas dapat menyentuh US$ 2.150 per ons. Investor melihatnya sebagai alat lindung nilai dari inflasi yang diperkirakan melonjak di dunia, seiring dengan pemulihan ekonomi.

“Hari ini, proyeksi pertumbuhan ekonomi dan inflasi global sangat berbeda. Meskipun belum ada pembicaraan tentang resesi, ekonom kami memperkirakan perlambatan pada pertumbuhan ekonomi AS,” tulis analis Goldman Sachs dalam laporan yang dirilis pada Kamis (26/1).

Perlambatan ekonomi dan inflasi membuat menyebabkan terjadinya pergeseran ke aset-aset bebas risiko untuk jangka panjang. Investor mencari cara untuk melindungi portofolio mereka dari risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Seksinya Investasi Peer to Peer Lending

Investasi peer to peer lending menjadi yang paling tidak populer di kalangan generasi muda. Menurut hasil survei KIC, Zigi.id, dan PT Sisi Plus Indonesia, hanya 4,6 % dari 1.425 responden yang memiliki investasi jenis ini. Mayoritas dari mereka juga baru berinvestasi kurang dari setahun atau baru dua tahun terakhir.

Data di OJK juga menunjukkan bahwa lender ritel terus mengalami penurunan secara bulanan. Per Desember 2021, jumlahnya turun menjadi 135 ribu dengan nilai pinjaman sebesar Rp 11,7 triliun dibandingkan bulan sebelumnya yang sekitar 141 ribu lender dengan total pinjaman Rp 11,9 triliun.

Perencana keuangan Finansia Consulting Eko Endarto mengatakan bahwa P2P lending merupakan platform bagi investor pemula untuk berinvestasi. Namun ia menyarankan agar dana yang ditempatkan tidak terlalu besar.

Pasalnya investasi ini masuk dalam kategori risiko moderat hingga tinggi. “Apalagi penjaminnya tidak sekuat LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) jika dibandingkan dengan produk bank,” ujarnya.

Oleh karena itu ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan investor jika ingin berinvestasi di sini. Pertama, fintech lending yang menjadi tempat investasi harus mengantongi izin dari OJK. Kedua calon investor juga harus memperhatikan rating kredit dari peminjam. Semakin tinggi rating-nya maka semakin tinggi pula risikonya.

Sementara dari sisi pemain, Koinworks menjadi primadona investor muda, dengan sekitar 34% memilih fintech ini untuk masuk sebagai lender. Hal ini lantaran Koinworks menawarkan imbal hasil 18% kepada para lender-nya.

Selain Koinworks, fintech lending yang masuk dalam 10 besar pilihan investor muda saat ini -menurut survei KIC- yaitu Investree (30,6 %), Asetku (19,6 %), Akseleran (16,1 %), Amartha (12,7 %), Modalku (9,2 %), Danamas (5,8 %), Alami (4,2 %), Dana Syariah (4,2 %), dan Uang Teman (3,5 %).

Tim produksi

Koordinator:

Sorta Tobing

Penulis:

Amal Ihsan Hadian, Intan Nirmala Sari, Happy Fajrian, Maesaroh, Sorta Tobing

Editor:

Muchamad Nafi, Yura Syahrul

Desain Grafis:

Pretty J. Zulkarnain

Ilustrasi:

Joshua Siringo-ringo

Video:

Dini Apriliana

Teknologi Informasi:

Firman Firdaus, Aditya Nugroho, Mohammad Afandi, Maulana