Credit: The Asia Foundation

Peran perempuan dalam komunitas adat, khususnya terkait pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua masih kerap dipandang sebelah mata. Padahal, merekalah yang merasakan langsung dampak kegiatan yang berimplikasi pada lingkungan dan kehidupan sosial.

“Ada filosofi masyarakat bahwa tanah adalah simbol dari perempuan atau ibu,” terang Naomi Marasian, aktivis perempuan yang juga merupakan Direktur Eksekutif Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PT PPMA) Papua.

Saat berbincang dengan Katadata beberapa waktu lalu, Naomi menceritakan bahwa perempuan adat memiliki informasi dan pengetahuan yang lebih baik tentang wilayah yang mereka tempati. “Mereka tahu apa saja isi wilayah yang mereka tinggali. Misalnya, lokasi obat-obat herbal,” terang Naomi.

Naomi Marasian dalam kunjungannya ke wilayah adat di Papua. Credit: The Asia Foundation

Pengetahuan mengenai tata kelola sumber daya secara tradisional, konservasi hutan dan pertanian merupakan hal lazim yang diketahui perempuan adat. Informasi tersebut didapatkan secara turun-temurun untuk mendukung mata pencaharian mereka. Oleh sebab itu, aspirasi para perempuan di komunitas adat tidak bisa dikesampingkan.

“Praktiknya, saat kami melakukan proses pemetaan dan terjadi konflik terkait batas wilayah yang tidak bisa diselesaikan. Salah satu narasumber penting yang harus kita dapatkan adalah perempuan,” cerita Naomi lagi.

Menurut dia, para perempuan lebih bisa menjelaskan dengan rinci soal sejarah tanah, cerita tentang wilayah, jati diri komunitas. Termasuk juga dengan nilai-nilai adat dan aturan adat yang ada. “Mereka paham karena banyak cerita-cerita yang disampaikan orang tua ke anak perempuan, di saat kebanyakan laki-laki pergi (merantau).”

Namun, Naomi menegaskan pentingnya peran perempuan dalam komunitas adat ini bukan lantas untuk dibanding-bandingkan atau membangun kompetisi dengan laki-laki. Menurutnya, perempuan dan laki-laki memainkan peran masing-masing dalam membangun komunitas dan menjaganya untuk masa depan.

Dalam kebanyakan budaya Masyarakat Adat Papua, hak kepemilikan tanah memang berada di garis keturunan laki-laki. Namun, yang tidak boleh dilupakan, perempuan juga memiliki hak kelola. Oleh karena itu, dalam memanfaatkan lahan dan wilayah adat, perempuan lebih banyak berperan. “Perempuan punya ruang di sini,” tegas Naomi lagi.

Naomi Marasian melakukan komunikasi dengan Bupati Jayapura. Credit: The Asia Foundation

PT PPMA, organisasi yang dikelolanya mempunyai sejumlah program penguatan perempuan di komunitas adat, seperti konsolidasi organisasi perempuan, pemberdayaan perempuan adat dan pendidikan gender.

Inisiatif program pemberdayaan perempuan muncul sekitar 2018. Penyebabnya, kaum lelaki yang kian mendominasi komunitas adat kemudian menjadi isu krusial. Dominasi tersebut tercermin pada saat pembahasan oleh masyarakat adat terkait hak dan pengambilan keputusan, keterlibatan laki-laki bisa dipastikan lebih besar ketimbang perempuan.

Padahal, ketika berbicara mengenai masa depan, perempuan merupakan sosok yang tidak bisa dikesampingkan. Merekalah yang memperkuat ruang akses pemanfaatan sumber daya alam dan memelihara kearifan tradisional.

Beragam program yang dirintis oleh PTPPMA di antaranya adalah peningkatan kreativitas perempuan di bidang ekonomi, seperti kegiatan budidaya tanaman pangan yang berhasil membina masyarakat adat menerapkan pola bertanam yang baik. Di komunitas adat lain, mereka memproduksi noken atau tas tradisional sekaligus mendukung pelestarian identitas masyarakat adat.

“Nilai-nilai budaya itu diwariskan ke generasi anak cucu supaya mereka bisa menjadi anak yang mencintai budaya mereka, mencintai wilayah mereka, dan apa yang mereka punya. Semangat itu yang ingin kami kembangkan,” tutur Naomi. Tujuannya, menurut dia, agar perempuan bisa menjadi satu kekuatan sosial yang mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang ada.