Credit: EcoNusa

Berawal dari keprihatinan atas kondisi masyarakat yang tidak menyadari kekayaan yang mereka miliki, Pastor Apolinaris Miller Senduk berupaya memperkuat posisi masyarakat Merauke, tempat dia mengabdikan diri selama 24 tahun terakhir.

Bergerak bersama Caritas, badan kemanusian di bawah Gereja Katolik Indonesia, Pastor Miller melakukan pendekatan lewat pemberdayaan masyarakat kampung.

“Kami mengusung mitigasi dan resiliensi. Kami ingin masyarakat mempunyai ketahanan pangan dan bertahan dari bujukan menjual hutan, mereka pasti bisa (menjadi berdaya) kalau terus didampingi,” ujar pria yang merupakan Direktur Caritas Keuskupan Agung Merauke sekaligus Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi.

Pastor Miller menceritakan Caritas Merauke sebagai organisasi gereja menjadi wadah yang ideal. Gereja masih menjadi tempat pertama yang didatangi masyarakat untuk menyampaikan persoalan mereka. Apalagi, ada anggapan masyarakat Papua kalah bersaing dan sulit berkembang.

“Masyarakat Papua kadang dianggap tidak bisa, padahal bagi saya–berdasarkan pengalaman juga, jika kita mendekati dengan baik dan menyentuh hatinya, akan ada perubahan yang terjadi,” cerita Pastor Miller pada pertengahan Juli lalu.

Pater Apolinaris Miller Senduk, menceritakan pentingnya ketahanan pangan dan pengembangan pangkalan data bagi masyarakat di Tanah Papua, ini disampaikan dalam kegiatan evaluasi dan penutulan Sekolah Kampung Samb Kai. Credit: EcoNusa.

Ada beberapa kondisi lapangan yang mendorong Pastor Miller mengupayakan peningkatan kapasitas masyarakat kampung. Pertama, terkait hilangnya sumber penghidupan akibat terus tergerusnya hutan yang merupakan sumber makanan menjadi perkebunan sawit. “Masyarakat yang kehilangan sumber makanan akan semakin terdorong menjual tanah mereka,” katanya.

Selain itu, pengelolaan dana kampung juga belum optimal. Menurut Pastor Miller, banyak dana desa yang tidak terserap dengan baik di kampung-kampung di Merauke. Ini disebabkan oleh kurangnya kapasitas aparat kampung. Dia melihat ada kecenderungan pemanfaatan dana desa untuk pembangunan fisik ketimbang pemberdayaan ekonomi masyarakat.

“Dana kampung kalau digunakan dengan baik pasti akan mendukung kampung bertumbuh dan berkembang, masyarakat tidak akan jual tanah. Kuncinya ada di perencanaan kampung yang benar,” ujarnya berpendapat.

Pater Apolinaris Miller Senduk, menyerahkan sertifikat kepada Hendrik J Tanjai asal Kampung Bupul, dia merupakan tim pakalan data yang akan dianalisis di aplikasi Sistem Informasi Kampung (Si Kampung). Credit:EcoNusa.

Bersumber dari sejumlah persoalan tersebut, dia melihat bahwa pendidikan bisa menjadi jalan keluar. Bekerja sama dengan Yayasan EcoNusa dan Insist, Caritas Merauke lantas membentuk program Sekolah Kampung. Sejauh ini ada 10 kampung di Merauke yang menyelenggarakan Sekolah Transformasi Sosial (STS). Dimulai sejak akhir 2020 dan terus berlanjut pada 2021.

"Kami punya idealisme, menciptakan kader-kader kampung sebagai komunitas pembaharu yang cerdas, terampil dan berkepribadian," tuturnya mengungkap tujuan dari program ini.

Sekolah Kampung di Merauke berfokus pada dua kurikulum. Kelas pangkalan data yang berfokus dalam pengumpulan data sosial (demografi sampai sistem pemerintahan desa), sektoral (kausalitas produksi pangan dengan ekosistem), dan spasial (potensi kampung) serta kelas pertanian organik.

“Dampaknya, sekarang mungkin belum ada. Tapi mereka mulai bergerak mengumpulkan data. Mereka juga bisa menanam (tanaman organik). Kami sudah senang karena apa yang kami latih ada manfaatnya,” ujar Pastor Miller.

Dengan konsep seperti ini, Sekolah Kampung menjadi langkah awal untuk memperkuat dan memberdayakan masyarakat. Setelah memiliki data dan ilmu, dia berharap masyarakat dapat membuat perencanaan pembangunan kampung yang sesuai dengan kebutuhannya. “Orang asli Papua harus ‘muncul’. Jangan terpuruk. Mereka harus bisa mengolah tanahnya, menjaga hutan dan lingkungan.”