Sisi Lain Kota Digital:
Batam Haus Data, Warga Haus Air
Batam berpacu menjadi pusatnya pusat data, namun bagaimana kota ini memenuhi kebutuhan airnya?
Penulis: Rezza Aji Pratama
Di Batam, sebuah kota pulau di barat Indonesia yang sepenuhnya bergantung pada air hujan, tengah berlangsung perlombaan baru. Bukan untuk bertahan hidup, melainkan untuk server. Sedikitnya 18 pusat data sedang dibangun di sini, masing-masing membutuhkan jutaan liter air setiap hari.
Di Kawasan Industri Kabil, para pekerja berjibaku membangun gedung data center setinggi empat lantai. Tiap lantainya seluas lapangan sepak bola. Inilah satu dari tiga gedung data center yang akan dibangun di kawasan ini. Saat rampung, ketiga gedung ini akan berkapasitas total 56 megawatt (MW) dan butuh 3 juta liter air per hari untuk sistem pendinginan—setara dengan konsumsi air 30.000 orang menurut standar World Health Organization (WHO).
Fasilitas ini dimiliki oleh NeutraDC–Nxera, perusahaan patungan yang didukung oleh raksasa digital Asia Tenggara. Telkom Indonesia melalui anak usahanya Telkom Data Ekosistem (60%), Singtel lewat Nxera (35%), dan Medco Power Indonesia (5%).
“Fasilitas pertama akan beroperasi pada awal 2026,” ujar Indrama Purba, CEO NeutraDC–Nxera Batam, kepada Katadata.
Data center di Kabil ini hanya salah satu dari belasan proyek data center yang direncanakan di seluruh Batam. Perkembangan digitalisasi dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) membuat kebutuhan terhadap data center kian tinggi.
Data center adalah tulang punggung kehidupan digital. Setiap kali netizen membuka Instagram, menonton YouTube, atau mengirim email, data tersebut mengalir melalui dan disimpan di fasilitas ini. Tidak akan ada internet tanpa data center.
Fasilitas ini berisi deretan rak besi yang berdiri tegak di aula yang luas. Masing-masing rak menampung server, komputer berdaya tinggi yang menyimpan dan memproses kehidupan digital kita. Server-server ini bekerja tanpa henti, 24 jam sehari. Seperti mesin lainnya, server menghasilkan panas luar biasa. Tanpa sistem pendinginan yang efektif, perangkat akan memanas dan rusak hanya dalam hitungan menit.
Ini membuat data center menjadi salah satu infrastruktur digital paling haus air. David Mytton, peneliti dari Centre for Environmental Policy, Imperial College London, memperkirakan satu megawatt (MW) kapasitas pusat data dapat mengonsumsi sekitar 25,5 juta liter air per tahun hanya untuk pendinginan.
Saat ini ada berbagai macam sistem pendinginan data center yang digunakan. Mulai dari pakai pendingin ruangan, sistem pendingin cair yang canggih hingga kombinasi keduanya.
Sistem air cooling menggunakan pendingin seperti AC rumahan. Udara panas diserap oleh mesin pendingin, kemudian digantikan dengan udara dingin.
Sistem air cooling menggunakan air yang relatif lebih sedikit, tetapi boros energi.
Sistem liquid menggunakan cairan khusus yang ditempatkan di sekitar rak server.
Ada juga sistem direct-to-chip yang mengalirkan cairan dingin langsung ke cip server.
Di beberapa data center bahkan ada yang merendam servernya ke dalam cairan yang disebut immersion cooling.
Batam, yang terletak strategis di tepian Selat Malaka, telah lama menarik gelombang investasi. Kota ini hanya berjarak 45 menit dengan feri dari Singapura. Saat ini, Batam memiliki 31 kawasan industri, tiga Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan ribuan pabrik yang memproduksi berbagai barang, mulai dari elektronik hingga kemasan plastik.
Batam yang awalnya dibangun sebagai pusat galangan kapal dan manufaktur, kini diproyeksikan menjadi pusatnya pusat data. Pemerintah bahkan membentuk KEK Nongsa Digital Park yang didedikasikan untuk industri digital. Kawasan ini menjadi rumah bagi studio animasi, fasilitas pusat data, start-up, dan proyek Pusat Data Nasional yang tertunda.
“Di Nongsa Digital Park, akan dibangun sembilan data center. Empat lagi segera menyusul,” kata Irfan Syakir, Direktur Pengembangan KEK Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), kepada Katadata.
“Totalnya ada 18 data center yang sudah masuk ke kami.”
- Irfan Syakir (Direktur Pengembangan KEK)-
Namun, tidak semua proyek ini berada di dalam KEK. Fasilitas NeutraDC-Nxera, misalnya, dibangun di Kawasan Industri Kabil — terutama karena, menurut Indrama, “infrastruktur di sana lebih siap dibandingkan dengan Nongsa.”
Meski begitu, bahkan di Kabil, infrastruktur terutama air masih menjadi tanda tanya. Ekspansi cepat data center akan menguras pasokan air di Batam yang hanya bergantung pada hujan.
Data Center milik NeutraDC-Nxera di Kawasan Industri Kabil. Saat rampung, fasilitas ini butuh 3 juta liter air per hari/NeutraDC-Nxera
Data Center NeutraDC’s di Kabil Industrial Park. Jika proyek ini selesai, nantinya akan membutuhkan air 3 juta liter per hari untuk sistem pendinginnya/NeutraDC-Nxera
Ketersediaan listrik tidak terlalu menjadi persoalan sebab Batam masih memiliki cadangan setrum hingga 37%, meskipun mayoritas berasal dari pembangkit energi fosil. Namun, air adalah sumber daya terbatas yang sangat berharga di pulau ini. Data center sangat bergantung pada air untuk mendinginkan server. Sebagian besar fasilitas menggunakan air bersih yang sudah diolah, meskipun saat ini beberapa data center juga mulai mencoba memakai air daur ulang.
“Batam tidak memiliki sungai besar dan hanya sedikit air tanah yang bisa dimanfaatkan,” ujar Sudra Irawan, dosen geomatika dan peneliti di Politeknik Negeri Batam, kepada Katadata.
Sumur air tanah bahkan telah dilarang permanen karena kualitasnya buruk. Batam sepenuhnya bergantung pada enam waduk tadah hujan, yang terhubung melalui jaringan pipa rumit di sekujur pulau. Namun, sistem jaringan air ini masih rapuh. Kebocoran, keterbatasan infrastruktur, pemeliharaan, dan musim kemarau sering membuat keran di pemukiman mengering. Di beberapa daerah, warga hanya mendapat aliran air beberapa jam sehari.
Muhammad Iwan (40), warga Teluk Mata Ikan–sebuah desa nelayan kecil tepat di seberang KEK Nongsa– masih ingat krisis air yang melanda desanya pada akhir 2024. Selama berbulan-bulan, air mengalir hanya beberapa jam sehari. Warga harus begadang untuk menampung air karena hanya pada saat itulah air cukup deras mengucur.
“Kami bahkan tidak bisa wudhu di masjid karena air hanya menetes dari keran,”
- Iwan (Warga Teluk Mata Ikan)-
Kondisi ini berlangsung sekitar tiga bulan. Hingga suatu hari di pertengahan Desember 2024, puluhan warga berkumpul di depan fasilitas pusat data di KEK Nongsa untuk protes. Mereka frustasi karena air terus mengalir ke kawasan industri, sementara rumah mereka tetap kering.
Pihak berwenang menyalahkan “masalah teknis” pada sistem pipa. Beberapa hari kemudian, air kembali normal. Menurut Iwan, pejabat khawatir masalah ini bisa mempengaruhi kepercayaan investor, mengingat desa tersebut dekat dengan KEK.
“Sejak itu, aliran air lancar,” ujarnya.
Meski pasokan air di Desa Teluk Mata Ikan stabil, banyak wilayah lain di Batam masih menghadapi masalah pasokan air. Ariastuty Sirait, Wakil Deputi Pelayanan Publik BP Batam, mengakui masih ada 18 stressed area di Pulau Batam. Di wilayah ini, air hanya mengalir empat jam setiap harinya, membuat warga harus mengandalkan pasokan tangki air, galon, atau membuat penampungan sendiri.
“Di daerah yang lebih tinggi, air hanya mengalir dua jam sehari,” katanya kepada Katadata.
Menurut Ariastuty, jaringan pipa belum sepenuhnya tersambung ke seluruh pulau. Memperbaiki sistem ini membutuhkan investasi besar. BP Batam menghitung kebutuhannya mencapai Rp1,4 triliun, hampir 74% dari anggaran tahunan BP Batam, untuk membangun jaringan pipa di seantero Batam.
“Kami sempat meminta rupiah murni [APBN] dari pemerintah pusat,” kata Ariastuty. “Tetapi ditolak,” katanya.
Sementara warga berjuang dengan air yang terbatas, fasilitas digital baru bersiap menenggak jutaan liter air setiap harinya. Data center berkapasitas 56 MW milik NeutraDC-Nxera misalnya, butuh 3 juta liter air per hari — setara dengan kolam renang ukuran Olimpiade. Jumlah ini bahkan hampir setengah dari pasokan harian di Kawasan Industri Kabil, yang menyediakan sekitar 7,4 juta liter air per hari untuk 45 perusahaan.
“Kami sudah memberitahu pihak Kabil soal kebutuhan air kami di masa depan,” kata Indrama.
Indrama menegaskan fasilitas NeutraDC-Nxera didesain untuk menghemat air. Lantai tiga dan empat menggunakan pendinginan udara dengan fan wall, sementara lantai dua menerapkan teknologi direct-to-chip, yaitu sirkulasi cairan pendingin langsung ke prosesor server untuk meminimalkan kehilangan air akibat evaporasi.
Meski begitu, angkanya tetap mencengangkan. Data BP Batam menunjukkan saat sembilan data center di Nongsa beroperasi penuh pada 2032, kebutuhan airnya mencapai 29 juta liter. Tambahkan 3 juta liter untuk fasilitas NeutraDC-Nxera, dan totalnya setara dengan 8,4% dari pasokan air Batam saat ini.
“Pada akhirnya, kita harus membatasi pembangunan pusat data. Mereka mengonsumsi terlalu banyak air, sementara warga masih kesulitan,"
- Ariastuty (Wakil Deputi Pelayanan Publik BP Batam)-
Meskipun berposisi strategis di Selat Malaka, Batam masih menghadapi tantangan dalam masalah suplai air.
Saat ini masih ada 18 stressed area di Batam. Di wilayah ini, air hanya mengalir beberapa jam per hari.
Batam hanya mengandalkan enam waduk tadah hujan sebagai sumber air baku.
Kerentanan air di Batam bukan hal baru. Pada 2020, pulau ini mengalami beberapa bulan tanpa hujan. Waduk menyusut, keran warga kering, dan orang-orang harus mengantre untuk mendapatkan air dari tangki mobil yang disediakan BP Batam. Permukaan air Duriangkang–waduk utama yang memasok 80% kebutuhan air Batam–turun 2,7 meter di bawah batas spillway. BP Batam bahkan sampai harus menyemai awan untuk memicu hujan buatan.
Kejadian ini seperti déjà vu dari 2015, ketika kekeringan serupa melumpuhkan kota dan warga terpaksa membeli air galon untuk kebutuhan sehari-hari, dan bahkan beberapa dari mereka mengambil air dari genangan di tanah.
“Batam sepenuhnya bergantung pada waduk,” ujar Hendrik Hermawan, Pendiri Akar Bhumi, sebuah LSM lingkungan lokal.
“Tapi banyak area tangkapan airnya dalam kondisi kritis," kata Hendrik.
Saat ini, enam waduk di Batam memasok sekitar 382 juta liter air setiap hari. Untuk sekarang, itu masih cukup. Namun, deforestasi, polusi, dan penggunaan lahan ilegal mengancam keberlanjutan pasokan air tersebut.
Di sekitar Waduk Tembesi, warga membangun keramba ikan dan membuka lahan pertanian kecil. Padahal, BP Batam telah melarang aktivitas apapun dalam radius 500 meter dari waduk manapun.
“Limbah ternak dan pestisida dari aktivitas ini mencemari waduk. Kami sedang bekerja untuk memperbaikinya,”
- Ariastuty (Wakil Deputi Pelayanan Publik BP Batam)-
Batam juga punya sejarah buruk dalam pengelolaan sumber air. Kota ini kehilangan salah satu sumber air vitalnya setelah warga berbondong-bondong membangun pemukiman ilegal di sekitar waduk Baloi. Itu terjadi selama bertahun-tahun tanpa ada upaya untuk penertiban. Akibatnya, waduk pertama di Batam yang dibangun pada 1977 itu tercemar oleh logam berat seperti kadmium, kromium, dan timbal, serta deterjen kimia.
Pada 2012, BP Batam terpaksa menutup waduk tersebut. Sejak itu, waduk yang dulu jernih itu berubah menjadi apa yang warga lokal sebut sebagai ‘septic tank raksasa’.
Aktivitas pertanian di sekitar Waduk Tembesi mengancam ekosistem sumber air Batam/Katadata
Aktivitas pertanian di sekitar Waduk Tembesi mengancam ekosistem sumber air Batam/Katadata
Pipa air untuk pertanian di Waduk Tembesi /Katadata
Pipa air untuk pertanian di Waduk Tembesi /Katadata
Pestisida dan bahan kimia dari aktivitas pertanian mencemari air Waduk Tembesi/Katadata
Pestisida dan bahan kimia dari aktivitas pertanian mencemari air Waduk Tembesi/Katadata
Pompa mengalirkan air dari Tembesi dengan kapasitas mencapai 51 juta liter per hari/Katadata
Pompa mengalirkan air dari Tembesi dengan kapasitas mencapai 51 juta liter per hari/Katadata
Hendrik Hermawan dari Akar Bhumi menyebut kasus Waduk Baloi sebagai ‘tragedi’. Ia mendesak pihak berwenang untuk lebih memperhatikan ekosistem waduk yang tersisa agar sejarah serupa tidak terulang.
“Sayang sekali kita kehilangan Waduk Baloi,”
- Hendrik Hermawan (Aktivis Akar Bhumi)-
Di sisi lain, Ariastuty tetap optimistis soal masa depan Waduk Baloi. Ia mengakui pihaknya harus memindahkan ribuan orang yang tinggal di sekitar waduk agar bisa mengoperasikannya kembali. Batam membutuhkan setiap tetes air yang tersedia, dan Waduk Baloi pun tidak terkecuali. “Kami belum kehilangan harapan. Kami akan mencari solusinya,” tegasnya.
Kualitas air waduk Baloi tercemar oleh kadmium, kromium, timbal, dan deterjen/Katadata
Kualitas air waduk Baloi tercemar oleh kadmium, kromium, timbal, dan deterjen/Katadata
Waduk Baloi yang dibangun pada 1977 kini tidak bisa lagi digunakan sebagai sumber air baku sejak 2012/Katadata
Waduk Baloi yang dibangun pada 1977 kini tidak bisa lagi digunakan sebagai sumber air baku sejak 2012/Katadata
Pemukiman ilegal menjamur di sekitar Waduk Baloi/Katadata
Pemukiman ilegal menjamur di sekitar Waduk Baloi/Katadata
Di sisi lain, Batam memiliki sejarah kontroversial terkait pemindahan penduduk untuk proyek infrastruktur. Pada 7 September 2023, bentrokan pecah antara ribuan aparat bersenjata dengan warga Rempang, sebuah pulau yang berada di bawah administrasi Kota Batam. Tragedi ini dipicu oleh rencana pemerintah membangun kawasan industri, termasuk pabrik panel surya, yang akan memindahkan ribuan warga Rempang.
Hendrik dari Akar Bhumi menyebut insiden itu sebagai salah satu catatan hak asasi manusia terburuk di Batam. Ia mengingatkan relokasi warga di sekitar Waduk Baloi akan menjadi tantangan besar sebab banyak yang telah tinggal di sana bertahun-tahun.
“Sekarang ribuan orang tinggal di sekitar Waduk Baloi. Bagaimana BP Batam akan memindahkan mereka?” ujarnya. “Harus hati-hati, jangan sampai terulang seperti di Rempang.”
Seberapa besar kebutuhan air untuk data center di Batam?
Saat beroperasi penuh di 2032, 10 data center di Batam membutuhkan 32 juta liter air per hari atau sekitar 8,4% dari total suplai saat ini.
Jumlah ini bisa memenuhi kebutuhan 320 ribu orang atau seperempat penduduk Batam.
Jumlah ini juga setara dengan kebutuhan harian seluruh penduduk Kota Palangkaraya yang mencapai 310 ribu.
Jika seluruh air itu dipakai untuk mengisi kolam renang olimpiade, dibutuhkan 13 kolam untuk menampungnya.
Dibutuhkan 6.400 unit truk tangki air berkapasitas 5.000 liter untuk menyuplai 32 juta liter air per hari.
Jika memakai keran rumahan, dibutuhkan waktu 6 tahun nonstop untuk memenuhinya.
Di tengah lonjakan investasi infrastruktur digital, Batam kini menghadapi tantangan besar dalam manajemen air. Menurut Sudra Irawan dari Politeknik Batam, selain polusi dan kontaminasi, pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri juga telah meningkatkan permintaan air. Saat ini, Batam dihuni sekitar 1,26 juta orang, dan jumlah ini diperkirakan terus naik, didorong oleh tingkat kelahiran yang tinggi dan migrasi.
“Musim kemarau panjang masih mengintai Batam,”
- Sudra Irawan (Akademisi)-
Batam termasuk salah satu kota paling unik di Indonesia. Sebuah kota yang dibangun hampir dari nol. Sebelum era 1970-an Batam masih tertutup hutan lebat. Pulau ini nyaris tidak berpenghuni, hanya pemukiman kecil nelayan yang berdiri di pesisirnya. Presiden Soeharto membuka hutan-hutan di Batam pada 1970-an untuk untuk memberi ruang bagi pengembangan industri sekaligus menjadi pesaing utama Singapura.
Batam pun berkembang menjadi pusat industri dan menjadi bagian penting dari segitiga pertumbuhan SIJORI, kerja sama ekonomi subregional yang menghubungkan Singapura, Johor (Malaysia), dan Riau (Indonesia). Selama beberapa dekade, kemitraan ini menjadikan Batam sebagai kota satelit industri bagi Singapura, menampung pabrik, galangan kapal, dan lini perakitan elektronik. Kini, di era digital, logika yang sama mendorong ledakan pembangunan data center.
Di seberang selat, Singapura menjadi perintis fasilitas data center di Asia Tenggara. Namun, keterbatasan lahan, energi, dan air membuat Singapura melarang pembangunan data center baru pada 2019. Aturan ini dicabut pada 2022 dan kini, otoritas memberlakukan persyaratan ketat untuk membangun data center baru di negara tersebut.
Sejak saat itu, banyak investor mengalihkan pandangan ke Johor dan Batam, di mana lahan dan sumber daya lebih mudah diakses. Johor telah lebih dulu menarik investor data center dibanding Batam. Menurut laporan Malaysiakini, negara bagian Malaysia ini telah menarik 72 proyek data center, dengan sedikitnya 13 unit sudah beroperasi. Kapasitas totalnya diproyeksikan mencapai 2,6 gigawatt pada 2027. Tren ini mulai menimbulkan kekhawatiran terkait pasokan air dan energi Johor. Sementara itu di seberang selat, Batam berupaya memanfaatkan peluang tumpahan permintaan regional untuk infrastruktur data.
Batam terus menjadi magnet bagi investasi data center, berkat insentif menarik sebagai kawasan perdagangan bebas dan KEK. Nicholas Toh, Managing Director dan Kepala Data Centre Platform Asia di Gaw Capital Partners—perusahaan di balik fasilitas Golden Digital Gateway (GDG) 5,2 MW di Nongsa — insentif ini membuat Batam punya keunggulan kompetitif dibanding lokasi lainnya di Asia Tenggara.
“Pertanyaannya bukan lagi apakah data center akan berkembang di Batam, tetapi kapan,” katanya dalam laporan perusahaan.
Fasilitas GDG itu sendiri dirancang dengan sistem pendingin berbasis udara untuk meminimalkan penggunaan air. Infrastruktur ini juga fleksibel untuk beralih ke teknologi pendingin cair untuk kebutuhan AI. Meski begitu, kebutuhan air dari data center berskala besar tetap menjadi isu penting di Batam. Pada 2032, fasilitas 5,2 MW ini diproyeksikan membutuhkan sekitar 881.000 liter air per hari.
Bagi warga lokal, ekspansi cepat data center memicu kekhawatiran baru soal pasokan air. Ishlahudin (30), salah satu warga Batam, memperingatkan tentang kerentanan pulau terhadap musim kemarau, seperti yang terjadi pada 2015 dan 2025. Ia khawatir kebutuhan air data center akan diprioritaskan dibandingkan kebutuhan warga, terutama saat kekeringan berkepanjangan.
“Data center harus mencari sumber air yang memadai. Jangan mengorbankan waduk yang diperuntukkan bagi masyarakat,”
- Ishlahudin (Warga Batam)-
BP Batam tengah menjajaki berbagai solusi untuk persoalan ini. Irfan Syakir menjelaskan, khususnya di SEZ Nongsa, pihaknya berencana membangun fasilitas pengolahan air berkapasitas 30 juta liter per hari untuk memenuhi kebutuhan industri digital.
“Itulah keuntungan berinvestasi di SEZ. Kami berkomitmen penuh mendukung industri,” kata Irfan.
Sementara itu, Ariastuty mendorong perusahaan data center untuk berperan aktif dalam menemukan solusi pasokan air, termasuk teknologi desalinasi air laut. “Sudah ada perusahaan di Batam yang memproduksinya,” jelas Ariastuty.
Namun, teknologi ini masih menghadapi tantangan investasi dan biaya. Harga air industri di Batam sekitar Rp12.000 per meter kubik, sementara air desalinasi bisa mencapai Rp28.000–36.000 per meter kubik. Investasi awalnya juga tinggi. BP Batam memperkirakan fasilitas berkapasitas 300 m2 akan menelan biaya hingga Rp300 miliar.
“Air desalinasi masih mahal. Pada akhirnya, ini tergantung pada permintaan klien,” ujar Indrama dari NeutraDC-Nxera.
Seiring permintaan data center yang terus tumbuh, lokasi strategis ditambah berbagai insentif yang ditawarkan, Batam diprediksi akan menjadi incaran investor. Namun, kerentanan terhadap pasokan air tetap menjadi pertanyaan penting.
“Jika kemarau melanda Batam lagi, siapa yang akan diprioritaskan? data center atau warga?”
-Hendrik Hermawan (Aktivis Akar Bhumi)-
Laporan ini merupakan bagian dari “Dark Side of The Boom”, proyek kolaborasi 14 media di Asia yang diinisiasi oleh Internews Earth Journalism Center.
Penulis: Rezza Aji Pratama
Visual Journalist: Antonieta Amosella, Bintan Insani
Data Journalist: Puja Pratama Ridwan
Editor: Hari Widowati
Development: Firman Firdaus & Puja Pratama Ridwan
