Credit: Muhammad Zaenuddin/Katadata

Komitmen Indonesia mengembangkan kendaraan listrik dimulai sejak ditandatanganinya Peraturan Presiden tentang Percepatan Pengembangan Kendaraan Bermotor Listrik pada 5 Agustus 2019. “Kita ingin mendorong percepatan pengembangan industri mobil listrik di Indonesia. Sebanyak 60 persen komponen kunci mobil listrik ada di baterai. Kita punya bahannya,” ujar Presiden Joko Widodo.

Untuk mewujudkan pengembangan kendaraan listrik di Tanah Air, Kementerian Energi dan Sumber Daya (ESDM) menyiapkan peta jalan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Peta jalan ini, seperti yang diungkapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif - dalam webinar Katadata Future Tech of Innovation Forum 2021 - ditujukan untuk meningkatkan ketahanan energi nasional dengan mengurangi ketergantungan impor BBM.

Melalui Peta Jalan KBLBB, diproyeksikan pengurangan konsumsi bahan bakar mencapai 0,44 juta kilo liter (KL) pada 2021 dan terus bertambah sampai 6,03 juta KL pada 2030. Angka ini muncul dengan asumsi konsumsi BBM mobil 1.800 liter per tahun dan konsumsi BBM motor 160 liter per tahun. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah juga menargetkan adopsi kendaraan listrik di Tanah Air mencapai 2.200 unit mobil listrik dan 2,1 juta unit motor listrik pada 2025.

Untuk memenuhi kebutuhan pengisian daya baterai listrik nantinya, ditargetkan pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) pada 2021 sejumlah 527 dan naik menjadi 31.859 unit pada 2030. Adapun untuk Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) ditargetkan 3.000 unit pada 2021 dan naik menjadi 67.000 pada 2030.

Pemerintah juga menugaskan PLN sebagai penyelenggara SPKLU, bekerja sama dengan BUMN atau badan usaha lain. Dengan syarat BUMN atau badan usaha tersebut memenuhi kesesuaian standar produk, memiliki sertifikat laik operasi, dan memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan.

Dalam roadmap ini juga ditetapkan sebaran lokasi SPKLU untuk memudahkan akses pengisian daya. Antara lain berada di SPBU dan SPBG, perkantoran, pusat perbelanjaan, area parkir, apartemen, dan pool taksi. Komitmen penggunaan KBLBB pun dibuat untuk jangka waktu lima tahun selama 2021 hingga 2025. Dibagi untuk kementerian/lembaga, pemerintah daerah, BUMN, juga swasta.

Pengamat kelistrikan Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menuturkan, harga yang murah menjadi kunci pengembangan mobil listrik. Jika tujuannya untuk menghemat bahan bakar minyak tapi penyerapan mobil listrik hanya 10-20 ribu setahun akibat harga yang mahal, upaya tersebut menjadi tidak efektif. “Idealnya 10-15 persen dari total penjualan mobil setahun,” ujarnya.

Inti dari industri kendaraan listrik adalah mesin, baterai dan power converter. Sebesar 40-50 persen dari harga jual mobil listrik itu dari baterai. Seharusnya, kata Fabby, pemerintah memiliki strategi besar pengembangan mobil listrik dulu, baru kemudian membuat payung hukumnya. Strategi itu di antaranya peta jalan pengembangan mobil listrik nasional.

Namun demikian, dia menyambut baik upaya pemerintah Indonesia menurunkan harga mobil listrik selama satu dekade terakhir. Dalam kurun waktu tersebut, pemerintah telah menurunkan 89 persen harga dengan penyesuaian harga baterai. Hal ini sejalan dengan harga baterai di internasional yang juga semakin murah.

Menurut kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), skenario penerapan kendaraan listrik di Indonesia masih belum maksimal. IESR membuat tiga skenario penyerapan kendaraan listrik. Pertama, skenario Business as Usual (BAU) yang sesuai dengan kondisi saat ini, yaitu tidak ada insentif tambahan selain BBNKB.

Penerapan skenario ini mengakibatkan penetrasi kendaraan listrik sangat lemah. Hampir tidak ada kendaraan penumpang beralih menjadi kendaraan listrik. Walaupun memang, dengan skenario ini sepeda motor listrik akan meningkat hingga 67 persen pada 2050.

Kedua, skenario moderat. Skenario ini memproyeksikan penetrasi penggunaan mobil listrik 14 persen dan motor listrik 75 persen. Untuk bisa mencapainya, skenario moderat menawarkan pembebasan pajak PPnBM (Pajak Penjualan Atas Barang Mewah) 15 persen dan pembebasan BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor hingga 2024. Juga tidak ada pajak tambahan seperti kendaraan konvensional yang mendapat beban pajak karbon yang bertambah US$10-100 tiap tahun sejak 2021 sampai 2050.

Ketiga adalah skenario ambisius. Disebut ambisius, karena skenario ini memproyeksikan penetrasi penggunaan mobil listrik sebanyak 85 persen dan 92 persen untuk motor listrik. Angka ini naik 17 persen bagi motor listrik dan naik hingga 78 persen bagi mobil listrik apabila dibandingkan dengan skenario moderat.

Skenario ini memberikan pembebasan pajak bagi seluruh kendaraan listrik diiringi dengan diperbesarnya pajak kendaraan konvensional. Selain itu, kendaraan konvensional juga dibebani pajak karbon yang bertambah US$10-245 per ton CO2 dari 2021-2050. Infrastruktur pengisian daya pun naik 22 kali lipat dibanding skenario moderat, sebanyak 600 ribu titik.

Clean Fuel Energy Specialist IESR, Julius C Aditama mengatakan, dekarbonisasi atau upaya penurunan emisi pada jaringan listrik jadi kunci pengurangan emisi pada kendaraan listrik. Pengurangan emisi GRK bisa tercapai apabila kita berhenti menggunakan PLTU batu bara.

“Dengan menerapkan skenario ambisius yang menghentikan penggunaan batu bara dalam bauran energi, bisa menurunkan emisi 45 persen lebih banyak dari target RUEN. GRK bisa berkurang 50 juta ton pada 2050, ” ungkapnya seperti dikutip Mongabay .

Untuk bisa mengimplementasikan skenario ambisius, pemerintah perlu menghentikan pembangunan PLTU setelah 2028 dengan masa operasional dibatasi hanya 20 tahun. “Dengan strategi ini, pengurangan emisi pada 2050 bisa bertambah menjadi 70 juta ton,” kata Julius.