Credit: Muhammad Zaenuddin/Katadata

Kendaraan listrik berpeluang berkembang pesat di Indonesia. Penjualan, pemanfaatan, hingga pengembangan teknologi jenis kendaraan ini diprediksi akan meningkat di masa depan.

Meski jumlahnya belum banyak, tren peningkatan penjualan mobil listrik di Indonesia mulai terlihat. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), pada 2020 terdapat 121 unit mobil listrik berbasiskan baterai yang dipasarkan oleh berbagai merek yang tergabung dalam asosiasi. Per Mei 2021, angkanya naik hampir 70 persen mencapai 395 unit BEV yang dibeli konsumen.

Jumlah tersebut tidak menghitung mobil dengan teknologi transisi seperti hybrid –memadukan mesin konvensional dan motor listrik, dan plug-in hybrid (PHEV). Total penjualan keduanya sudah menyentuh angka lebih dari 1.000 unit pada 2020 dan Januari-Mei 2021

Sementara itu, PLN yang mendapat penugasan sebagai penyedia infrastruktur pendukung kendaraan listrik, juga melakukan estimasi pertumbuhan kendaraan listrik nasional. Hal ini untuk menyesuaikan jumlah stasiun pengisian umum kendaraan listrik (SPKLU) yang perlu mereka siapkan tahun ke tahunnya.

Berdasarkan proyeksi PLN, pada 2021 diperkirakan akan ada 689 unit mobil listrik. Angkanya akan bertumbuh signifikan pada 2022 mencapai sekitar 4.000 unit dan terus bertumbuh sampai 16 ribuan unit pada 2025 dan 65 ribu unit pada 2030.

Baterai mobil listrik mengambil porsi dominan dalam menentukan harga kendaran listrik. “Baterai itu kira-kira mewakili 35 persen dari biaya produksi kendaraan itu,” kata Ketua Tim Pengembangan Baterai Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBL-BB) BUMN Agus Tjahajana Wirakusumah, dalam penjelasannya di acara IDE 2021: Accelerating Investment in Electric Vehicle.

Berdasarkan kajian Electric Vehicle Outlook 2021 yang dikeluarkan BloombergNEF, terdapat tren penurunan harga yang konstan dan signifikan dalam 10 tahun terakhir untuk harga baterai sel lithium-ion untuk kendaraan listrik.

Baterai lithium yang pada 2010 masih dihargai US$1.191/kWh (sekitar Rp 17 juta), harganya tinggal US$138/kWh (sekitar Rp 1,9 juta) pada 2020. Singkatnya dalam satu dekade terakhir terjadi penurunan harga sampai 89 persen untuk teknologi baterai lithium yang menjadi jantung mobil listrik.

Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa pada 2030 harga rata-rata baterai lithium ini bahkan akan menyentuh US$ 73/kWh atau sekitar Rp 1 juta. Beberapa faktor yang mendorong menyusutnya biaya produksi ini adalah operasional pabrik yang semakin efisien, semakin besarnya kapasitas produksi, dan peningkatan skala ekonomi. Di sisi lain, pengembangan teknologi yang memungkinkan baterai menyimpan energi semakin besar juga mendukung pemanfaatan lebih luas.

Harga mobil listrik yang lebih mahal memang membuatnya kalah bersaing dengan mobil konvensional. Alhasil harga baterai yang semakin murah ini harapannya bisa menjadi kunci peningkatan daya saing dan pemanfaatan kendaraan listrik lebih luas lagi.

Hyundai, salah satu jenama otomotif yang sudah membawa produk mobil listriknya untuk pasar Indonesia, mengakui sejauh ini produk yang mereka jual masih menargetkan konsumen kelas atas. “Di Indonesia dengan harga sekitar Rp 600 juta-Rp 700 juta itu masuk higher segment,” ujar COO Hyundai Motor Asia Pasific HQ Lee Kang Hyun di gelaran IDE 2021.

“Kalau kami mau menurunkan harga mobil listrik bisa dengan seiring pengembangan baterai sampai harga bersaing, atau dengan subsidi pemerintah, seperti negara-negara maju,” dia menambahkan.

Menurut Lee, berkaca dari negara-negara di Eropa dan Amerika, maupun kampung halamannya di Korea Selatan, dukungan dari pemerintah bisa menjadi pemacu tumbuhnya industri kendaraan listrik. Mulai keringanan pajak, insentif, sampai dukungan pengembangan infrastruktur menjadi pekerjaan rumah pemerintah.

Di Indonesia regulasi yang mendukung pertumbuhan kendaraan listrik juga sebenarnya sudah diterbitkan. Aturan pertama yang diundangkan yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55/2019 tentang Percepatan Program kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Perpres 55/2019 merupakan aturan awal yang menjadi payung hukum kendaraan listrik Indonesia.

Dari situ kemudian lahir turunannya seperti Peraturan Pemerintah 73/2019 yang mengatur tentang pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Per Oktober 2021 pengenaan pajak kendaraan akan bergantung dengan emisi gas buang yang dihasilkan kendaraan. Hal ini tentu akan menguntungkan mobil listrik.

Selain itu masih ada beberapa aturan level kementerian lain yang juga mendukung insentif fiskal maupun non-fiskal untuk pembeli kendaraan listrik nantinya. Harapannya dengan makin banyaknya dukungan yang diberikan pemerintah, pertumbuhan kendaraan listrik di Indonesia juga bisa makin masif.

Jika mau ditarik ke hulu, industri otomotif Indonesia pun punya keuntungan tersendiri terkait pembangunan baterai dan mobil listrik. Di Asia Tenggara, industri mobil Thailand sebenarnya lebih maju dari Indonesia. Namun Indonesia memiliki nikel. “Jadi harusnya Indonesia bisa jadi pionir atau penghubung di ASEAN soal mobil listrik,” ujar Lee lagi menekankan pentingnya nikel yang merupakan bahan baku untuk baterai kendaraan listrik ini.

Dijelaskan oleh Agus Tjahajana Wirakusumah terdapat empat jenis baterai untuk kendaraan listrik. Dua di antaranya memanfaatkan nikel dan kobalt. Keduanya merupakan sumber daya alam yang cukup besar dimiliki Indonesia.

Mengutip Kementerian ESDM, saat ini Indonesia mencatat potensi bijih laterit nikel dengan total sumber daya (terekam, tertunjuk dan terukur) 6,5 miliar ton dan total cadangan (terkira, terbukti) 3,1 miliar ton.

Oleh sebab itu menurut dia, dengan modal pengembangan industri baterai, yang menjadi komponen dominan kendaraan listrik, seharusnya percepatan pertumbuhan kendaraan listrik Indonesia juga bisa melaju dengan cepat.

“Pemerintah membangun industri baterai untuk mendukung pasar kendaraan listrik. Kalau industri kendaraan listrik berkembang, industri baterai juga akan berkembang,” ujar Agus.