Credit: EcoNusa

Untuk menjaga dan meningkatkan kapasitas masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan di Tanah Papua, beragam cara telah dilakukan. Salah satunya dijalankan oleh lembaga nirlaba EcoNusa yang menyusun beberapa program pemberdayaan, seperti Sekolah Eco Diplomasi bagi pemuda adat dan Sekolah Kampung bagi kader dan kepala kampung di Tanah Papua.

Sekolah Eco Diplomasi berkontribusi memacu kepemimpinan anak muda dalam proses pemberdayaan di masyarakat, membangun kerja sama antarlembaga keagamaan, pendidikan dan kemasyarakatan, juga meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola lingkungan.

Program ini telah menghasilkan 182 alumni di 40 kota dan kabupaten. Mereka yang tergabung di program ini berpartisipasi aktif membangun kerja sama dengan pemerintah daerah, juga membentuk jaringan EcoDefender di daerah masing-masing.

Sedangkan dalam Sekolah Kampung, peserta diajak untuk mendiskusikan persoalan kemandirian pangan, energi, dan lingkungan. Di Seram Barat dan Kaimana misalnya, program ini membangun rumah pengering untuk pala, kopra dan cengkeh. Rumah pengering ini bisa memaksimalkan produksi komoditas sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Perkumpulan Pemuda Generasi Malaumkarta melakukan pemetaan adat dan inventarisasi potensi Sub Suku Moi. Credit: EcoNusa

Salah satu contoh kelompok penggerak pembangunan hijau di Papua adalah para pemuda adat yang bernaung di bawah organisasi Perkumpulan Generasi Muda Malaumkarta.

Pemilihan pemuda sebagai aktor penggagas didasari karena anak muda dianggap lebih mudah diajak berorganisasi dan bergabung dengan berbagai lapisan masyarakat. Baik ke perangkat kampung, perangkat agama, juga tentunya masyarakat adat. Ditambah, pemuda pula yang akan mewarisi hak atas tanah, pengetahuan, dan hukum adat.

Perkumpulan pemuda dari lima kampung adat ini menginisiasi peraturan bupati mengenai kawasan konservasi tradisional yang dikenal sebagai egek pada 2017. Egek merupakan sistem konservasi hutan dan laut seperti sasi atau wilayah larangan mengambil sumber daya alam dalam kurun waktu tertentu. Tujuannya, supaya sistem konservasi yang sudah turun temurun dipraktikkan masyarakat adat bisa mendapat payung hukum.

Egek laut sudah disahkan dalam Perbup Nomor 07/2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Laut di Kampung Malaumkarta Distrik Makbon Kabupaten Sorong. Sedangkan untuk egek hutan, menurut Ketua Perkumpulan Generasi Muda Malaumkarta, Toranius Kalami, masih dalam proses.

Tori, sapaan akrab Toranius menyampaikan, bahwa perbup yang mereka dorong tersebut dipergunakan Gubernur Papua Barat dalam proses perumusan Deklarasi Manokwari pada 2018. “Ini menunjukkan bahwa usaha yang kami lakukan untuk kelestarian alam juga diperhitungkan di level yang lebih tinggi,” ucap Tori saat diwawancara Katadata (30/7).

Tori mengakui bahwa proses advokasi dan konsolidasi secara partisipatif ini juga perlu dilakukan dua arah, ke masyarakat adat juga ke pemerintah. “Sejak 2020, kami bersama EcoNusa melakukan advokasi dan proses partisipatif ke pemerintah dan masyarakat, terutama pemuda adat,” kata Tori.

Tetua adat mendampingi pemuda adat Suku Moi Kelim memastikan batas wilayah dengan pemanfaatan teknologi. Credit: EcoNusa

Tori meyakini pemetaan partisipatif perlu dilakukan untuk mengukur potensi ekonomi dengan konsep berkelanjutan. Ia bersama unsur masyarakat lain seperti organisasi masyarakat sipil (CSO), perguruan tinggi dan pemerintah setempat sudah memetakan 12.662,3 ha wilayah adat. Di dalamnya mencakup informasi biodiversitas serta penentuan zona khusus dan zona kelola.

Zona kelola yang diterapkan pada tradisi egek telah menghasilkan keuntungan ekonomi. “Melalui pemanfaatan ekonomi kawasan egek, rata-rata kami memperoleh pendapatan Rp 100 juta per bulan,” katanya.

Data keuntungan ekonomi itu selaras dengan hasil kajian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Pada 2018, nilai ekonomi wilayah adat Moi Kelim di Kampung Malaumkarta, Kabupaten Sorong mencapai Rp 168 miliar per tahun. Dari ekowisatanya saja, per tahunnya mencapai Rp 1,6 miliar potensi ekonomi langsung dan Rp 1 miliar potensi ekonomi tidak langsung.

Dari catatan EcoNusa, selain Tori, setidaknya ada tiga penggerak lainnya yang bisa menjadi teladan. Pertama, Bakrie Ombaier, Kepala Kampung Namatota di Kabupaten Kaimana. Ia mengorganisir masyarakat dan sumber daya alam dengan cara membentuk kelompok sadar wisata dan Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam). Praktik ini bermanfaat dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat beriringan dengan pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan.

Kedua, Betris Tefruam, Kepala Kampung Kufuriyai di Kabupaten Kaimana. Ia mendorong konservasi alam melalui tradisi sasi pada komoditas pala. Tujuannya agar masyarakat tidak memanen pala sebelum waktunya. Tradisi ini juga mendukung pengembangan potensi pala yang menjadi agenda pemerintah kabupaten setempat. Praktik ini sudah diterapkan di empat kampung dan berhasil mewujudkan pengelolaan komoditas secara profesional.

Ketiga, Beyum Antonela Baru, tokoh Kampung Kombif di Kabupaten Maybrat. Ia mendorong pengembangan serai wangi yang tadinya hanya merupakan tanaman liar kemudian diolah menjadi minyak atsiri dan sabun. Pengolahan ini memberikan manfaat ekonomi, khususnya bagi para anggota. Organisasi yang berisi perempuan adat ini juga menjadi organisasi perempuan yang pertama mengakses dana kampung untuk membuat rumah produksi.

Untuk memaksimalkan potensi ekonomi berkelanjutan dengan menjadikan masyarakat adat sebagai mitra pembangunan, Direktur Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PT PPMA), Naomi Marasian mengatakan pemetaan wilayah adat menjadi keharusan.

Prosesnya juga harus melibatkan masyarakat adat. Di Jayapura misalnya, dibentuk Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA). Salah satu agendanya melakukan pemetaan wilayah adat partisipatif. “Dengan begitu, masyarakat adat bisa mendapat pengakuan atas hak-haknya. Masyarakat adat dilindungi, hutan dan alam bisa terus dijaga,” ucap Naomi dalam wawancara dengan Katadata (12/7).