Credit: EcoNusa

Kepala Balitbangda Papua Barat, Prof. Charlie D Heatubun mengatakan, Papua Barat memiliki istilah “satu tungku tiga batu”. Istilah ini bermakna, perlu ada tiga unsur dalam pengelolaan wilayah, yakni pemerintahan, agama dan kelembagaan masyarakat adat. Dengan ini, segala proses pembangunan harus berdasarkan pertimbangan ketiga aspek tersebut.

Pada 2019, Pemerintah Provinsi Papua Barat berhasil menetapkan dua peraturan daerah khusus (Perdasus) yang substansial. Perdasus No 9/2019 tentang Tata Cara Pengakuan Masyarakat Adat dan Perlindungan Wilayah Hukum Adat dan Perdasus Nomor 10/2019 tentang Pembangunan Berkelanjutan di Papua Barat.

Dua perdasus ini merupakan tindak lanjut dari Deklarasi Manokwari pada 2018. Keduanya mengamanatkan perlindungan minimal 70 persen tutupan hutan yang ada saat ini dan 50 persen luas laut dan pesisir. Per 2021, kata Charlie, sudah ada hampir 67-69 persen kawasan lindung yang sebelumnya hanya 36 persen. Angka ini naik hampir dua kali lipatnya.

Pegunungan Cycloop atau Pegunungan Dobonsol sepanjang 36 km, membentang dari timur ke barat Provinsi Papua. Credit: EcoNusa

“Dengan melindungi hutan dan laut, kita menutup kesempatan untuk ekstraksi SDA. Ini bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan daerah dan masyarakat, sekaligus sebagai langkah konkrit mengurangi emisi gas rumah kaca,” ucap Charlie dalam wawancara dengan Katadata (28/7).

Terbaru, Papua Barat sedang mengusulkan adanya Kawasan Strategis Provinsi (KSP). Ini merupakan kawasan lindung keanekaragaman hayati dan budaya. Charlie memaparkan, Papua Barat akan menjadikan KSP ini sebagai kawasan natural capital yang memiliki nilai ekonomi lokal.

Sebagai insentif bagi masyarakat adat dan pemerintah daerah dalam menjaga lingkungannya, skema pendanaan seperti transfer insentif fiskal ekologis juga diterapkan. Terdapat tiga skema, yaitu TANE (Transfer Anggaran Nasional Berbasis Ekologi), TAPE (Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi), dan TAKE (Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi).

Skema ini menjadi pilot project terkait upaya penjagaan hutan, pengembangan investasi hijau, pengembangan ekonomi berbasis komoditas lokal non-deforestasi, peningkatan produktivitas dan review perizinan kelapa sawit.

Sebagai bagian dari upaya menjaga dan melindungi hutan, Papua Barat merupakan salah satu provinsi yang aktif dalam melakukan kaji ulang perizinan perkebunan kelapa sawit. Upaya itu dilakukan berdasarkan tiga landasan hukum. Pertama, Inpres Moratorium Sawit 2018 sebagai mandat presiden untuk memperbaiki tata kelola sawit.

Kedua, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) yang diinisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencegah korupsi pemanfaatan SDA. Lalu ketiga, Deklarasi Manokwari sebagai komitmen Pemerintah Papua dan Papua Barat menyelaraskan izin berbasis lahan dalam konteks pembangunan berkelanjutan.

Berdasarkan dua aturan dan satu komitmen tersebut, kolaborasi Pemerintah Provinsi Papua Barat, KPK, dan EcoNusa sudah mengevaluasi 24 izin sawit seluas 681.974 ha. Setelah tiga tahun, tepatnya per 30 September 2021, upaya review perizinan berhasil mencabut 14 izin konsesi dan mengurangi luasan 2 konsesi. Dari evaluasi perizinan tersebut, total lahan yang diselamatkan mencapai 346 ribu ha yang tersebar di Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, Teluk Wondama, Bintuni, Fakfak, dan Maybrat.

Menyampaikan data dari KPK, Direktur EcoNusa, Bustar Maitar dalam wawancara dengan Katadata (27/10) mengatakan, lebih dari dari 650 ribu ha konsesi dan 70 ribu ha yang telah ditanami sawit, terindikasi hanya 17 ribu ha yang membayar pajak. “Data ini menunjukkan ada potensi pajak yang hilang. Padahal itu bisa kita manfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat juga untuk peningkatan pendapatan daerah,” terang Bustar.

Tim evaluasi yang merupakan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan ini mendorong lahan hutan yang konsesinya sudah dicabut dikembalikan pengelolaannya kepada masyarakat adat dengan perencanaan pengembangan yang jelas. “Papua Barat jadi contoh pembelajaran kemampuan yang kuat dari pemda dan stakeholder menjaga hutan dengan aspek legal yang kuat,” kata Charlie.

Penanaman pohon mangrove di Malaumkarta, Papua Barat. Credit: EcoNusa

Provinsi Papua juga menerapkan praktik pembangunan berkelanjutan. Kepala Bidang Pengendalian dan Evaluasi Bappeda Kabupaten Sarmi, Papua, Hengky Baransano menjelaskan pembangunan berkelanjutan sudah diimplementasilan di wilayah Sarmi yang meliputi hutan dan pesisir.

Di pesisir, program pembangunan hijau yang dilaksanakan berupa pelatihan menanam mangrove, pengolahan produk berbahan dasar ikan serta pemberdayaan masyarakat untuk memanfaatkan kelapa. Selain itu, ratusan kelompok ibu-ibu juga diberdayakan untuk mengembangkan produk PHICO (Papua Home Industry Coconut Oil).

Kegiatan menanam bakau dan edukasi menjaga lingkungan juga dilakukan pemuda adat. Mereka berkumpul membentuk organisasi bernama KIPAS pada 2017. Organisasi ini diinisiasi pemuda adat yang mengenyam bangku perkuliahan, kemudian mengajak pemuda adat lainnya untuk bergabung menjaga kelestarian alam.

Bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, pemerintah kabupaten memberikan bantuan bibit tanaman dan ternak untuk dikelola. Sebelum 2018, hutan Kabupaten Sarmi masih dirambah. Setiap malam bisa lebih dari 100 truk mengangkut kayu besi. “Kini, bersama masyarakat adat, pemerintah Kabupaten berupaya maksimal menghentikan perambahan,” ucap Hengky.