Pembangunan Infrastruktur Justru Solusi di Saat Krisis
Infrastruktur itu suatu hal yang tidak pernah berakhir. Negara manapun selalu membutuhkan, Indonesia saja yang baru memulai.
Jusuf Kalla
Wakil Presiden RI
Program pembangunan infrastruktur yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sejak menjabat pada Oktober 2014, kerap menuai pro-kontra. Apalagi, di saat penerimaan negara sedang seret, laju pembangunan infrastruktur dikhawatirkan akan memperbesar defisit anggaran dan menambah beban utang.
Namun, Jusuf Kalla menegaskan, pembangunan infrastruktur harus terus dilanjutkan, bahkan dipercepat. “Infrastruktur kita ketinggalan luar biasa dibanding negara yang sepadan,” katanya kepada wartawan Katadata, Metta Dharmasaputra, Ade wahyudi, Yura Syahrul, Ameidyo Daud, dan fotografer Arief Kamaludin di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (25/10) petang.
Satu hari sebelumnya, Kalla baru tiba di Indonesia dari lawatan panjang ke Turki dan Amerika Serikat selama hampir dua pekan. Selama wawancara yang berlangsung hampir satu jam, dia menguraikan upaya percepatan proyek infrastruktur, kondisi PLN menggarap proyek listrik, prospek ekonomi Indonesia, dan soal perombakan kabinet ---yang sebagian tidak bisa dipublikasikan (off the record). Berikut petikan wawancaranya.
Ada kritik pemerintah terlalu ekspansif membangun infrastruktur. Tanggapan Anda?
Infrastruktur itu suatu hal yang tidak pernah berakhir. Negara mana pun selalu membutuhkan. Indonesia saja yang baru memulai. Apalagi jumlah penduduk naik, perdagangan naik, produktivitas naik. Semua sarana itu pasti ada prasarananya. Sebelum ada pertanian, kita bikin dulu jalan. Sebelum ada industri, rel kereta dulu dibangun.
Di Amerika Serikat beberapa abad lalu atau di Tiongkok waktu krisis 2008, justru solusinya meningkatkan infrastruktur. Kebutuhan orang semakin tinggi, sehingga infrastruktur itu bisa menjadi solusi dan stimulus untuk menggerakkan ekonomi.
Apalagi kita yang jauh ketinggalan, otomatis ada ketidakseimbangan.
Lihat saja Jakarta, negara lain sudah bangun subway, kita malah baru mulai. Orang sudah lama pakai kereta, kita baru bangun LRT. Kita serba ketinggalan. Jadi, bukan kami berlebihan, tapi kita masih butuh, apalagi dengan penduduk 250 juta. Singapura saja yang 5 juta penduduk, infrastrukturnya ada yang di bawah, ada yang di atas, lengkap semua.
Jadi, tidak benar jika dikatakan terlalu cepat?
Malah lebih lambat (pembangunan infrastruktur) ketimbang harapan kami. Coba lihat Jakarta-Surabaya, baik jalan maupun kereta api. Kita ketinggalan luar biasa dibanding negara yang sepadan. Saya ke Turki kemarin, infrastrukturnya luar biasa. Infrastruktur mengikuti pertumbuhan.
Kenapa kota kita begini repot? Karena orang bikin rumah dulu, baru bikin jalan. Terpaksa jalannya belok-belok mengikuti bangunan. Itu juga menjadi masalah yang dihadapi. Soal bandara, pesawat kita kadang masih berputar-putar di udara Cengkareng setengah jam. Itu berarti kita kekurangan bandara atau kekurangan landasan.
Ada juga kritik, cepat membangun infrastruktur tapi persiapan kurang matang, seperti proyek LRT Jabodebek…
Sebenarnya (masalah) LRT itu bukan soal dana, tapi kesulitan untuk membebaskan lahan. Kalau di Jakarta contohnya, bagaimana bisa tembus tingkat tiga jalan itu, dua jalan di atasnya kereta.
Saya ulangi, infrastruktur itu investasi yang tidak berakhir. Bandara mungkin 5 tahun lagi perlu landasan pacu yang baru. Kita baru dua, menjelang tiga (landasan pacu). Akhirnya kita kalah dengan Singapura dan Kuala Lumpur. Kenapa pembangunan pelabuhan kita lebih lambat ketimbang Johor atau Singapura?
Kenapa kami bangun lagi (pelabuhan) Patimban? Itu untuk mengatasi flow (arus) barang, karena terjadi kemacetan di Tanjung Priok. Makanya dibuat (pelabuhan) ke sebelah timur, karena industri tidak seimbang lagi dengan jalan.
Apakah target yang dipatok terlalu tinggi, seperti proyek listrik 35 Gigawatt, sehingga perlu direvisi?
Tidak direvisi, tetap 35 GW, cuma proses teknisnya yang agak telat tendernya sehingga (proyek keseluruhan) agak terlambat. Begini, listrik itu yang kami tuju, pertama, harus banyak. Kalau mau pembangunannya sustainable maka cadangan listriknya minimal 30 persen.
Batas minimum itu, karena tiap tahun pembangkit harus diservis. Kalau diservis dan cadangannya tidak sampai 30 persen, maka dapat terjadi pemadaman listrik di sebagian wilayah, seperti di Medan.
Kedua, murah. (Harga listrik) sekarang mahal karena masih banyak pembangkit yang menggunakan diesel. Ini harus dibangun PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batubara, gas, hidro, dan energi terbarukan lainnya, supaya yang diesel-diesel ini dimatikan. Walaupun diesel yang tersisa tinggal di luar Jawa, tapi biayanya empat kali lipat dari pembangkit lain.
Selain itu, apa target proyek listrik?
Ketiga, antisipasi kalau kekurangan listrik. Pertumbuhan listrik itu minimal 10 persen per tahun. Perhitungannya dari pertumbuhan penduduk 1,5 persen, penyusutan pembangkit 2,5-3 persen karena PLTU bertahan paling tidak 30 sampai 40 tahun, dan pertumbuhan ekonomi 5 persen serta kebutuhan listrik 7,5 persen. Jadi, kalau ditotal sebenarnya (kebutuhan pertumbuhan listrik) harus lebih dari 10 persen.
Kalau orang mengatakan peningkatan permintaan tidak besar, sebenarnya bukan tidak naik, tapi transmisinya kurang. Pembangunan transmisi itu dari 8.000 km yang teralisasi baru 1.345 km. Jadi bahayanya, begitu proyek pembangkitnya selesai, transmisinya malah tidak selesai. Sama seperti Anda punya pabrik, tapi tidak ada retailnya.
Jadi PLN seharusnya fokus membangun transmisi?
Awalnya dari (target) 35 GW itu, sekitar 25 GW diserahkan ke IPP (perusahaan pembangkit swasta) dan 10 GW dibangun PLN. Tapi setelah melihat kemampuan PLN membangun, saya bilang “turunkan PLN jadi 5 GW saja, 30 GW untuk IPP”. Kemudian semua transmisi diselesaikan oleh PLN.
Kalau PLN masih tidak sanggup, berikan lagi transmisi itu ke IPP. Karena banyak investor yang berminat, baik di dalam maupun luar negeri. Sekarang ini dari rencana pembangunan transmisi 8.400 km, baru 1.785 km per September 2017. Tahun lalu juga hanya dibuat 2.800 km. Padahal kita butuh 46.000 km dalam lima tahun.
Dengan kata lain, PLN sebaiknya tidak fokus membangun pembangkit?
Iya, kami minta turunkan kepemilikan (di pembangkit). Yang penting (PLN) untung bersih. Beli (listrik) 7 sen, kemudian jual 10 sen, untungnya jelas. Tidak usah lagi bicara pemeliharaannya. Di dunia sudah begitu, di Amerika Serikat itu 80 persen pembangkit kepunyaan IPP.
Ada penilaian, pembangunan infrastruktur membebani keuangan BUMN, sehingga membuat harga saham BUMN rata-rata turun 25-35 persen?
Membangun infrastruktur itu mesti ada cost-nya. Tergantung cost itu mau dipindahkan ke mana. Tiap 10 tahun APBN naik 100 persen. Tahun 2005 (APBN) hanya Rp 1.000 triliun, 10 tahun kemudian sudah (hampir) Rp 2.000 triliun. Tapi kenapa gross tidak seimbang dengan pertumbuhan APBN itu? Karena anggaran rutin kita sudah terlalu tinggi.
APBN kita sudah diikat. Untuk pendidikan 20 persen, kesehatan 5 persen, transfer ke daerah bisa 35 persen, bayar gaji. Anggaran belanja modal sisanya kurang lebih 18 persen. Secara volume itu cukup tinggi, 18 persen itu kira-kira Rp 350 triliun, sama dengan seluruh anggaran tahun 2003. Tapi secara persentase menurun. Secara rupiah naik, tapi tidak seimbang dengan kebutuhan.
Apakah pembangunan infrastruktur sesuai kebutuhan daerah? Seperti di Sumatera, mengapa membangun jalan tol?
Semua jalan tol itu akan tersambung pelabuhan. Selalu ada cabangnya (jalan), cuma harus ada Trans Sumatra. Sebenarnya jalan tol itu terkadang dianggap bergengsi. Tapi sebenarnya yang dibutuhkan adalah highway. Sulitnya, di Sumatra itu truk melintas makin lama makin besar. Kalau hanya jalan biasa, belum apa-apa berlubang, jadi kubangan.
Makanya harus sekalian membangun yang besar, walaupun jalan tol itu kadang-kadang mengurangi kegiatan ekonomi daerah. Karena jalannya dipagari, bisa mati usaha semua penjual pisang, penjual kelapa, penjual buah-buahan pinggir jalan, warung padang. Terkecuali hidupnya di rest area. Tapi kalau di rest area, biasanya hanya yang bermerek yang bisa masuk.
Benarkah pembangunan infrastruktur harus direm, karena kondisi anggaran yang sulit saat ini?
Bukan hanya infrastruktur, biaya rutin itu saja dulu yang pertama diturunkan. Biaya rapat, biaya perjalanan, itu bisa Rp 40 triliun. Kemudian bagaimana efisiensi dan pengencangan ikat pinggang di Kementerian dan Lembaga dan daerah.
Karena itu ada tiga moratorium kami buat. Pertama, moratorium pegawai negeri. Pokoknya kalau pensiun 100 hanya boleh tambah lima. Jadi dari 100 PNS yang pensiun, gantinya 50. Kedua, moratorium bangun kantor. Tidak boleh ada satupun kantor di Indonesia dibangun. Harus dengan izin Presiden, izinnya susah tentunya. Karena itu tidak ada lagi pembangunan gedung kementerian dan lembaga.
Termasuk pembangunan gedung DPR?
Tidak boleh, mau apapun tidak. Ketiga, moratorium pemekaran daerah. Mau marah, silakan marah. Karena kalau pemekaran wilayah akan bikin kantor lagi, macam-macam lagi. Kantor apapun tidak boleh, yang boleh bangun sekolah, rumah sakit, balai penelitian.
Itu saja yang boleh dibangun. Kalau kantor tidak, sempit-sempitan lah kalian di situ. Tapi kami tidak turunkan gaji pegawai, belanja rutin ini yang kami paksakan turun. Bahaya kalau setiap ada defisit, yang dikurangi infrastruktur. Akibatnya akan semakin terlambat negeri ini untuk maju.
Tahun depan, investor khawatir situasi politik akan memanas. Bagaimana mendorong pendanaan dari swasta?
2018 (saya yakin) tidak memanas karena hanya ada momen Pilkada (pemilihan kepala daerah). Dan tidak pernah ada Pilkada yang panas, dalam artian konflik. Tahun 2015 efeknya hanya di Tarakan. Pada 2016 hanya di Tolikara terjadi (konflik). Pilkada itu sudah campur-baur, tidak ada lagi identitas di situ.
Di Pilgub (pemilihan gubernur) DKI Jakarta, Gerindra dan PKS bersatu. Tapi di Jawa Barat, bisa Golkar yang bergabung dengan PKS atau tergantung fragmentasinya. Di daerah, mana pernah ada konflik saat Pilkada kemarin? Tidak ada! Di partai itu sudah di sini kawan di sana lawan, dan nanti berkawan lagi.
Kalau 2019, pengalaman kita juga tidak ada apa-apa. Dulu Golkar berada di pihak Prabowo, tapi ikut juga di pemerintah sekarang. PAN ikut, PPP ikut. Jadi, Indonesia itu mudah sekali transisinya. Tidak ada Pemilu di Indonesia yang menimbulkan konflik. Sejak 2004 tidak ada.
Apa faktor pendorong optimisme pemerintah sehingga menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun depan 5,4 persen?
Di tahun lalu atau tahun sebelumnya kita selalu menyalahkan ekonomi dunia, selalu mempersalahkan harga komoditas, dan itu benar. Tapi tahun depan ini, bahkan sudah mulai dari sekarang, harga batu bara hampir US$ 100 lagi, sementara pada tahun lalu hanya sekitar US$ 60.
Harga sawit juga sudah mulai naik, harga minyak kini US$ 50 per barel, lebih tinggi dari tahun lalu US$ 30 per barel. Artinya pendapatan masyarakat akan naik. Kalau pendapatan naik, konsumsi naik dan produksi naik, maka pertumbuhan ekonomi diharapkan akan lebih baik.
Selain itu, banyak yang telah dibangun. Pembangunan itu memakan waktu tiga tahun. Apa yang di-groundbreaking Pak Jokowi pada 2015, baru selesai sekarang. Jadi gunting pitanya hari ini atau tahun depan, sehingga fungsinya baru berjalan.
Jalan tol satu per satu diresmikan. Dulu itu awalnya hanya cost semua, tapi sekarang sudah jadi profit center. Begitu juga investasi yang dibuat, sudah mulai mencatatkan pendapatan dan membayar pajak. Jadi, itu sebabnya mengapa 2018 ini relatif akan lebih baik daripada 2016 dan 2017.
Koordinator
- Pingit Aria
Editor
- Metta Dharmasaputra
Penulis
- Metta Dharmasaputra
- Pingit Aria Mutiara Fajrin
- Safrezi Fitra
- Nazmi Haddyat Tamara
- Ameidyo Nasution
- Yura Syahrul
- Arnold Sirait
- Padjar Iswara
Periset
- Aria Wiratma
- Pepri Saputra
- Kusnandar
Video/Foto
- Donang Wahyu
- Arif Kamaludin
Desain/Grafis
- Lambok E. Hutabarat
- Ade Rahmat Hidayat
- Firman Firdaus
Programmer
- Arif Firmansyah
- Bayu Mahdani
- Ricky A. T.