Ilustrasi masyarakat sekitar hutan. Credit: Katadata/Muhammad Zaenuddin

Esensi Partisipasi Publik Dalam Amdal

Undang-Undang (UU) No.11/2020 tentang Cipta Kerja, yang terdiri dari berbagai beragam paket peraturan, menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, salah satunya menyoal dampaknya pada masa depan pengelolaan lingkungan hidup.

Salah satu pasal yang mengalami penyesuaian adalah pasal yang mengatur soal lingkungan hidup, yang tadinya diatur dalam UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kemudian diubah oleh UU Cipta Kerja ini dan melahirkan peraturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) No. 22/ 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pasca disahkannya PP 22/2021, aturan ini berdampak pada perubahan ketentuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Utamanya terkait partisipasi publik dalam penyusunan Amdal.

Dalam aturan tersebut, Amdal menjadi prasyarat terbitnya persetujuan lingkungan. Adapun persetujuan lingkungan inilah yang menjadi prasyarat terbitnya perizinan berusaha. Hal ini diatur dalam beberapa pasal yang secara rinci menjelaskan prasyarat persetujuan lingkungan.

Persoalan muncul ketika klausul partisipasi masyarakat dalam penyusunan dan penilaian Amdal direvisi. Komisi Penilai Amdal (KPA), dimana sebelumnya merupakan wadah masyarakat untuk berpartisipasi aktif, dibubarkan lalu diganti dengan Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup (TUKLH) yang hanya terdiri dari pemerintah pusat, daerah dan ahli bersertifikat yang dipilih oleh pihak pemerintah.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), berpendapat telah terjadi pembatasan lingkup masyarakat yang wajib dilibatkan dalam penyusunan Amdal. Terdapat perubahan ketentuan pihak yang dapat berperan dalam penyusunan dokumen Amdal.

Dalam UU No. 32/2009, masyarakat yang dilibatkan terdiri dari masyarakat terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses penyusunan dan penilaian Amdal. Namun dalam UU No.11/2020 menjadi hanya sebatas masyarakat yang terkena dampak langsung saja. Definisi inilah yang kemudian cenderung akan membatasi peran masyarakat dalam penyusunan Amdal.

Menurut ICEL, idealnya, proses partisipasi publik dalam Amdal dimulai sejak tahap perencanaan kegiatan, pengkajian (scoping and review), hingga pemantauan (follow-up) dengan melibatkan representasi dari seluruh pihak yang berkepentingan terhadap proyek yang akan dan telah dibangun.

Tabel Perbandingan UU Lingkungan Hidup dengan UU Cipta Kerja

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
  • Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.
  • Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
  • Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. yang terkena dampak; b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.
  • Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal.

(Pasal 26)

  • Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
  • Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/ atau kegiatan.
  • Ketentuan lebih tanjut mengenai proses pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan pemerintah.

(Pasal 22 Angka 5 tentang Perubahan Atas Pasal 26)

Lebih lanjut, hal yang lebih detail diatur dalam PP No. 22/2021. Namun, PP tersebut hanya mengijinkan masyarakat yang terkena dampak langsung yang berhak dilibatkan dalam konsultasi publik. Akan tetapi akhirnya pemerhati lingkungan hidup, peneliti atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mendampingi telah masyarakat terdampak langsung tersebut juga bisa terlibat sebagai bagian masyarakat terdampak langsung.

“Dalam proses penyusunan Amdal di PP, ada level dalam pelibatan masyarakat. Yang teridentifikasi sebagai masyarakat terdampak langsung akan dilibatkan dalam proses konsultasi. NGO pada akhirnya dilibatkan dalam proses konsultasi, namun hanya terbatas mereka yang sudah mendampingi masyarakat terdampak langsung sejak awal,” terang Grita Anindarini, Deputi Direktur Bidang Program ICEL saat ditemui Katadata, Kamis. (27/5)

Grita menambahkan, adapun yang tidak teridentifikasi sebagai masyarakat terdampak langsung dan LSM yang tidak terlibat langsung mendampingi masyarakat terdampak langsung, tidak terlibat dalam proses konsultasi publik dan hanya dapat mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan (SPT) terhadap rencana usaha dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sejak ada pengumuman. “Mereka hanya dapat memberikan masukan dan saran secara tertulis dalam jangka waktu tertentu,”imbuhnya.

Peran publik dalam pengurusan Amdal di Indonesia lebih tertutup dibandingkan dengan negara lain.

Dalam penyusunan Amdal, Filipina mewajibkan pemberitahuan audiensi atau konsultasi publik yang dilakukan secara memadai. Informasi harus diberikan seluas-luasnya untuk menjaring aspirasi masyarakat, disertai dengan bahasa yang mudah dimengerti, dan kewajiban mempublikasikan salinan kajian yang berisi lembar fakta proyek secara lengkap.

Sedangkan di Indonesia, pemerhati lingkungan berperan penting memperkuat kapasitas masyarakat. Publik masih sulit untuk memahami informasi terkait proyek dan Amdal itu sendiri, di mana bahasa yang digunakan dalam proses pengkajian Amdal bersifat ilmiah.

Sementara fakta kurang meratanya tingkat pendidikan dan terbatasnya akses untuk informasi akan mempengaruhi tingkat pemahaman publik dalam Amdal.

Meski terdapat usaha untuk kembali melibatkan perwakilan masyarakat melalui mekanisme saran, pendapat serta pelibatan dalam penilaian dokumen Amdal, kualitas ketentuan pelibatan yang dibangun masih sangat jauh dibanding ketentuan sebelumnya.

“Dalam proses penilaian Amdal, pendapat masyarakat memang tetap akan didengarkan, namun secara kedudukan dikhawatirkan tidak sekuat saat masih menggunakan sistem KPA. Jika dalam KPA mereka memiliki peran dalam pengambilan keputusan karena mereka bagian dari anggota, namun dalam TUKLH kedudukan masyarakat bukan sebagai anggota, namun sebagai pihak yang didengarkan pendapatnya,” terang Grita.

Dalam PP 22/2021, proses konsultasi publik yang mereduksi peran pemerhati lingkungan adalah bentuk sebuah kemunduran. Degradasi ini berpotensi besar memperburuk kualitas Amdal. Hal ini tidak sejalan dengan semangat UU No. 32/2009 yang sudah diakui sebagai langkah maju dalam pengelolaan lingkungan.

“Dalam PP ini, kami melihat ada beberapa hal yang menjelaskan lebih detil dan membuka peluang partisipasi publik dibanding dalam UU Cipta Kerja. Namun jika dibandingkan dengan UU sebelumnya (red UU 32/2009), ini jelas masih merupakan pelemahan karena peran publik masih tidak seluas dalam UU Lingkungan Hidup,” terang Grita.

Alur partisipasi publik setelah UU Cipta Kerja dan PP 22/2021

Dalam hal ini, baik UU 11/2020 maupun PP 22/2021 terlihat justru semakin mempersempit hak atas partisipasi masyarakat, yang tentunya berkaitan erat dengan penyempitan hak atas informasi dan hak atas keadilan lingkungan.

Padahal ketiga pilar ini merupakan pilar yang perlu dijamin dalam rangka pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 maupun Pasal 65 UU No. 32 Tahun 2009.

  • 1 of 3
  • Next

Tim produksi

Penulis:

Maulina Ulfa, Hanna Farah Vania, Alfons Yoshio

Editor:

Dicky Christanto, Padjar Iswara

Desain Grafis:

Muhamad Yana (Lead), Aris Luhur Setiawan, Cicilia Sri Bintang Lestari, Dani Nurbiantoro, Nunik Septiyanti, Very Anggar Kusuma

Teknologi Informasi:

Firman Firdaus, Christine Sani, Donny Faturrachman, Maulana

Riset Foto:

Muhammad Zaenuddin