Pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Praya, Lombok Tengah, NTB, Selasa (2/2/2021).
Credit: Antara Foto/ Ahmad Subaidi

Pembangunan berkelanjutan menjadi tren yang terus berkembang di dunia saat ini. Faktor environment, social, and governance (ESG) makin menjadi pertimbangan bagi investor untuk mengambil keputusan. ESG juga menjadi strategi dan produk investasi yang bertumbuh paling cepat di dunia dalam beberapa tahun terakhir.

Hal ini terlihat dari peningkatan nilai investasi ESG yang telah dijalankan oleh beberapa negara di Eropa. Berdasar laporan Global Sustainable Investment Alliance (GSIA) 2018, investasi yang mengedepankan ESG bernilai US$ 14 miliar pada 2018. Angka ini menunjukkan tren naik sejak 2016. Saat itu nilai investasi hijau sekitar US$ 12 miliar.

Tren peningkatan yang sama juga ditemukan di Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Australia serta Selandia Baru. Laporan GSIA juga menyebut, investor mulai menyadari bahwa faktor-faktor ESG berkontribusi pada efisiensi, produktivitas, manajemen risiko jangka panjang, dan peningkatan operasional. Hal-hal ini yang memacu tren investasi hijau secara global.

Menariknya studi yang dilakukan Asian Development Bank Institute menemukan bahwa Perusahaan Berbasis ESG di ASEAN lebih untung dibanding perusahaan non-ESG. Rerata margin laba bersih 143 perusahaan di 10 negara Asia Tenggara yang mengedepankan investasi hijau, hampir 2 persen lebih besar.

Oleh sebab itu investasi berkelanjutan yang mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan di samping faktor keuangan, menjadi pola investasi yang menarik dan selayaknya dikembangkan di Indonesia.

Peluang dan Tantangan Investasi Berkelanjutan di Indonesia

Tren investasi berkelanjutan pun sudah mulai ditemukan di Tanah Air. Bentuknya juga beragam mulai dari perusahaan yang menawarkan produk yang lebih hijau, investor yang cenderung lebih menanamkan modal ke perusahaan yang mengedepankan ESG, dan lain sebagainya. Meski jumlahnya sendiri belum terlalu banyak.

Melihat peluang pengembangan investasi hijau di Indonesia cukup menjanjikan namun produk yang ada sangat terbatas. Di pasar modal misalnya, akhir tahun 2020 lalu pemerintah sempat meluncurkan produk sukuk hijau, dengan nama Green Sukuk Ritel Seri ST007.

Ini adalah lanjutan program serupa setahun sebelumnya. Surat hutang pemerintah ini digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek yang ramah lingkungan seperti energi terbarukan dan pengembangan wilayah konservasi. Hasilnya Green Sukuk mencatat rekor penjualan terbesar sepanjang penerbitan Sukuk Tabungan, yaitu sebesar Rp5.42 triliun.

Menariknya, berdasar keterangan dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, sebanyak 4.276 pembeli sukuk hijau adalah investor baru dengan –sekitar 56,7 persen— datang dari anak muda, yang diwakilkan generasi milenial. Hal ini bisa menjadi indikasi terhadap keterkarikan investor terhadap instrument investasi hijau.

Contoh lainnya di pasar modal, terdapat perusahaan yang masuk indeks hijau, seperti indeks saham Sustainable and Responsible Investment (SRI)-Kehati untuk mengakomodasi investor yang tertarik berinvestasi di perusahaan dengan pertimbangan ESG. Namun jika dibandingkan dengan produk investasi lainnya, investasi hijau masih sangat sedikit jumlahnya dan ini bisa menjadi indikasi ada ketidakselarasan antara kesiapan instrumen dengan kondisi pasar.

Selain itu, Deputi Direktur Bidang Program ICEL, Grita Anindarini menambahkan sayangnya, insentif masih banyak diberikan untuk industri ekstraktif. Selain itu, insentif juga diberikan kepada industri yang “tidak benar-benar hijau,” seperti untuk clean coal. Sementara investasi hijau yang cenderung membutuhkan pembiayaan awal yang lebih mahal belum mendapat perhatian. Pemanfaatan solar panel misalnya, Insentif masih belum cukup menarik jika dibandingkan pemanfaatan energi listrik dari energi fosil yang dianggap masih lebih murah.

Di sisi lain dia juga menyoroti konsep ESG yang belum sepenuhnya dipahami dan dijalankan oleh pelaku ekonomi. Hal ini yang menjadi akar dari munculnya konflik-konflik untuk lahan perkebunan sawit ataupun pertambangan. “Jadi tidak sekadar perusahaan itu harus yang jual produk yang lebih hijau, tapi ada komponen sosial yang selama ini sering kali terabaikan,” tambah dia lagi.

Perkembangan investasi hijau pun sebenarnya bisa dioptimalkan dari peraturan yang sudah ada. Terkait perkebunan kelapa sawit misalnya. Berdasar Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan turunannya, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) akan menghimpun dana untuk nantinya dibagikan, termasuk untuk masyarakat. Mengingat dana sawit yang besar, harapannya insentif untuk petani, dan pengembangan metode ke arah berkelanjutan dapat dilakukan.

Sayangnya dalam praktik, alokasi dana dibagikan didominasi untuk insentif biodiesel – B20 dan B30 – yang dinikmati oleh beberapa perusahaan yang mengolah sawit menjadi bahan bakar nabati ini. Kondisi yang mengedepankan pada pengembangan biodiesel ini kurang ideal, mengingat ini seharusnya hanya menjadi transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan.

Sementara itu Deputi Direktur Bidang Program ICEL, Grita Anindarini menambahkan kalau tren investasi hijau yang ada di beberapa sektor dikhawatirkan salah kaprah. Perlu ada pendefinisian lebih detail terkait dengan investasi hijau tersebut. Sektor energi salah satunya yang memandang pemanfaatan “clean coal” seperti gasifikasi batubara, batubara tercairkan sebagai sebuah solusi “hijau”. “Padahal kalau kita melihat emisi secara life cycle, emisinya clean coal jauh lebih besar daripada EBT. Dia memang lebih rendah (Emisi) kalau dibanding batu bara konvensional. Tapi kalau dibandingkan dengan gas alam, misalnya itu emisi bisa 2 kali lipat,” ujar wanita yang akrab disapa Ninda ini.

Berdasar fakta tersebut menurutnya, definisi dari investasi hijau ini perlu ditinjau lebih lanjut, agar tidak ada salah kaprah dalam pelaksanaan, pembentukan produk hukum, maupun pemberian insentif pendukungnya.

Pemanfaatan Dana Lingkungan Hidup

Dalam upaya untuk menjembatani kepentingan investasi dan pembangunanan hijau pada Oktober 2019, pemerintah membentuk Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Fungsinya menggantikan Badan Layanan Umum (BLU) untuk usaha kehutanan.

BPLDH akan menjadi pusat pembiayaan yang mendorong pengelolaan dana bidang lingkungan seperti; kehutanan, energi, sumber daya mineral, perdanganan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan perikanan dan bidang lain terkait lingkungan.

Jika mau ditarik ke belakang, Indonesia punya komitmen dalam menghadapi krisis iklim dengan menandatangi Perjanjian Paris. Hal ini tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC), yakni dengan target penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 29 persen dari Business As Usual (BAU) 2030 dengan upaya sendiri, dan 41 persen dengan bantuan internasional.

Bentuk bantuan internasional ini lantas datang dari beragai donor dari manca negara. BPLDH berperan sebagai institusi yang mengelola dana yang masuk tersebut, untuk kemudian disalurkan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, konservasi, keragaman hayati, dan berbagai kearifan lokal yang harus dilindungi.

Keberadaaan BPLDH ini juga yang diharapkan dapat menghubungkan permintaan investasi hijau yang terus berkembang dengan sumber daya dalam negeri yang ada. Apalagi kalau mengingat Indonesia adalah salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca paling besar di dunia, sehingga turut juga memegang kunci dalam upaya penanganan perubahan iklim.

Dengan perannya yang sentral dalam menyalurkan dana dan fleksibilitasnya dalam mengumpulkan sumber peamasukan, BPLDH diharap dapat memobilisasi dana untuk memacu program berbasiskan invesatasi hijau lebih jauh lagi, sehingga semakin banyak proyek pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Tim produksi

Penulis:

Maulina Ulfa, Hanna Farah Vania, Alfons Yoshio

Editor:

Dicky Christanto, Padjar Iswara

Desain Grafis:

Muhamad Yana (Lead), Aris Luhur Setiawan, Cicilia Sri Bintang Lestari, Dani Nurbiantoro, Nunik Septiyanti, Very Anggar Kusuma

Teknologi Informasi:

Firman Firdaus, Christine Sani, Donny Faturrachman, Maulana

Riset Foto:

Muhammad Zaenuddin