Credit: Muhammad Zaenuddin/Katadata

Selain dari kalangan pemerintah pusat dan daerah, semangat membangun Tanah Papua juga muncul dari berbagai pihak, termasuk sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti The Asia Foundation (TAF), Yayasan EcoNusa, Kemitraan, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan lainnya. Mereka menjalankan berbagai program untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua.

“Banyak sekali kontribusi mitra pembangunan untuk visi pembangunan berkelanjutan yang berpihak kepada masyarakat adat. Fokus kami menjadi mitra pembangunan pemerintah pusat dan daerah untuk mewujudkan agenda tersebut,” kata pendiri sekaligus CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar saat berbicara di forum yang sama dengan Aruminingsih. Adapun mitra pembangunan Tanah Papua beranggotakan LSM non-profit, lembaga pendidikan, hingga lembaga bisnis profit.

Contohnya, yang dilakukan oleh TAF dalam mendampingi Kampung Imsar di Kabupaten Jayapura, Papua, dalam mewujudkan ekonomi hijau berbasis komunitas. Kegigihan Kepala Kampung Imsar, Oscar Giay, membangun kampungnya memotivasi TAF melakukan pendampingan di kampung yang terletak di Distrik Nimboran tersebut.

Kondisi kebun kakao di awal program, pohon tetap menghasilkan buah namun banyak yang busuk akibat hama. Credit: PT PPMA

Dukungan itu bermula pada 2010, pada saat hama menyerang tanaman kakao sehingga menurunkan produktivitas kakao di kampung Imsar. Lambat laun, kakao bukan lagi komoditas yang diminati. Namun, Kepala Kampung Imsar berupaya mencari solusi untuk mengatasi masalah petani tersebut.

Melihat persoalan ini, TAF memfasilitasi kerja sama antara kepala kampung, masyarakat serta Perkumpulan Terbatas Untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PT PPMA) untuk mendorong budidaya kakao di Kampung Imsar.

"Ketika terpilih sebagai Kepala Kampung, Pak Oscar memiliki keinginan kuat menghidupkan kembali kejayaan kakao," ujar Deputi Director Environmental Government Unit TAF, Alam Surya Putra, dalam acara Webinar Katadata "Sustainable Commodity Development in Papua", Senin (25/10).

Praktik baik tersebut pun didukung oleh Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, dengan menjadikan Kampung Imsar sebagai pilot project untuk dikembangkan di tingkat kabupaten. Bahkan, produk olahan kakao yang diberi label Cenderawasih Chocolate turut dipromosikan dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua 2021 lalu.

BUMK Monay Rain Lrum melakukan kerjasama dengan CV Kasih Sayang di Makassar untuk mengelola Biji Kakao Kering menjadi Coklat Cenderawasih. Credit: TAF

"Kami melakukan teknik sambung pucuk untuk menghidupkan kembali tanaman kakao, menghindari hama, serta mengimbau masyarakat tidak membuka lahan baru," ucap Oscar dalam acara webinar yang sama.

Setelah itu, TAF membantu memfasilitasi akses pasar dan menggandeng inkubator yang menjembatani proses produksi yang dihasilkan masyarakat dalam skema pasar. Agar ekonomi hijau berbasis komunitas terus berkembang, TAF mendorong penerapan transfer fiskal berbasis ekologi agar memicu kompetisi dari kampung lainnya untuk menerapkan ekonomi hijau.

Adapun transfer fiskal memiliki tiga skema yakni Transfer Anggaran Nasional Berbasis Ekologi (TANE), Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE), dan Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE). Kampung Imsar menjadi daerah pertama yang berhasil menerapkan TAKE.

Transfer fiskal tersebut diberikan berdasarkan kinerja pengelolaan hutan dan lingkungan. Melalui skema TAKE, pemerintah kabupaten mengalokasikan Alokasi Dana Kampung (ADD) yang menjadi bantuan keuangan untuk merevitalisasi usaha penanaman kakao. Penyatuan ekonomi hijau dengan transfer fiskal berbasis ekologi seperti TAKE di Kampung Imsar meningkatkan perekonomian kampung sekaligus melestarikan hutan.

Selain kedua program ini, TAF juga membantu Pemerintah Provinsi Papua Barat merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2013-2033. Tujuannya, memberi kesempatan masyarakat adat untuk merencanakan, mengelola dan memanfaatkan ruang di wilayahnya. Atas usulan Koalisi Peduli Ruang Hidup Papua Barat (KPRHPB), kolaborasi terbentuk.

Revisi RTRW tersebut mengakomodasi adanya tujuh wilayah adat bagi 34 suku dan subsuku dalam dokumen materi teknis dan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) RPRWP Papua Barat. Tujuh wilayah adat tersebut ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Provinsi (KSP) untuk kepentingan sosial budaya seluas 6,2 juta hektare (ha) di 13 kabupaten/kota.

Kegiatan Sinkronisasi dan Updating Progress Penyusunan KLHS RTRW Papua Barat pada Mei 2021. Credit: TAF

Lembaga nirlaba lainnya yang bergerak mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua adalah Kemitraan. Lembaga ini bekerja sama dengan PT PPMA melalui Forest Governance Program (FGP) yang mendukung desentralisasi pengelolaan hutan untuk mengurangi deforestasi serta memberdayakan masyarakat adat dan lokal.

Mereka bekerja sama melakukan pemetaan, mendorong pengakuan wilayah, serta peningkatan kapasitas masyarakat adat. Hal ini merupakan respons atas terjadinya alih fungsi lahan yang membuat akses masyarakat mengelola wilayah menjadi terbatas. Kegiatan ini sudah dilakukan di Kabupaten Manokwari, Sorong dan Fakfak.

Selain itu, Kemitraan melakukan pendampingan masyarakat adat melalui Yayasan Komunitas Kamuki. Tujuannya agar masyarakat setempat mendapatkan kepastian hukum ketika mengelola hutannya sendiri, yaitu mendapatkan izin program Perhutanan Sosial. Di Fakfak, Kamuki menggandeng LSM Gemapala dan melibatkan sejumlah pihak seperti pemuka agama, pemimpin adat, hingga Pemerintah Kabupaten Fakfak. Akhirnya terbentuk enam Hutan Desa di Distrik Kokas dan Kramomongga.

Kemitraan juga membuka ruang bertemunya para pemangku kepentingan melalui program Berkilau (Bersama Kita Lindungi Tanah Papua) di Papua dan Papua Barat. Program ini mengedepankan pembangunan hijau, pendekatan budaya dan kearifan lokal. Berlangsung pada Januari 2021 hingga Mei 2022, program ini berupaya menyatukan beragam program pemerintah atau lembaga nirlaba di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga kampung.

Tujuannya, untuk mempercepat implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Strateginya dimulai dari identifikasi faktor pendukung dan penghambat pembangunan rendah emisi, menyinergikan agenda pembangunan multipihak hingga mengembangkan rekomendasi kebijakan multilevel.

“Forum-forum multipihak diharapkan mendukung keberhasilan pembangunan yang ada di Papua,” ucap Manajer Program Kemitraan untuk Papua, Yasir Sani, melansir dari laman resmi Kemitraan.

Manajer Program Kemitraan, Sasongko Abimanyu atau Aji, menyebutkan Papua sebetulnya sudah memiliki pola hidup yang hijau karena dekatnya masyarakat dengan alam. Hal ini pun didukung oleh pemerintah daerah yang berpihak pada kelestarian lingkungan hidup melalui kebijakannya. “Visi 2100 dan Deklarasi Manokwari dapat dijadikan landasan untuk pembangunan berkelanjutan dan rendah karbon di Provinsi Papua,” ucapnya.

Penandatanganan Deklarasi Manokwari 2018 oleh Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan. Credit: Balitbangda Papua Barat

Sedangkan Provinsi Papua Barat menetapkan diri sebagai Provinsi Pembangunan Berkelanjutan pada 2019. Hal tersebut diperkuat dengan dihasilkannya Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) No 10 tahun 2019 tentang Pembangunan Berkelanjutan di Provinsi Papua Barat.

Dalam konteks pemberdayaan kampung, Kemitraan juga menyelipkan agenda merawat gambut melalui skema Desa Peduli Gambut (DPG). Bekerja sama dengan BRG, restorasi gambut diupayakan masuk ke dalam perencanaan kampung.

Diawali dengan pemetaan wilayah adat, kedua lembaga memperkuat perencanaan dan peraturan kampung yang mencakup upaya merestorasi gambut. Program ini menghasilkan 10 peta partisipatif, 10 profil Kampung Peduli Gambut di Distrik Kurik dan Munting, serta dua BUMKa terlibat penguatan ekonomi kampung.

Selain itu terbentuk mekanisme resolusi konflik tingkat tapak terkait akses kelola SDA di lahan gambut pada tiga DGP. Hingga menghasilkan dua naskah RPJMKam yang mengintegrasikan kegiatan restorasi gambut, serta Forum Desa Peduli Gambut di delapan kampung.

Selain Kemitraan, kegiatan pemetaan dan pemberian landasan hukum untuk melindungi masyarakat adat juga dilakukan oleh BRWA. Lembaga yang terbentuk sejak 2010 ini melakukan pemetaan hingga registrasi wilayah adat di seluruh Indonesia, termasuk Papua dan Papua Barat.

Per Oktober 2021, potensi hutan adat berdasarkan wilayah yang teregistrasi adalah 3,5 juta ha di Papua Barat dan 4,7 juta ha di Papua. Beragam informasi mencakup sejarah penguasaan tanah, tata guna lahan, titik batas, titik penting, dan sistem tenurial wilayah adat dapat digunakan sebagai arah penataan ruang dan pembangunan wilayah adat tersebut.

Pemetaan wilayah adat dilakukan melalui metode Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat (PPWA). Secara garis besar, terdapat empat tahapan PPWA yakni persiapan, pemetaan, pengolahan data, hingga pengesahan dan pendaftaran. Berdasarkan perkembangan pemetaan, terdapat 32 peta wilayah adat di Papua Barat seluas 3,9 juta ha dan 74 peta wilayah adat seluas 5,7 juta ha di Papua.

BRWA menerapkan sejumlah strategi untuk memetakan wilayah adat, mulai dari mengumpulkan profil masyarakat adat dan mengajukan usulan pengakuan wilayah. BRWA juga mendampingi pemda dalam proses identifikasi dan verifikasi. Juga mengasistensi Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) Kabupaten Jayapura dalam pemetaan hingga penetapan masyarakat adat.

Gayung bersambut, pemerintah pusat melalui Kementerian ATR/BPN kini tengah melakukan penataan melalui Sistem Penataan Agraria Berkelanjutan Inklusif. Wakil Menteri Surya Tjandra dan jajarannya juga mengupayakan penggabungan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dengan GTMA.

Hingga saat ini, BRWA berhasil mendorong lahirnya satu perdasus pengakuan masyarakat adat serta tiga perda pengakuan masyarakat adat di Kabupaten Tambrauw, Sorong dan Teluk Bintuni. Selain itu juga terbentuk Panitia Masyarakat Adat di Kabupaten Tambrauw dan Teluk Bintuni di Papua Barat.

Sedangkan di Papua terbit tiga Perdasus Pengakuan Masyarakat Adat, Pengelolaan Hutan dan Tanah Ulayat. Tak hanya itu, terdapat dua Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Asmat serta Jayapura. Juga terbentuk GTMA di Jayapura dan Tim Kajian Tanah Ulayat di Kabupaten Sarmi untuk memperjuangkan status pengakuan masyarakat adat.

“Kita perlu memastikan pemetaan partisipatif wilayah adat 11 juta ha bisa kembali utuh kepada masyarakat,” kata Direktur BRWA Kasmita Widodo dilansir dari Mongabay ketika membahas peta partisipatif wilayah adat se-Indonesia yang sudah diserahkan pemerintah.

Pemberdayaan berwawasan lingkungan pun menjadi aspek penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat adat. Seperti EcoNusa yang bekerja sama dengan Insist dalam membentuk Sekolah Kampung untuk memperkuat kompetensi masyarakat Tanah Papua dan Kepulauan Maluku.

Adapun sasaran programnya adalah kepala kampung serta tokoh masyarakat setempat. Di Tanah Papua, sejumlah capaian telah ditorehkan. Seperti penerapan pertanian berkelanjutan, mengelola data dan informasi kampung di Merauke, hingga membangun rumah pengering untuk sejumlah tanaman hortikultura di Kaimana.

Anak muda juga turut berperan dalam mendukung pembangunan hijau di Tanah Papua. Dalam hal ini, EcoNusa berperan dalam peningkatan kapasitas dan partisipasi anak muda Tanah Papua. Agenda peningkatan kapasitas tersebut dilakukan melalui program Sekolah Diplomasi. Kegiatan ini tersebar di 40 kabupaten/kota dan sudah menghasilkan 182 orang alumni.

“Sudah jelas bahwa visi pembangunan itu berpihak kepada masyarakat adat dan hal tersebut yang menjadi fokus mitra pembangunan dengan pemerintah daerah dan masyarakat adat itu sendiri,” kata Bustar Maitar.