Agenda Pasca COP26,
Momentum Kolaborasi
Untuk Pembangunan Rendah Emisi
Berlangsung di Glasgow, Skotlandia selama hampir dua pekan, 31 Oktober – 12 November 2021, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26 telah usai. Konferensi ini menghasilkan Pakta Glasgow yang memuat sejumlah poin penting. Di antaranya, pertama, mengakui bahwa komitmen yang dibuat oleh negara-negara selama ini belum cukup mencegah pemanasan planet melebihi 1,5 derajat celcius di atas suhu era pra industri.
Kedua, secara eksplisit menyatakan pengurangan penggunaan energi fosil, utamanya batu bara. Ketiga, penegasan tentang perlunya komitmen pendanaan dari negara-negara maju bagi negara-negara berkembang untuk adaptasi iklim.
Dalam konferensi ini, sebanyak lebih dari 100 pemimpin negara dunia berkomitmen dalam penanganan perubahan iklim. Termasuk menghentikan deforestasi dan degradasi lahan, serta memulihkan kawasan hutan pada akhir 2030.
Komitmen yang mencakup hutan seluas lebih dari 21 juta kilometer persegi ini didukung oleh tiga negara pemilik 85 persen luas hutan dunia, yakni Brasil, Indonesia dan Kongo. Sejumlah inisiatif tambahan pemerintah dan swasta juga diluncurkan untuk mencapai komitmen tersebut. Termasuk sekitar US$ 19 miliar atau sekitar Rp 270 triliun akan diinvestasikan untuk perlindungan dan pemulihan hutan di berbagai negara.
Komitmen juga disampaikan Presiden Jokowi dalam pidatonya di Glasgow. Presiden menyebutkan bahwa dengan potensi alam yang besar, Indonesia akan terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim. “Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan turun 82 persen pada 2020,” ujar Presiden Jokowi di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia (1/11).
Tak hanya itu, Indonesia juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektare sampai 2024, terluas di dunia. Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara 2010-2019. “Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia, akan mencapai carbon net sink selambatnya tahun 2030,” imbuhnya.
Berbagai langkah tersebut merupakan janji Indonesia sebagai bagian dari upaya mengurangi emisi karbon sesuai Persetujuan Paris pada Konferensi Iklim 2015 dengan target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29% pada 2030. Selain pada sektor lahan dan hutan, Indonesia juga akan fokus pada sektor energi, pangan dan lainnya untuk mengurangi emisi karbon guna mengatasi perubahan iklim.
Menurut Dewi Rizki, Program Director For Sustainable Governance Strategic Kemitraan, COP26 memang memiliki target yang ambisius untuk mencegah pemanasan global tak melebihi 1,5 derajat celcius. Tapi implementasinya, termasuk oleh Indonesia, perlu selaras dengan target yang dicanangkan sesuai dengan target NDC. “Agar komitmen menjaga suhu bumi benar-benar bisa diimplementasikan,” ujarnya dalam konferensi pers Komunitas Peduli Krisis Iklim yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan dan Kemitraan pada Kamis (18/11).
Persoalannya, untuk mengejar target tersebut, pemerintah Indonesia tidak bisa bekerja sendiri. COP26 masih menyisakan berbagai pekerjaan rumah yang perlu melibatkan berbagai stakeholder untuk mewujudkan komitmen Indonesia dan mengimplementasikannya dalam kebijakan pembangunan rendah emisi. Kolaborasi antara pemerintah, organisasi sipil masyarakat, akademisi dan swasta menjadi kunci untuk mendukung keberhasilan pencapaian target tersebut.
Apalagi, COP26 menggarisbawahi pentingnya fungsi hutan dan lahan. Kata Presiden Jokowi dalam Presidency Event Forest and Land Use, langkah positif yang harus dilakukan untuk mewujudkan hutan sebagai solusi iklim global adalah dengan membangun pendanaan alternatif dan mewujudkan pengelolaan hutan yang pro-environment, pro-development, dan people-centered. Usaha ini juga membutuhkan konsistensi kebijakan pengelolaan hutan dan lahan.
Saat ini, terdapat 9,6 juta ha hutan alam tersisa yang belum terlindungi kebijakan penghentian pemberian izin baru dan oleh karenanya bisa terancam. “Presiden harus tegas untuk melindungi seluruh bentang hutan alam dan gambut tersisa Indonesia untuk membantu Indonesia mencapai target net carbon sink FOLU 2030,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam forum yang sama.
Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia harus mengakselerasi dan memperkuat berbagai kebijakan dan inisiatif pembangunan rendah emisi karbon yang telah berjalan. Praktik-praktik program ekonomi rendah karbon di berbagai daerah menunjukkan keseimbangan lingkungan dan kegiatan ekonomi masyarakat dapat dijaga. Kegiatan yang bertumpu pada konservasi lingkungan terbukti dapat mendapatkan manfaat ekonomi bagi para pelakunya.
Inisiatif-inisiatif di berbagai daerah itu juga menunjukkan bahwa kolaborasi menjadi prasyarat suksesnya program yang dicanangkan. Setiap pihak atau pemangku kepentingan memainkan peranan penting dan memiliki keunggulan masing-masing, yang jika digabungkan dapat menjadi modal penting pembangunan rendah emisi karbon dan mencapai target net carbon sink FOLU 2030 sehingga penyelamatan bumi dari krisis iklim dapat terwujud.
Berikut ini adalah beberapa contoh kolaborasi antar stakeholder yang berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan alam dan hutan.
- 1 of 5
- Next
Koordinator | Jeany Hartriani |
Editor | Heri Susanto, Adek Media Roza, Padjar Iswara, Jeany Hartriani |
Penulis Artikel & Infografik | Alfons Yoshio Hartanto, Arofatin Maulina Ulfa, Fitria Nurhayati, Hanna Farah Vania, Melati Kristina Andriarsi |
Penulis Whitepaper | Jamalianuri, Lulu Mahdiyah Sandjadirja, Risanti Delphia, Stevanny Limuria |
Desain Grafis | Muhamad Yana, Cicilia Sri Bintang Lestari, Dani Nurbiantoro, Nunik Septiyanti, Very Anggar Kusuma |
Foto | Muhammad Zaenuddin |
Teknologi Informasi | Satria Dewo, Zaki Achsan |