Credit: 123RF

Upaya penyerapan karbon (carbon sink) pada sektor hutan dan lahan dapat dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya melalui skema perhutanan sosial. Melalui upaya ini, hutan dapat dikelola secara berkelanjutan sekaligus dengan pengembangan ekonomi masyarakat sekitar.

Hal ini juga dipaparkan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di COP26 Glasgow. “Kebijakan pengelolaan hutan berkelanjutan harus memadukan pertimbangan lingkungan dengan ekonomi dan sosial. Kemitraan dengan masyarakat juga diutamakan,” ujar Jokowi (2/11).

Di depan berbagai pemimpin dunia, Jokowi menyebutkan keberhasilan Indonesia mengelola hutan lestari yang dilakukan di sekitar atau dalam kawasan hutan melalui program perhutanan sosial. Ini juga menjadi program pengentasan kemiskinan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2025.

Salah satu contoh keberhasilan perhutanan sosial dapat dilihat dari Wisata Alam Kalibiru pada Hutan Menoreh Barat, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pusat ekowisata ini dikelola oleh Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (HKm) Mandiri.

Sebelumnya, masyarakat mencari penghidupan dengan menanam tumbuhan semusim dan mengambil pohon yang bisa dijual. Akibatnya, hutan gersang dan status diubah menjadi hutan lindung. Aktivitas masyarakat pun dicap ilegal. Padahal, warga merasa berhak memanfaatkan lahan karena hutan tersebut milik nenek moyang mereka.

“Semua berawal dari kekecewaan,” kenang Ketua Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (HKm) Mandiri Kulon Progo, Pardjan pada webinar Katadata yang bertajuk “Ecotourism for Forest Conservation and Social Welfare”, Senin (25/10).

Lalu pada 2003 Bupati Kulon Progo memberi surat izin sementara pengelolaan HKm jangka waktu lima tahun. Setelah dievaluasi, pada 2007 Surat Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) terbit dan kawasan Hutan Menoreh masuk dalam program perhutanan sosial.

Pardjan dan kelompoknya memutar otak mencari jalan keluar untuk memanfaatkan hutan tanpa merusaknya. Akhirnya, jasa lingkungan menjadi pilihan. “Waktu mengarah ke jasa lingkungan yaitu pembuatan ekowisata, banyak yang tidak setuju karena tidak bisa merambah lagi. Lalu ada pendekatan dari pemerintah dan LSM yang mendukung untuk mengarah ke sana,” ucapnya.

Selama prosesnya, Kelompok Tani HKm Mandiri dibantu oleh berbagai pihak. Project Manager Community Based Forest Management Kemitraan, Gladi Hardiyanto atau yang biasa dipanggil Yayan, mengatakan bahwa LSM turut membantu warga mendapatkan kejelasan hukum. Ia juga menceritakan bahwa seluruh pihak bahu membahu mewujudkan ekowisata.

Wisatawan berfoto di kawasan Kalibiru. (Credit: Hanna Farah Vania/Katadata)

“Ada peran Pemda Kulon Progo masuk mendukung sarana dan prasarana. Dan yang penting itu pengelolaannya. Pengelolanya pemuda, mereka menemukan titik-titik spot foto yang menarik wisatawan,” kata Yayan dalam webinar yang sama.

Yayan menjelaskan bahwa ia bersama kelompok LSM lainnya membantu memastikan empat komponen pengelolaan ekowisata. Adapun komponennya adalah atraksi, akses, sarana dan prasarana, serta pengelola. Serta, tak lupa untuk memperhatikan fungsi dan status hutan.

Dalam webinar tersebut, Bupati Kulon Progo, Sutedjo, menceritakan, selain memberi izin pengelolaan sementara, Pemkab Kulon Progo juga turut membantu memfasilitasi sarana dan prasarana, usaha koperasi, serta memberi bibit tanaman dan ternak lembu.

Kini, Ekowisata Kalibiru turut menggerakan roda perekonomian di Kulon Progo. Kalibiru bahkan mendapatkan penghargaan Wana Lestari pada 2014 hingga membuatnya semakin dikenal wisatawan. Alhasil, pengunjung semakin membludak hingga omzetnya mencapai 7,2 miliar pada 2018. Keberhasilan ini pun menjadi pembelajaran untuk pengembangan perhutanan sosial di daerah lain.