Credit: Arief Kamaludin/Katadata

Tanah Papua merupakan provinsi dengan hutan alam terluas di Indonesia. Papua memiliki 33,8 juta hektare (ha) dan Papua Barat memiliki 8,85 juta ha. Hutan alam Papua Barat sendiri setara dengan 8,12 persen dari total hutan hujan tropis Indonesia.

Dengan luas itu, beragam flora dan fauna tumbuh dan berkembang biak. Rimba raya ini pun menyimpan jutaan metrik ton karbon yang berkontribusi bagi Indonesia dan dunia dalam memerangi perubahan iklim.

Hanya saja, menurut data Koalisi Indonesia Memantau, selama 2001-2019, hutan alam Tanah Papua menyusut 663.443 ha. Sebanyak 29 persen terjadi pada 2001-2010 dan 71 persen pada 2011-2019. Jika dirata-rata, aktivitas deforestasi menghilangkan 34.918 ha tutupan hutan per tahunnya. Sebagian kemudian beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Untuk menahan laju deforestasi sekaligus memperbaiki tata kelola perkebunan, Pemerintah Provinsi Papua Barat sejak 2018 melaksanakan kaji ulang perizinan perkebunan sawit. Upaya tersebut dilakukan berkolaborasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga nirlaba EcoNusa.

Review perizinan ini berdasarkan tiga landasan hukum. Pertama, Inpres Moratorium Sawit 2018 sebagai mandat presiden memperbaiki tata kelola sawit. Kedua, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) yang diinisiasi KPK untuk mencegah korupsi pemanfaatan SDA. Serta ketiga, Deklarasi Manokwari sebagai komitmen Pemerintah Papua dan Papua Barat menyelaraskan izin berbasis lahan dalam konteks pembangunan berkelanjutan.

Di dalam Deklarasi Manokwari juga disebutkan visi mewujudkan kawasan hutan lindung sebesar 70 persen dari total wilayah. Saat ini, hutan lindung dan konservasi di Papua Barat telah mencapai 34,8 persen. Dengan evaluasi, luasan hutan lindung bisa bertambah sampai 62 persen.

Berdasarkan dua aturan dan satu komitmen tersebut, kolaborasi Pemerintah Provinsi Papua Barat, KPK, dan EcoNusa sudah mengevaluasi 24 izin sawit seluas 681.974 ha. Kepala Bidang Perkebunan Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Papua Barat, Benediktus Heri Wijayanto, seperti dikutip Mongabay, menyebutkan bahwa hanya 70 ribu ha lahan perkebunan yang sudah ditanami sawit.

Setelah tiga tahun, tepatnya 30 September 2021, upaya review perizinan berhasil mencabut 14 izin konsesi dan 2 konsesi dikurangi luasannya. Total lahan yang diselamatkan seluas 346.809,93 ha yang tersebar di Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, Teluk Wondama, Bintuni, Fakfak, dan Maybrat.

Direktur Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar mengakui proses paling lama dilakukan ketika dalam tahap pengumpulan data. Ini disebabkan data izin perkebunan sawit tidak tersentralisasi, ada di pusat, di provinsi, juga ada di kabupaten. “Data yang terserak ini menjadi celah tindak korupsi,” ucap Bustar.

Lahan perkebunan kelapa sawit di Sorong, Manokwari. (Credit: Yayasan EcoNusa)

Setelah mengumpulkan data, tim memverifikasi data tiap konsesi, lalu mengkompilasi data dan fakta di lapangan, kemudian memverifikasi hasil temuan ke masing-masing perusahaan. “Evaluasi ini berdasarkan aturan pemerintah. Aturannya ada, tinggal bagaimana penerapannya,” tutur Bustar.

Dari penelusuran tim, 14 konsesi yang dicabut dan 2 konsesi yang dikurangi luasannya, berdasarkan data Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Papua Barat, terbukti melanggar aturan, secara administrasi juga operasional. Mulai dari izin usaha, izin pemanfaatan kayu, Hak Guna Usaha (HGU), persoalan kebun inti plasma, lahan gambut, dan kawasan hutan. Adapun 8 konsesi lainnya masih dimonitor oleh tim kerja.

Menyampaikan data dari KPK, Bustar mengatakan, lebih dari 650 ribu ha konsesi dan 70 ribu ha yang telah ditanami sawit, terindikasi hanya 17 ribu ha yang membayar pajak. “Data ini menunjukkan ada potensi pajak yang hilang. Padahal itu bisa kita manfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat juga untuk peningkatan pendapatan daerah,” terang Bustar.

Tim evaluasi yang merupakan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan ini mendorong lahan hutan yang konsesinya sudah dicabut dikembalikan pengelolaannya pada masyarakat adat. Di antaranya terlihat dari komitmen gubernur dan bupati di Papua Barat yang juga mendorong pengakuan hak-hak masyarakat adat.

Berikutnya, pemerintah akan berdiskusi dengan masyarakat mengenai apa yg bisa dikembangkan masyarakat dari lahan yang dikembalikan pemanfaatannya itu. Pemerintah juga didorong lebih berinvestasi, membantu masyarakat mengembangkan wilayah untuk penghidupan.

Apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi Papua Barat bisa menjadi contoh daerah penghasil sawit lainnya menata izin sawit di masing-masing wilayah. Upaya ini untuk memperbaiki tata kelola sawit, bagaimana investasi bisa dikelola dengan baik, sehingga pendapatan negara dan daerah maksimal, masyarakat juga mendapat manfaat maksimal.

Bustar mengingatkan bagaimana negara dan masyarakat dapat memaksimalkan SDA yang ada dengan cerdas dan bijak. “Moratorium Sawit yang diteken untuk 3 tahun sudah habis masanya. Sampai sekarang belum ada hilal perpanjangan waktu. Padahal ini penting untuk memperbaiki tata kelola. Supaya lebih rapi,” tegas Bustar.