Credit: The Asia Foundation

Upaya mengurangi emisi dan mencapai carbon net sink sektor kehutanan pada 2030 salah satunya dilakukan melalui pembangunan rendah karbon. Adapun pembangunan rendah karbon telah dilaksanakan di Indonesia salah satunya melalui penerapan transfer fiskal berbasis ekologi yang melibatkan pembagian anggaran dengan memperhitungkan aspek lingkungan hidup dan mendorong ekonomi hijau.

Transfer fiskal berbasis ekologi tersebut dibagi menjadi tiga skema yaitu Transfer Anggaran Nasional Berbasis Ekologi (TANE), Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) dan Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE). Pada perkembangannya, TAPE dan TAKE sudah berjalan baik, sedangkan TANE masih belum diimplementasikan.

Skema yang diusung The Asia Foundation (TAF), Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) tersebut merupakan bagian dari gerakan masyarakat sipil untuk mendorong pendanaan lingkungan hidup.

TANE dirancang sebagai bagian dari Transfer ke Daerah dan Desa (TKDD) melalui skema Dana Insentif Daerah (DID) dan Dana Perlindungan Lingkungan (DPL) dengan memasukkan kriteria dan indikator ekologi. Sementara TAPE dirancang sebagai bagian dari transfer bantuan keuangan provinsi. Sedangkan TAKE menjadi bagian dari bantuan keuangan kabupaten yang bersifat wajib yaitu Alokasi Dana Desa (ADD).

Kabupaten Jayapura, Papua, menjadi salah satu daerah pertama dan menjadi percontohan kabupaten yang menerapkan TAKE. Kebijakan ini ditetapkan dalam Peraturan Bupati Jayapura No. 11/2019 tentang Alokasi Dana Kampung atau Dana Desa (ADK/ADD).

Menurut Deputy Director Environmental Government Unit TAF, Alam Surya Putra, inisiatif TAKE diberikan atas keinginan kepala kampung setempat untuk merevitalisasi usaha penanaman kakao yang sempat terpuruk akibat terserang hama.

TAF Bersama Perkumpulan Terbatas Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PPT PPMA) mendorong RPJM Kampung Ekonomi Hijau agar pemerintah desa dapat memikirkan program di tingkat kampung untuk menjaga lingkungan dan meningkatkan perekonomian.

“Tata Kelola RPJM Kampung berhasil mengembangkan skema sendiri untuk memperkuat ekonomi dan menjaga hutan,” ujar Alam dalam Webinar Katadata bertajuk “Sustainable Commodity Development in Papua” pada Senin (25/10).

Melalui program ini, pemerintah desa bersama warga membuat pembibitan kakao sekaligus menjaga kelestarian hutan dan tidak mendorong deforestasi. Berkat adanya program revitalisasi perkebunan kakao, hasil panen kini mencapai satu ton per kampung selama seminggu. Sekarang, hampir setiap kampung memiliki kebun kakao dengan luas lebih dari satu hektar.

Para petani kakao Jayapura sedang menjemur kakao kering. (Credit: The Asia Foundation)

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif PT PPMA, Naomi Marasian menuturkan bahwa pembibitan kakao di Kabupaten Jayapura telah berkembang menjadi olahan turunan kakao. Adapun pihaknya menggandeng Perusahaan Inkubator Perkumpulan Usaha Kecil (PUPUK) untuk pengolahan kakao menjadi coklat batangan yang bisa dikonsumsi langsung dengan merek Coklat Cendrawasih.

“Kami juga bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) untuk proses pembelian coklat dari masyarakat dan membangun kerja sama dengan CV Kasih Sayang untuk olahan produknya. Melalui kawan-kawan PUPUK untuk branding-nya agar bisa dipasarkan,” ujar Naomi pada acara yang sama.

Produk Coklat Cenderawasih. (Credit: The Asia Foundation)

TAKE merupakan contoh yang baik untuk mengembangkan perekonomian tanpa mengganggu kelestarian alam. Jayapura sebagai pelopor TAKE menginspirasi tujuh kabupaten lainnya untuk menerapkan transfer fiskal berbasis ekologis.

Keberhasilan ini karena mekanisme bantuan keuangan kepada desa sudah masuk komponen baru yaitu komponen kinerja dan menjadi insentif bagi kampung untuk berkinerja baik dalam menyelamatkan lingkungan sekaligus mengembangkan perekonomian.