Credit: Katadata/Joshua Siringo Ringo

Regulator pasar modal di Indonesia tidak ingin bernasib naas seperti sejawatnya di Negara Singapura. Sejumlah aturan baru dibuat agar unicorn "Merah-Putih" mau dan betah mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI), alih-alih "lompat pagar" ke bursa negeri seberang. Sebagai perusahaan digital yang tumbuh cepat dalam waktu singkat dengan valuasi di atas US$ 1 miliar, unicorn membutuhkan aturan main khusus agar bisa tetap eksis di lantai bursa.

Empat tahun lalu, tepatnya 20 Oktober 2017, sebuah perusahaan digital Singapura bernama Sea Limited mencatatkan sahamnya di bursa New York, Amerika Serikat (AS). Dengan mengandalkan dua lini utama usahanya: Shopee di sektor e-commerce dan bisnis gim Garena, kinerja Sea awalnya bergerak perlahan. Pendapatan tumbuh namun kerugian terus membengkak.

Belakangan, bisnis Shopee naik daun sehingga mampu mematahkan dominasi platform e-commerce Lazada milik Alibaba di pasar Asia Tenggara. Pandemi Covid-19 yang merebak sejak awal 2020 turut meroketkan bisnis gim Garena dengan produk andalannya "Free Fire".

Harga saham Sea pun terbang hingga 24 kali lipat dari saat penawaran saham perdana ke publik atau Initial Public Offering (IPO) sebesar US$ 15 menjadi US$ 365 per saham pada 4 November lalu. Sea menjelma menjadi raksasa perusahaan digital dunia, yang masuk 100 perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia. Valuasi atau nilai kapitalisasi pasar mencapai US$ 197 miliar per November 2021.

Padahal, di sisi lain, kinerja keuangan Sea masih "merah" dengan menderita kerugian. Presiden Komisaris Sea Group Indonesia Pandu Patria Sjahrir mengatakan, Sea Limited menjadi contoh bagus unicorn yang melakukan IPO. Meskipun kinerjanya masih merah, nilai dan pertumbuhannya menjanjikan.

“Kalau di market lain yang new economy jadi komponen terbesar, poin utamanya adalah market growth,” ujar Pandu, yang juga Komisaris Bursa Efek Indonesia, kepada Katadata.co.id, pertengahan Oktober lalu.

Bursa saham di AS, selain di Cina dan Hong Kong, memang menjadi pelabuhan unicorn dari berbagai negara untuk mencatatkan sahamnya. Di bursa Nasdaq, AS, berhimpun saham-saham teknologi seperti Apple, Amazon, Alphabet (induk Google), hingga Microsoft.

Selain itu, otoritas bursa saham di AS memiliki sejumlah regulasi yang akomodatif bagi model bisnis startup atau perusahaan rintisan teknologi. Salah satu contohnya adalah ketentuan mengenai saham hak suara multipel atau multiple voting shares (MVS).

MVS merupakan seri saham khusus yang memiliki hak suara lebih dari satu. Jadi, meskipun pemiliknya cuma mengantongi saham minoritas, tetap punya hak suara yang tinggi. Aturan MVS ini penting bagi perusahaan startup, bahkan unicorn yang memiliki banyak pemegang saham namun kelangsungan usahanya sangat bergantung pada visi dan keterlibatan para pendirinya.

Selain itu, ketentuan ini akan membatasi potensi pengambilalihan perusahaan publik di lantai bursa melalui mekanisme penawaran tender (tender offer).

Di bursa saham Singapura, aturan MVS baru dibikin dan diberlakukan pada Juni 2018, atau delapan bulan setelah Sea mencatatkan sahamnya di bursa New York.

Ketiadaan regulasi MVS ini pula yang sempat mengganjal rencana IPO Alibaba di bursa saham Hong Kong pada tahun 2014. Setelah melalui proses negosiasi alot berbulan-bulan, Jack Ma patah arang. “Alibaba menyadari ini pertempuran yang tidak akan bisa mereka menangi jika mengacu pada rencana perusahaan,” ujar Keith Pogson, Managing Partner Firma Jasa Keuangan EY, dikutip dari The Financial Post, Maret 2014.

Raksasa e-commerce asal Cina itu akhirnya memilih berlabuh di bursa New York. Alibaba resmi menjual sahamnya ke publik pada 19 September 2014 dan mengumpulkan dana US$ 25 miliar. Ini menjadi IPO terbesar sepanjang sejarah di dunia.

Sedangkan empat tahun berselang, pada April 2018, bursa saham Hong Kong akhirnya memberlakukan aturan MVS. Berbekal aturan tersebut, pada November 2019, Alibaba melantai di bursa Hong Kong. Dana yang diperoleh mencapai US$ 11 miliar, yang merupakan IPO terbesar di bursa saham itu sejak tahun 2010.

Otoritas Jasa Keuangan. (Donang Wahyu|KATADATA)

Aturan Baru OJK dan BEI

Regulator dan otoritas bursa di Indonesia tentunya tidak ingin mengulangi pengalaman pahit Singapura dan Hong Kong sehingga para unicornnya hengkang dan berlabuh di bursa negeri orang. Apalagi, setelah IPO Bukalapak pada Agustus lalu, beberapa unicorn dan decacorn sudah ancang-ancang masuk bursa. Di antaranya GoTo, Traveloka, Kredivo, Blibli, Tiket.com, hingga OnlinePajak.

Pandu Sjahrir menyebut evolusi startup untuk kemudian go public rata-rata setelah berusia lima hingga sepuluh tahun. Nah, Indonesia sedang masuk dalam fase tersebut.

Otoritas pasar modal pun bergerak cepat agar para unicorn tersebut tidak "lompat pagar" ke negeri seberang. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen mengatakan masih menggodok aturan saham hak suara banyak (MVS). "Kami berharap aturan ini akan diterbitkan pada tahun ini. Kami akan berkoordinasi dengan BEI," katanya, pertengahan Oktober lalu.

Otoritas sudah meminta tanggapan publik atas Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) tentang Saham Hak Suara Multipel (SHSM) pada 8 - 21 Juni lalu. Lewat aturan ini, unicorn dapat IPO dengan memiliki dua kelas saham (dual-class shares), yaitu saham biasa dan SHSM.

Skema dua kelas saham ini hanya dipegang oleh para pendiri yang sekaligus jadi figur kunci di perusahaan. Praktik ini memungkinkan perusahaan teknologi tetap bisa menjadi pengendali meskipun porsi kepemilikan sahamnya kecil.

Menurut Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna, otoritas bursa akan memberikan notasi khusus bagi perusahaan yang punya izin SHSM. Bentuknya bisa berupa kode ticker saham sehingga investor bisa mengetahui struktur kepemilikan saham.

Mengutip Investopedia, praktik semacam ini sudah lazim di Amerika Serikat. Saham Alphabet (induk Google) punya dua kode saham di bursa Nasdaq. Kode GOOGL merupakan saham kelas A atau saham biasa. Pemegang sahamnya punya satu suara untuk setiap saham.

Sedangkan kode GOOG masuk kategori saham kelas B, yang pemegang sahamnya tidak punya hak suara. Pemiliknya bisa berasal dari investor biasa atau bahkan pegawai perusahaan.

Selain itu, Google punya saham kelas B yang dimiliki oleh petinggi perusahaan. Saham kelas ini tidak diperdagangkan dan bernilai 10 kali lipat hak suara dibandingkan saham kelas A.

Di sisi lain, tidak semua startup bisa punya SHSM. Perusahaan rintisan itu, misalnya harus memenuhi syarat finansial tertentu. Mulai dari total asetnya lebih dari Rp 2 triliun, sudah beroperasi di atas tiga tahun, compound annual growth rate (CAGR) total aset minimal 35% selama tiga tahun terakhir, dan CAGR pendapatan 30% dalam jangka waktu tiga tahun terakhir.

Nyoman menjelaskan BEI juga akan menetapkan sejumlah klausa di aturan SHSM. Misalnya, klausa kelayakan jangka waktu pemberian SHSM sebelum jadi saham biasa. Ada juga klausa mengenai perubahan status saham ketika pemegangnya meninggal dunia, mengalihkan saham, atau kehilangan kendali atas perubahan. “Intinya kami akan tetap melindungi investor."

Sebagai konsekuensi penerapan SHSM, regulator juga akan mengubah definisi pemegang saham pengendali. Jika sebelumnya pengendali dihitung secara kuantitatif berdasarkan jumlah saham, maka pemegang saham pengendali di unicorn akan diukur secara kualitatif.

Menurut Nyoman, aturan SHSM kini memang sudah kian lumrah di dunia. Selain Singapura, Hong Kong, dan Amerika Serikat, regulasi ini juga diterapkan di Jepang, Australia, Shanghai, beberapa bursa di Eropa, dan di Kanada.

Edward Ismawan Chamdani, Co-Founder dan Managing Partner Gayo Capital, menyambut positif langkah otoritas pasar modal dalam membikin aturan SHSM untuk menarik animo unicorn melangsungkan IPO di bursa dalam negeri. "Saya setuju dan memang diperlukan aturan tersebut. Sebagai perusahaan teknologi yang masih bergantung dengan visi, misi, dan leadership founder/co-founder menjadi penting arah dan keputusan tetap dipegang para pendirinya," katanya.

Ketentuan SHSM ini berpotensi menarik lebih banyak perusahaan teknologi untuk mencatatkan sahamnya di bursa. Alhasil, dengan nilainya yang jumbo, IPO unicorn dan decacorn tersebut akan meningkatkan nilai kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia.

Aditya Nugraha, Kepala Unit Pengembangan Startup dan SME BEI, memperkirakan nilai kapitalisasi pasar modal Indonesia bisa bertambah hingga Rp 553,9 triliun jika setidaknya enam unicorn mencatatkan sahamnya di bursa nasional. Nilai itu tercatat 7,69% dari total kapitalisasi pasar yang ada saat ini sebesar Rp 7.279 triliun.

Asumsi nilai kapitalisasi diperoleh dari perkiraan nilai valuasi terkini dan data kapitalisasi pasar per 16 Juli 2021. Hitungan ini bakal lebih besar lagi jika mengacu kepada nilai kapitalisasi pasar BEI per 15 November lalu sebesar Rp 8.198 triliun. Sedangkan valuasi para unicorn dan decacorn juga terus berkembang seiring penghimpunan dana baru.

Sebagai contoh, valuasi GoTo setelah pra-IPO dan masuknya perusahaan investasi Uni Emirat Arab, ADIA, pada Oktober lalu, ditaksir mencapai US$ 30 miliar hingga US$ 32 miliar atau sekitar Rp 454,4 triliun.

Seiring peningkatan nilai kapitalisasi pasar tersebut akan meningkatkan kepercayaan dan menarik lebih banyak masuknya investasi asing ke pasar modal Indonesia. Investor retail pun bertambah banyak. Ini juga akan semakin menumbuhkan unicorn sehingga mendatangkan dampak ekonomi langsung di Indonesia.

Dalam riset terbarunya bertajuk “e-Conomy SEA 2021”, Google, Temasek, dan Bain juga melihat, tren IPO startup maupun unicorn Indonesia akan semakin mendorong investasi dan penghimpunan dana tahun depan. Managing Director Telecommunications, Media & Technology and South East Asia Temasek Fock Wai Hoong mencatat, ada banyak startup Indonesia yang berencana IPO.

Rencana IPO itu akan meningkatkan minat investor dalam berinvestasi di startup Indonesia tahun depan. "Kami berharap dapat meningkatkan investasi kami di berbagai perusahaan digital terbaik di Asia Tenggara," katanya, 17 November lalu.

Bursa Efek Indonesia (BEI). (Arief Kamaludin|KATADATA)

Peraturan Baru Lainnya

Selain aturan kelas saham dan MVS, otoritas bursa juga memberikan keleluasaan kepada unicorn untuk IPO meski masih membukukan kerugian. Perusahaan tentu ingin sahamnya tercatat di papan utama bursa, alih-alih papan pengembangan. Padahal, peraturan BEI mensyaratkan ketentuan khusus dari sisi laba dan/atau net tangible asset (NTA) jika ingin terdaftar di papan utama.

Nyoman mengatakan BEI akan memberikan lima kriteria yang bisa dipilih unicorn saat IPO. Pertama, menggunakan laba dan atau NTA. Kedua, agregat pajak dua tahun terakhir dan kapitalisasi pasar. Ketiga, pendapatan dan kapitalisasi pasar. Keempat, total aset dan kapitalisasi pasar. Kelima, arus kas operasi dua tahun terakhir dan kapitalisasi pasar.

"Secara prinsip sudah tidak ada yang perlu didiskusikan lagi dengan OJK. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama lagi aturannya akan terbit," ujar Nyoman.

Langkah lain yang dilakukan BEI adalah mengganti klasifikasi sektor industri dari Jakarta Stock Index Classification (Jasica) menjadi IDX-IC. Panduan baru ini dibuat untuk mengakomodir klasifikasi lini bisnis perusahaan unicorn agar lebih sesuai. Perusahaan teknologi seperti GoTo misalnya, masuk golongan 111-Aplikasi dan Jasa Internet.

Otoritas bursa di Indonesia juga perlu terus memantau perkembangan regulasi di bursa luar negeri agar selalu adaptif dengan perusahaan teknologi. Pada 3 September lalu, otoritas bursa Singapura resmi memperbolehkan Special Purpose Acquisition Company (SPAC) atau kerap disebut perusahaan cangkang akuisisi untuk terdaftar di papan utama.

SPAC sebagai perusahaan cangkang yang sudah tercatat di bursa saham memang banyak dilirik unicorn agar lebih mudah go public dan masuk bursa. Jadi, unicorn tidak perlu lagi menjalani proses administrasi yang panjang untuk IPO. Data Spacresearch.com menyebut setidaknya 489 SPAC sudah go public sepanjang 2021 di Amerika Serikat.

SPAC merupakan kelompok investor yang membentuk perusahaan cangkang --terkadang tidak punya operasi bisnis-- yang tujuan utamanya IPO. Setelah meraih dana lewat IPO, perusahaan cangkang ini akan mengakuisisi atau merger dengan startup potensial yang sejak dini sudah ditargetkan.

Di Indonesia, ketentuan SPAC masih dalam pembahasan. Nyoman mengatakan BEI tengah meminta masukan dari berbagai pihak untuk mempertimbangkan sejumlah aspek, seperti tata kelola perusahaan, perlindungan investor publik, dan kesesuaian peraturan.

Opsi menggunakan SPAC untuk IPO juga dilirik perusahaan Tanah Air. Blomberg menyebut Tiket.com sedang menjalin komunikasi serius dengan COVA Acquisition, perusahaan cangkang berbasis di California, AS. Gabungan keduanya diprediksi bisa melambungkan valuasi perusahaan hingga Rp 28,5 triliun.

Namun, ketentuan SPAC ini memang perlu ditimbang matang karena belakangan para unicorn meninjau ulang rencananya memakai kendaraan khusus tersebut untuk IPO. Contohnya Traveloka, seperti dikutip dari sumber Bloomberg, memutuskan tidak melanjutkan rencananya IPO melalui SPAC. Alasannya, karena antusiasme di pasar SPAC berkurang.

Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menilai, keputusan Traveloka merupakan langkah paling tepat saat ini. “Tren SPAC di AS agak menurun,” kata dia, pertengahan Oktober lalu.

Menyambut musim IPO unicorn di Tanah Air, otoritas pasar modal memang harus cepat berbenah. Jika tidak berbenah, otoritas negara tetangga terus bersolek untuk memikat perusahaan bervaluasi jumbo mencatatkan saham di bursanya. Alhasil, jika unicorn berlabuh di bursa negeri seberang maka akan meredupkan potensi dan manfaat besar IPO bagi pasar modal dan perekonomian Indonesia.

Tim produksi

Koordinator:

Sorta Tobing

Penulis:

Agustiyanti, Desy Setyowati, Lavinda, Rezza Aji Pratama

Editor:

Yura Syahrul, Aria W Yudhistira

Desain Grafis:

Lambok Hutabarat, Pretty J. Zulkarnain

Ilustrasi:

Joshua Siringo-ringo

Teknologi Informasi:

Firman Firdaus, Mariana Garcia, Maulana