Jalur Meraih Untung dari Saham IPO Unicorn
Menjelang pergantian tahun ini, salah satu pertanyaan besar para investor di bursa saham adalah: kapan IPO unicorn atau decacorn lain setelah Bukalapak? Lewat penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO), investor publik bisa mendekap saham perusahaan-perusahaan digital besar dengan valuasi di atas US$ 1 miliar atau lebih US$ 10 miliar. Tapi, tetap perlu hati-hati dalam mengejar untung dari hajatan besar tersebut.
Kabarnya, IPO GoTo yang tak lama lagi bakal digelar. Indikasi terkuatnya adalah perusahaan yang menaungi Gojek dan Tokopedia ini mengumumkan penggalangan dana sebelum IPO alias pra-IPO lebih US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 18,6 triliun pada pertengahan November lalu. Alhasil, valuasi GoTo ditaksir melejit jadi US$ 30 miliar hingga US$ 32 miliar.
CEO Group GoTo Andre Soelistyo mengatakan, dana tersebut akan digunakan untuk mengembangkan ekosistem dan memperkuat posisi sebagai pemimpin pasar di Asia Tenggara. Ini termasuk fokus berkelanjutan menumbuhkan jumlah pelanggan, perluasan jasa pembayaran dan penawaran layanan keuangan.
Selain itu, decacorn ini akan mendorong pemanfaatan armada transportasi dan jaringan logistik yang terintegrasi demia meningkatkan pengalaman hyperlocal. “Indonesia dan Asia Tenggara adalah dua pasar dengan prospek pertumbuhan paling menjanjikan di dunia,” kata Andre dalam siaran pers, 11 November lalu.
Salah satu pemodal kakap baru yang masuk lewat hajatan pra-IPO itu adalah pengelola dana investasi Uni Emirat Arab, Abu Dhabi Investment Authority (ADIA). Beberapa investor lainnya adalah Avanda Investment Management, Fidelity International, Google, Permodalan Nasional Berhad (PNB), Primavera Capital Group, SeaTown Master Fund, Temasek, Tencent, dan Ward Ferry.
Bahkan, masih ada investor lain yang diperkirakan bergabung dalam pendanaan pra-IPO itu menjelang penutupan akhir dalam beberapa pekan mendatang. Berdasarkan informasi dari seorang pelaku industri digital, pra-IPO tersebut memang bertujuan memberikan kesempatan terakhir bagi investor untuk masuk ke GoTo sebelum go public.
Mengutip Investopedia, pra-IPO adalah penawaran saham suatu perusahaan dalam blok besar di pasar tertutup sebelum menggelar penjualan di bursa saham. Pembeli biasanya adalah perusahaan ekuitas swasta, hedge fund, dan lembaga lain yang bersedia membeli saham dalam jumlah besar.
Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani mengatakan, harga saham saat pra-IPO biasanya diberikan diskon sehingga lebih menguntungkan bagi investor. “Diskon ini tergantung masing-masing perusahaan," katanya. Tapi, ada syaratnya yaitu investor tersebut berkomitmen tidak menjual sahamnya itu dalam jangka waktu tertentu pasca-IPO.
Menurut Komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI) Pandu Sjahrir, pendanaan pra-IPO lazim dilakukan di pasar modal. Ini biasanya juga dapat memberikan sinyal harga wajar saham perusahaan tersebut saat IPO nantinya. Harga IPO juga umumnya lebih premium dari pra-IPO. “Setiap perusahaan berbeda-beda. GoTo mungkin ingin memberikan sinyal dari sisi valuasi setelah mereka merger,” katanya kepada Katadata.co.id, Oktober lalu.
Alurnya berbeda dengan IPO Bukalapak, yang menurut Pandu selaku salah satu investor all-commerce tersebut, tidak melangsungkan pra-IPO. Namun, Presiden Bukalapak Teddy Oetomo mengakui penutupan putaran pendanaan pamungkas itu berakhir sebelum Bukalapak memulai proses IPO.
Beberapa investor yang ikut dalam penggalangan dana di penghujung tahun 2020 itu adalah Microsoft, Standard Chartered Bank, Ashmore, dan dua bank nasional. "Sebagian besar pendanaan ini sebenarnya sudah selesai jauh sebelum IPO. Tapi ada satu investor yang karena masalah dokumen dan sebagainya, masuknya mendekati IPO,” ujar Teddy.
Bukalapak memulai proses IPO pada Januari lalu dan menjadi unicorn pertama yang mencatatkan sahamnya di BEI pada awal Agustus lalu. Dari aksi korporasi itu, jumlah pemegang saham Bukalapak melonjak hingga hampir 100 ribu investor.
Meski harga saham Bukalapak dalam tren menurun hingga kini, animo investor memiliki saham unicorn tersebut tetap tinggi. Hingga akhir Oktober lalu, saham Bukalapak dimiliki oleh 123.907 investor. Artinya, investor tetap berharap cuan di masa depan meski perusahaan tersebut saat ini masih merugi.
CARA MENGOLEKSI SAHAM UNICORN
Bagi pemodal individu atau investor retail, ada dua jalur mengoleksi saham unicorn di pasar modal. Pertama, membeli saham di pasar perdana atau saat IPO. Kedua, membeli di pasar sekunder atau saat saham sudah resmi diperdagangkan di bursa.
Untuk membeli saham unicorn di pasar perdana maupun sekunder, investor harus membuka rekening di salah satu sekuritas. Syaratnya antara lain, memiliki kartu tanda penduduk (KTP), nomor pokok wajib pajak (NPWP), rekening bank, serta dana untuk disetorkan.
Minimal setoran dana bervariasi tergantung masing-masing sekuritas. Bahkan, ada yang mensyaratkan minimal setoran hanya Rp 100 ribu.
BEI sebenarnya telah mempermudah para investor untuk membeli saham di pasar perdana melalui laman e-IPO. Sebelum ada e-IPO, investor yang ingin membeli saham di pasar perdana harus membuka rekening di perusahaan sekuritas yang menjadi penjamin emisi atau underwriter calon emiten.
Namun dengan konsep e-IPO, semua investor kini dapat membeli saham dari sekuritas apapun. Investor hanya perlu melakukan proses registrasi dengan mengisi sejumlah data, melalui proses verifikasi, dan mengisi form pemesanan.
Meski ada jalur e-IPO, belum tentu investor mendapatkan secara mudah saham IPO karena harus melalui proses penjaringan minat awal dan pembentukan buku (bookbuilding). Peluang semakin tipis kalau perusahaan go public itu punya nama, seperti unicorn dan decacorn, karena permintaan pasti membeludak dan berebut dengan investor institusi.
Contohnya, saat IPO Bukalapak, permintaan yang masih lebih banyak 8,7 kali dari jumlah saham yang ditawarkan ke para investor. Muhammad Avisena, yang sejak pandemi aktif berinvestasi saham, tak mau repot membeli saham unicorn di pasar perdana.
“Sejak awal Bukalapak mau IPO, saya penasaran sekali. Tapi kurang tertarik membeli saat IPO karena harus ikut proses bookbuilding,” kata full time trader yang akrab disapa Sena itu.
Ia mencoba peruntungan membeli saham emiten berkode BUKA itu pada hari pertama perdagangan di pasar sekunder. Namun, pria berusia 33 tahun tersebut baru berhasil membeli saham pada hari keempat perdagangan saat harga saham BUKA terkoreksi. “Saya coba untuk beli lagi hingga dua kali, akhirnya jual saat harga sudah naik."
Lazimnya, membeli saham IPO di pasar perdana berpotensi mendatangkan keuntungan karena harga sahamnya bakal naik saat masuk pasar sekunder. Tapi, ada juga saham IPO yang malah turun harganya ketika hari pertama melantai di bursa. Sena mengaku tertarik membeli saham BUKA karena melihat salah satu saham terkait sektor digital yang biasanya terus bergerak naik setelah masuk bursa.
PROSPEK JANGKA PANJANG SAHAM UNICORN
Tingginya antusiasme pasar terhadap saham sektor teknologi dan perusahaan digital merebak sejak masa pandemi. Selain kian kencangnya era digital di Indonesia, startup dan perusahaan teknologi menemukan momentum percepatan pertumbuhan usaha di tengah pembatasan aktivitas masyarakat.
Sebagai gambaran, sejak Januari hingga pertengahan tahun 2021, indeks saham sektor teknologi di BEI melejit ratusan persen. Tren lonjakan indeks tersebut ditopang antara lain oleh saham bank digital, perusahaan logistik dan perdagangan online, serta pusat data.
Tak heran ketika Bukalapak menggelar IPO, antusiasme investor sangat tinggi. Nilainya pun tercatat sebagai IPO terbesar sepanjang sejarah bursa domestik.
Saham Bukalapak terus menjadi primadona dan buah bibir para investor meski harga sahamnya fluktuatif hingga sempat berada di bawah harga IPO. Teddy Oetomo mengatakan, perusahaan terus berupaya menjaga kepercayaan investor dengan memastikan arah bisnis sesuai dengan target yang tercantum dalam prospektus IPO.
“Pemegang saham kami yang signifikan sejauh ini tidak tertarik untuk menjual sahamnya setelah IPO Kami terus berkomunikasi dan mereka melihat prospek pengembangan bisnis Bukalapak ke depan,” kata dia.
Pengamat pasar modal Lucky Bayu Purnomo mengingatkan investor bahwa membeli saham perusahaan teknologi dan digital berbeda dengan perusahaan konvensional. Perusahaan teknologi butuh waktu untuk sampai pada loyalitas konsumen dan menjadi pemenang pasar, baru kemudian mendatangkan keuntungan.
“Investasi pada saham unicorn ini membutuhkan orientasi jangka panjang. Sebaiknya jangan berharap keuntungan dari spekulasi,” ujar Lucky.
Ia menjelaskan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat ingin membeli saham unicorn. Salah satu indikator utamanya adalah bagaimana perusahaan itu mengelola transaksi konsumen yang tercermin dari total transaction value dan average transaction value. “Kalau tidak ada peningkatan transaksi di platform, tentu harus dihindari,” kata dia.
Dalam jangka panjang, membeli saham perusahaan teknologi yang memiliki prospek bagus dapat mendatangkan keuntungan berkali lipat. Harga saham Facebook misalnya, saat ini telah naik sembilan kali lipat dibandingkan saat IPO pada 2012 silam sebesar US$ 38. Harga saham Facebook saat ini (per 24 November 2021) mencapai US$ 341,06.
Jika melongok saham Google, keuntungan investor saat ini bahkan mencapai puluhan kali lipat. Saat mencatatkan saham di bursa AS pada 2004, harganya sebesar US$ 85 per saham. Sedangkan per 24 November lalu, harga saham raksasa teknologi ini sebesar US$ 2.992,4.
Kedua perusahaan teknologi ini memang sudah mencetak laba bersih saat IPO dan kemampuan mencetak keuntungan meningkat berkali lipat setelah menjadi perusahaan publik. Hingga kuartal III 2021, Facebook membukukan laba US$ 29,08 miliar atau setara Rp 413 triliun, sedangkan laba Google mencapai US$ 55,3 miliar atau setara Rp 780 triliun.
Namun, kenaikan harga saham dalam jangka panjang juga mampu dibukukan perusahaan teknologi besar yang masih merugi . Contohnya adalah Amazon. Saat IPO pada 1997, harga saham Amanzon masih US$ 18. Tapi per 24 November lalu, harga saham perusahaan yang didirikan Jeff Bezos ini mencapai US$ 3.580,41.
Meski begitu, Pandu melihat investor saham di Tanah Air masih harus diedukasi untuk melihat prospek bisnis dari perusahaan-perusahaan teknologi dan digital. “Poin paling penting yang dilihat investor adalah market growth, positioning-nya apakah kuat, dan tentu saja size market. Itu view growth investor,” ujarnya.
Ia mencontohkan, induk Shopee Sea Limited dan Amazon berhasil mengantongi dana besar dari pasar modal meski masih merugi. Investor menilai kedua perusahaan teknologi raksasa ini memiliki pertumbuhan pendapatan dan prospek yang sangat bagus.
“Investor masih dałam tahap belajar. Dengan semakin banyak perusahaan-perusahaan teknologi yang masuk pasar modal, lama-lama investor memahami bahwa melihatnya itu sisi revenue growth, market size, size of the market,” ujarnya.
Tim produksi
Koordinator:Sorta Tobing
Penulis:Agustiyanti, Desy Setyowati, Lavinda, Rezza Aji Pratama
Editor:Yura Syahrul, Aria W Yudhistira
Desain Grafis:Lambok Hutabarat, Pretty J. Zulkarnain
Ilustrasi:Joshua Siringo-ringo
Teknologi Informasi:Firman Firdaus, Mariana Garcia, Maulana