Investasi saham kini menjadi primadona para investor generasi milenial (kelahiran 1981-1996) dan generasi Z (kelahiran 1997-2012). Demikian hasil survei Katadata Insight Center (KIC), Zigi.id bersama PT Stockbit Investa mengenai investasi yang paling diminati generasi muda.
Survei yang dilakukan di 33 provinsi pada 6-12 September 2021 itu menemukan, 41,3% milenial mengaku sudah membeli saham pada 1-2 tahun terakhir. Sedangkan 48,1% Gen Z yang mulai berinvestasi saham kurang dari satu tahun terakhir.
Mayoritas investor muda ini membeli saham setiap mendapat dana lebih (47,6%) dan 20% membeli saham saat pasar sedang bagus. Adapun, yang rutin berinvestasi saham setiap bulan sebanyak 27,2%.
Temuan dari survei KIC ini sejalan dengan data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) yang mencatat peningkatan signifikan jumlah investor saham tahun lalu lantaran didorong kenaikan jumlah investor muda.
Jumlah investor individu di pasar modal meningkat 7,47 juta orang pada tahun lalu atau tumbuh hampir dua kali lipat dari kenaikan di 2020 yang sebanyak 3,88 juta orang. Lebih 80% atau sekitar 2,7 juta investor merupakan generasi milenial dan generasi Z.
Tak Buram Meski Dicekam Pandemi
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi mengatakan peningkatan jumlah investor sejatinya juga didorong oleh kinerja bursa tahun lalu. Meski masih dicekam pandemi Covid-19, BEI berhasil mencatatkan performa yang memuaskan.
Lihat saja misalnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), indikator yang mencerminkan dan menjadi representasi kinerja pasar modal. Di pengujung 2021, IHSG berada di level 6.581,48 atau meningkat 10,08% dibandingkan hari penutupan 2020. Bahkan di 22 November 2021, IHSG sempat menembus rekor baru di level 6.723,39, melampaui IHSG sebelum terjadinya pandemi.
Kapitalisasi pasar pada akhir 2021 juga membesar hingga mencapai Rp 8.277 triliun atau tumbuh hampir 18% dibandingkan posisi akhir 2020. Ini didorong oleh aktivitas perdagangan yang semakin ramai dengan Rata-rata Nilai Transaksi Harian (RNTH) Rp 13,39 triliun, atau naik lebih 45% dibandingkan 2020 yang Rp 9,2 triliun.
Minat perusahaan menggalang dana melalui pasar modal juga tetap bersemi meski pandemi. Jumlah nilai emisi dari penjualan saham dan obligasi mencapai Rp 358,43 triliun. Dari jumlah tersebut, total dana dari penawaran umum perdana (IPO) saham Rp 62,61 triliun atau melejit 1.022,35% dibandingkan tahun 2020. Ini merupakan jumlah IPO terbesar sepanjang sejarah pasar modal Indonesia.
Awan Mendung yang Sudah Terdiskonto
Dengan performa pasar modal tahun lalu yang berkilap, sudah selayaknya para investor muda menatap tahun ini dengan optimisme. Menurut Kiswoyo Adi Joe, Head of Investment PT Reswara Gian Investa, IHSG tahun ini kemungkinan akan menembus level 7.500 atau tumbuh sekitar 13%. Ini pun kalkulasi dengan skema moderat.
"Jika menggunakan hitungan yang optimistis, kami memprediksi IHSG bahkan bisa mencapai 7.800," katanya. Namun, Kiswoyo memilih skema moderat karena masih bergayutnya awan mendung tahun ini.
Sentimen negatif yang masih menghadirkan awan mendung bagi pasar modal tentu saja pandemi Covid-19 yang masih menawan situasi sosial-ekonomi, apalagi varian virus baru terus bermunculan. Ini menciptakan ruang ketidakpastian yang masih membutuhkan konsistensi kebijakan pemerintah dan kedisiplinan masyarakat untuk mencegah terjadinya lonjakan atau gelombang kasus berikutnya.
Selama lonjakan kasus bisa dicegah, dampaknya terhadap perekonomian juga akan bisa ditekan. Sebaliknya, jika ledakan kasus kembali terjadi, ini akan kembali memicu sentimen negatif terhadap keberlangsungan ekonomi.
Sentimen negatif kedua datang dari rencana bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), untuk mengerek suku bunga acuan dan menormalisasi kebijakan moneternya -lazim disebut sebagai tapering off- dengan menghentikan program pembelian obligasi dan surat berharga di pasar finansial.
Menurut M. Nafan Aji Gusta, Analis Senior Mirae Asset Sekuritas Indonesia, dengan inflasi tinggi di Amerika Serikat, pasar menghitung The Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuan hingga 3 kali tahun ini. Kebijakan itu akan memicu arus modal keluar atau capital outflow dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Faktor yang meringankan dampaknya adalah kebijakan The Fed tersebut sudah diketahui jauh-jauh hari. "Dampaknya kemungkinan sudah terdiskonto karena investor asing dan Bank Indonesia seharusnya sudah melakukan penyesuaian sejak dini," ujar Nafan.
Reposisi portofolio itu sudah terlihat terutama di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Hitungan BI, investor asing sudah mencatatkan net sell Rp80,92 triliun sepanjang 2021. Meski demikian, investor asing masih membukukan penjualan bersih di bursa saham sebesar Rp38,09 triliun tahun lalu.
Karena itu, Dana Moneter Internasional (IMF) optimistis dampak kebijakan The Fed tidak akan terlalu siginifikan buat Indonesia. BI dan pemerintah berada dalam posisi yang baik untuk secara bertahap menormalkan kebijakannya. BI sebagai contoh, sudah berencana menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan dalam tiga tahap demi menyerap kelebihan likuiditas dari sistem keuangan dan kembali ke level sebelum pandemi.
Indonesia Mission Chief Asia and Pacific Department IMF Cheng Hoon Lim memuji rencana ini sebagai langkah antisipasi yang baik. "Ketika saatnya tiba, bank sentral akan berada dalam posisi yang baik untuk dapat merespons tanpa harus dipusingkan dengan kelebihan likuiditas di sistem perbankan," katanya.
Pilih Saham Teknologi atau LQ45?
Dengan risiko yang dampaknya sudah tereduksi, yang harus dicermati para investor justru adalah peluang atau kesempatan untuk meraih keuntungan. Kesempatan pertama datang dari beberapa rencana IPO di tahun ini.
BEI menargetkan ada 55 perusahaan menggelar IPO tahun ini. Sampai dengan 14 Januari lalu, sudah ada 30 perusahaan yang masuk dalam daftar antrean pipeline pencatatan saham di bursa.
Dari 30 perusahaan tersebut, empat perusahaan merupakan perusahaan beraset di bawah Rp50 miliar. Lalu, 14 perusahaan beraset antara Rp50 miliar hingga Rp250 miliar. Adapun 12 perusahaan tersisa merupakan perusahaan besar dengan nilai aset di atas Rp250 miliar.
Jika tak kebagian kesempatan mengail cuan dari ajang IPO, para investor bisa memilih berinvestasi di pasar sekunder. Untuk yang satu ini, ada fenomena baru di bursa ekuitas yang harus disadari oleh investor pemula.
Fenomena baru itu adalah munculnya saham-saham pendorong IHSG di luar saham LQ45. Meskipun IHSG meningkat lumayan baik tahun lalu, indeks LQ45 -indeks 45 saham likuiditas tinggi dengan kapitalisasi pasar terbesar di bursa- justru terpuruk, dengan mencatatkan pertumbuhan negatif 0,37%.
Yang terjadi, selama 2021, IHSG banyak didorong oleh transaksi di saham-saham digital atau teknologi seperti PT DCI Indonesia Tbk (DCII), PT Bank Jago Tbk (ARTO), PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI), dan PT Bank Raya Indonesia Tbk (AGRO).
Harga saham AGRO misalnya, meningkat 78,8% sepanjang tahun lalu. Sementara harga saham ARTO melonjak 348,7%. Bahkan, harga saham BBHI meroket 4,386.7%. Sedangkan harga DCII sepanjang tahun lalu sudah melangit hingga 10.370%.
Kinerja saham-saham itu mendorong indeks saham sektor teknologi menjadi sektor dengan kinerja paling benderang, melejit hingga 707,56% sepanjang tahun lalu.
Di posisi kedua, indeks sektor transportasi dan logistik yang meningkat 67,78%, energi 45,56%, barang konsumsi non-primer 21,21%, keuangan 21,14%, perindustrian 11,6%, infrastruktur 11,23%, kesehatan 8,37%, dan bahan baku 0,12%.
Jika melihat performa yang sangat mengesankan, wajar kalau banyak investor pemula tergiur ikut terjun ke saham-saham digital dan teknologi. Namun, semua analis yang dihubungi Katadata.co.id justru merekomendasikan untuk menjauhi saham-saham teknologi yang harganya sudah meroket.
Alasan pertama, karena price to book value (PBV) atau rasio harga terhadap nilai buku saham-saham tersebut sudah lebih 20 kali atau sudah sangat tinggi. PBV BBHI dan DCII bahkan mencapai 90 kali dan 106 kali.
Dengan harga sudah sangat tinggi, peluang harganya untuk meningkat lagi sudah sangat terbatas, sementara risiko harga turun menjadi sangat besar.
Selain itu, menurut pengamat pasar modal Satrio Utomo, kinerja saham sebagian emiten tersebut sejatinya belum selaras dengan performa fundamental keuangannya. Kinerja fundamental ini juga harus didukung oleh perkembangan positif dari lingkungan bisnis emiten-emiten tersebut.
"Masih harus diwaspadai perkembangan ekosistem bisnis mereka secara umum seperti respons gebrakan dari kompetitor dan perbankan konvensional atau seperti apa pertumbuhan nasabah dan penggunanya," ujarnya. Aktivitas jual-beli sahamnya juga terkonsentrasi ke beberapa sekuritas saja.
Lantas, apa pilihan bagi investor? Meski indeks LQ45 merosot di tahun lalu, kalau merujuk pada laporan keuangan kuartal ketiga 2021 beberapa emiten yang masuk LQ45, sesungguhnya kinerja mereka masih mengesankan.
PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) misalnya, membukukan total laba bersih yang tebal sebesar Rp 23,20 triliun. Sementara PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mencatatkan laba bersih Rp 19,25 triliun, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp 19,23 triliun, PT Astra Internasional Tbk (ASII) Rp 14,97 triliun dan PT United Tractors Tbk (UNTR) dengan total laba bersih Rp 7,82 triliun.
Sementara emiten yang memnbukukan pertumbuhan laba terbesar antara lain PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) yang tumbuh 579%, PT Japfa Comfeed Indonesia (JPFA) yang tumbuh 486%, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) 437%, PT Barito Pasific Tbk (BRPT) 407%, dan PT Jasa Marga Tbk (JSMR) 375%. Banyak lagi saham LQ45 yang membukukan kinerja yang memuaskan.
Memang, banyak saham LQ45 sudah memiliki harga yang tinggi. Namun, ancaman hengkangnya investor asing akibat kebijakan The Fed bisa menjadi pintu masuk bagi investor domestik untuk membeli saham saat bursa tertekan.
Yang penting, pelajari dulu performa fundamental saham yang hendak dibeli. "Jangan tergoda saham pom-pom," kata Satrio.
Tim produksi
Koordinator:Sorta Tobing
Penulis:Amal Ihsan Hadian, Intan Nirmala Sari, Happy Fajrian, Maesaroh, Sorta Tobing
Editor:Muchamad Nafi, Yura Syahrul
Desain Grafis:Pretty J. Zulkarnain
Ilustrasi:Joshua Siringo-ringo
Video:Dini Apriliana
Teknologi Informasi:Firman Firdaus, Aditya Nugroho, Mohammad Afandi, Maulana