Restorasi Ekosistem Riset
Lahirkan Indonesia Unggul

Tim Publikasi Katadata

Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah pada 16 Juli 2019 lalu telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (RUU Sisnas Iptek) menjadi undang-undang

Setidaknya, akan ada 22 peraturan pemerintah dan tiga peraturan presiden sebagai turunan dari UU tersebut. Peraturan presiden itu tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); pengelolaan dana abadi penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi dan inovasi; serta Sistem Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional

Dalam salah satu pasal UU Sisnas Iptek, yakni Pasal 48, disebutkan bahwa untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional. Badan riset dan inovasi nasional, atau sering disebut dengan BRIN, ini akan dibentuk oleh presiden. Sedangkan ketentuan mengenai badan riset dan inovasi nasional diatur dengan peraturan presiden.

UU itu juga menyebutkan yang dimaksudkan dengan terintegrasi adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan, antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi dan inovasi. Hal ini sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional.

Dengan adanya UU Sisnas Iptek dan BRIN ini, berbagai kalangan berharap ekosisistem riset di Indonesia akan menjadi lebih baik. Apalagi saat berpidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 16 Agustus 2019 lalu, Presiden Joko Widodo sudah menegaskan, Indonesia membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat negara ini bisa melompat dan mendahului bangsa lain. 

“Kita butuh terobosan-terobosan jalan pintas yang cerdik yang mudah yang cepat. Kita butuh sumber daya manusia (SDM) unggul yang berhati Indonesia, berideologi Pancasila. Kita butuh SDM unggul yang toleran yang berakhlak mulia. Kita butuh SDM unggul yang terus belajar bekerja keras, berdedikasi,” kata Jokowi.

Menurut Presiden Jokowi, berbekal inovasi, kualitas SDM, dan penguasaan teknologi, bangsa Indonesia bisa keluar dari kutukan sumber daya alam. Memang negara ini kaya bauksit, batu bara, kelapa sawit, ikan, dan masih banyak lagi. Tapi tidak cukup di situ. Kalau bisa melakukan hilirisasi industri, pasti bisa melompat lagi.

Foto: Arief Kamaluddin | KATADATA

Apa dan bagaimana sebetulnya permasalahan ekosistem riset di Tanah Air?

Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Sofian Effendy mengungkapkan masalah riset di Indonesia menyangkut tiga hal, yakni pendanaan yang minim, belum adanya lembaga perencanaan dan pembiayaan riset dan teknologi, serta sumber daya manusia (SDM).

Permasalahan pertama terkait pendanaan riset, Sofian menjelaskan, masih sangat rendah. Dibandingkan dengan negara-negara seperti Korea Selatan, pendanaan riset di negara itu mencapai 4,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), Jepang 2,5 persen, dan Amerika Serikat 1,5 persen dari PDB. Apalagi di negara-negara itu, sektor swasta juga banyak memberikan kontribusi. 

Di tingkat ASEAN 5, menurut data AIPI, belanja riset Indonesia terendah dibanding lima negara anggota ASEAN lainnya. Rendahnya investasi Indonesia di bidang riset dan pengembangan  itu tercermin dari rendahnya gross expenditure on research and development (GERD) terhadap PDB.   

Fakta menunjukkan bahwa pengeluaran Indonesia untuk kegiatan riset dan pengembangan hanya sebesar 0,08 persen dari PDB. Bandingkan dengan Singapura yang mencapai 2,18 persen, Malaysia 1,26 persen, Thailand 0,48 persen, dan Filipina 0,14 persen terhadap PDB di negara-negara tersebut. Sementara pendanaan riset di Indonesia masih di bawah 1 persen. Pada 2016 misalnya, pemerintah hanya mengalokasikan 0,08 persen dari PDB atau sekitar Rp 24,9 triliun. Itupun sebagian besar habis untuk biaya operasional, seperti gaji pegawai. Bukan untuk dana risetnya sendiri. 

“Idealnya, minimal 1 persen dari PDB. Itu artinya kalau PDB Indonesia Rp 14.800 triliun, ya dana riset dan teknologi Rp 148 triliun per tahun,” kata Sofian. 

Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 meningkatkan alokasi anggaran penelitian menjadi Rp 35,7 triliun serta mengalokasikan Dana Abadi Penelitian senilai Rp 990 miliar. Meskipun demikian, Sofian menilai, Dana Abadi itu masih kurang mencukupi kebutuhan riset jika Indonesia ingin mengejar kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri.

Kondisi itu, Sofian melanjutkan, masih ditambah dengan lembaga-lembaga dan perusahaan-perusahaan di Indonesia yang belum semuanya menyediakan dana riset, karena insentif yang diberikan pemerintah dinilai masih kurang menarik minat. Meski pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2o1o tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, aturan ini belum berjalan pada 26 Juni 2019, hasilnya belum terlihat. 

Sementara negara-negara lain memberikan insentif pajak yang jauh lebih menarik. Perusahaan-perusahaan yang melakukan penelitian bisa mengurangi pengeluarannya dari pendapatan yang kena pajak. Bahkan di Amerika Serikat, kalau ada orang yang mengontribusikan kekayaannya untuk kegiatan filantropi juga bisa mendapatkan insentif pajak. Kegiatan filantropi di negara itu termasuk untuk membiayai riset dan memberikan beasiswa pendidikan.

Sofian mengakui, memang tidak bisa mengharapkan semuanya dibiayai oleh pemerintah, sebab pendapatkan negara memang sangat terbatas. Karena itu, dibutuhkan insentif untuk menggairahkan keinginan sektor swasta mengembangkan riset di Tanah Air. 

Permasalahan kedua, yaitu belum adanya lembaga perencanaan serta pembiayaan riset dan teknologi (ristek), seperti Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Selama ini ada dana besar untuk beasiswa pendidikan yang dikelola LPDP, tapi belum ada lembaga khusus untuk mengelola dana riset. 

“Karena penelitian tidak bisa dikelola seperti pengelolaan anggaran pemerintah yang hanya berlaku untuk satu tahun kerja. Jadi kalau mengikuti siklus perencanaan pemerintah, bulan Januari dan Februari misalnya, belum ada uang. Baru ada dana di bulan Maret. Sementara penelitian kan tidak bisa begitu. Tidak ada penelitian-penelitian yang break-through itu bisa diselesaikan dalam 10 bulan, ini butuh bertahun-tahun,” kata Sofian.

Masalah ketiga adalah SDM. Jumlah SDM peneliti di Indonesia jauh lebih sedikit dari negara-negara lain. Sebab, tak banyak orang yang menjadi peneliti karena tidak bisa hidup hanya dari hasil penelitian saja. Akibatnya, banyak warga negara Indonesia yang memiliki kapasitas untuk menghidupkan riset Indonesia,, malah menjadi peneliti dan bekerja di luar negeri. Di Malaysia misalnya, pemerintah menyediakan anggaran yang lebih besar dari Indonesia, sehingga para peneliti di negara itu bisa benar-benar fokus hanya kepada penelitian saja.

Deputi II Kepala Staf Kepresidenan, Yanuar Nugroho, mengibaratkan kondisi riset di Indonesia seperti anak tiri. Riset di Tanah Air belum menjadi sesuatu yang penting dan menjadi visi bersama. Apalagi riset bisa menjadi basis pembuat kebijakan. Kalaupun ada, perannya masih sangat kecil. 

Di Indonesia, riset terpisah sama sekali antara domain akademik dan intektual dengan kebijakan atau sebaliknya. “Kalaupun ada, riset itu tidak berhubungan, sehingga tidak bisa digunakan juga,” kata anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) ini.

Meskipun masalah ini juga dihadapi negara lain, tapi yang membedakan adalah para pembuat kebijakan di negara-negara lain sudah terpapar tradisi akademik. Para pembuat kebijakan tidak hanya mengeluarkan kebijakan berdasarkan pertimbangan politik saja, tapi juga berdasarkan hasil riset akademik.

Karena itu, Yanuar menegaskan, Indonesia saat ini belum memandang riset sebagai investasi. Dia berharap ke depan, Indonesia bisa sadar bahwa riset itu adalah investasi. “Kita sekarang mendorong investasi dari mana saja, luar negeri maupun dalam negeri. Kita buka karpet merah perizinan, izin-izin dipermudah. Riset juga membutuhkan hal-hal semacam itu.”

Riset sama seperti sektor lainnya yang membutuhkan investasi asing. “APBN kan menghitung berapa yang kita butuhkan untuk membangun. Kita membutuhkan investasi asing untuk masuk kan? Riset juga seperti itu. Yang mau kita kerjakan seberapa banyak, kapasitas peneliti kita ada berapa orang, ilmu kita seberapa, kita butuh mendatangkan mereka masuk.”

Itu mengapa, kata Yanuar, sangat penting untuk melihat ke depan, yakni riset sebagai investment for the future, bukan cost. Riset adalah investment, yang bisa dihitung rate of return-nya.

Bagaimana membuat riset itu sebagai investasi, menurut Research Fellow di bidang inovasi dan perubahan sosial Manchester Institute of Innovation Research, University of Manchester, Inggris ini, ekosistem yang ada harus dibenahi terlebih dahulu. Ekositem itu bukan hanya soal pengembangan riset dan soal dana, tapi menyangkut seluruh ruang hidup, ya menyangkut kelembagaan, SDM, regulasi, dan tata kelola.

Jika Indonesia sudah memandang riset sebagai investasi, maka dengan logika tersebut, negara ini harus bisa membangun iklim investasi yang menarik. Indonesia bisa menarik peneliti-peneliti asing agar bisa belajar dari mereka serta mengundang negara lain untuk berinvestasi di negara ini. Di dalam negeri, juga ditumbuhkan iklim agar minat orang untuk melakukan penelitian bisa tumbuh.

“Tidak berarti saya mengatakan riset sebagai investasi itu hanya untuk menarik pihak asing saja. Bukan itu maksudnya. Yang paling penting adalah iklimnya ini yang harus dibangun, menumbuhkan gairahnya itu yang terpenting,” kata Yanuar.

Foto: Ajeng Dinar Lutfiana| KATADATA

Terkait anggaran riset, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan karena dibagi-bagi ke 52 kementerian dan lembaga, dana yang diberikan pemerintah itu menjadi seperti tidak terasa, tidak mencukupi. 

Apalagi, hanya 43,7 persen dari dana riset itu yang murni digunakan untuk riset. Sisanya, lebih banyak digunakan untuk belanja operasional, belanja modal, dan mendukung jasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Bisa jadi, kata Sri Mulyani, hal ini terjadi karena infrastrukturnya yang tidak ada, sehingga harus mengeluarkan belanja operasional yang lebih besar atau tidak share services yang menyebabkan setiap penelitian harus mengeluarkan biaya operasional sendiri. 

Padahal, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla selama periode 2016 hingga 2019, terus meningkatkan dana untuk riset dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Pada 2016, anggaran riset mencapai Rp 24 triliun, tapi tiga tahun kemudian meningkat menjadi Rp 35,7 triliun.

Alokasi anggaran untuk riset itu merupakan bagian dari anggaran pendidikan yang nilainya juga terus meningkat. Tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 492,5 triliun. Bandingkan dengan anggaran pendidikan pada 2015 sebesar Rp 353,4 triliun.

Selain alokasi anggaran pendidikan dan penelitian yang diberikan melalui kementerian dan lembaga, mulai tahun ini dalam APBN Tahun Anggaran 2019, pemerintah juga memberikan dana riset lewat pos Dana Abadi Riset senilai Rp 990 miliar. Menteri Sri Mulyani menegaskan pemerintah akan kembali meningkatkan dana riset lewat kementerian dan lembaga serta Dana Abadi Riset itu di tahun-tahun yang akan datang.

Bahkan di luar dana riset, pemerintah juga memberikan insentif kepada swasta untuk menyeimbangkan peran swasta agar kontribusi pendanaan riset tidak hanya dari pemerintah. Pasalnya, 86 persen dari total anggaran penelitian di Indonesia didominasi oleh pemerintah. Sementara peranan swasta hanya 10 persen.

Dampak dari Permasalahan Tata Kelola Riset

Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Berry Juliandi mengatakan akibat fungsi dan tata kelola yang tidak maksimal, seringkali terjadi tumpang tindih atau overlapping penelitian dan kadang-kadang itu justru karena kebijakan atau aturan dari pemerintah, bukan kesalahan di lembaganya. 

Berry mencontohkan perguruan tinggi yang seharusnya bergerak di bidang pendidikan penelitian, sekarang juga diminta sampai ke hilir, melakukan inovasi, karena ada kebijakan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Padahal, seharusnya untuk ke arah inovasi itu dikaji dulu di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), kemudian jika sesuai dengan industri, baru masuk ke industri.

“Karena ada kebijakan itu, kadang BPPT menjadi tergoda juga untuk melakukan penelitian. Padahal, BPPT tidak seharusnya melakukan penelitian. Mungkin karena tidak percaya hasil dari perguruan tinggi atau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),” kata Berry dari Departemen Biologi, Fakultas Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas IPB ini.

Menurut Berry, lembaga atau badan penelitian dan pengembangan (litbang) di setiap kementerian itu harus diarahkan untuk mendukung pengambilan kebijakan di kementerian, bukan ke arah hard science yang benar-benar melakukan penelitian. Kecuali untuk beberapa kementerian tertentu, seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan, yang selama ini sudah menjalankan fungsi penelitian.

Foto: Arief Kamaluddin| KATADATA

Selain itu, dampak dari dana penelitian ke litbang-litbang yang dilakukan lewat sistem top-down. tidak melalui kompetisi, mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat. Idealnya, kata Berry, semua stakeholder riset di Indonesia kalau ingin mendapatkan dana penelitian harus kompetitif, sehingga nanti bisa diketahui bidang-bidang ilmu mana yang memang patut didanai dan mana yang tidak.

Skema kompetisi adalah dengan mengajukan proposal yang nanti akan direview oleh tim independen. Setelah lolos, baru mendapat pendanaan. Dengan sistem ini, antar lembaga penelitian atau kementerian atau perguruan tinggi nanti malah bisa saling bekerja sama.

Dengan skema kompetisi ini, Co-Founder & Advisor Center for Innovation Policy and Governance (CIPG) Irsan Pawennei membenarkan, ada pemisahan antara orang yang melakukan aktivitas riset dengan lembaga yang memberikan arah dan pendanaan, sehingga peneliti harus mengajukan proposal. Tidak seperti sekarang, tidak melakukan apa-apa, tapi tetap mendapatkan dana. 

Lewat skema kompetisi nasional, dengan sendirinya nanti akan terjadi mekanisme pasar, peneliti yang tidak perform, tidak akan mendapat dana. Dia bisa beralih menjadi perencana atau analisis kebijakan, karena mungkin memang bukan di situ keahliannya. Mekanisme pasar ini juga akan membuat lembaga penelitian yang tidak perform akan berguguran dengan sendirinya.

Jika ingin menata ekosistem riset di Indonesia, menurut Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho, pertama-tama yang harus dilakukan tentu mengakui bahwa ada masalah di sini. Ibarat orang mau sembuh dari sakit, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengakui kalau sakit. Tidak gampang mengakui bahwa memang ada masalah dalam ekosistem riset ini, mulai soal publikasi, dana riset, output yang dihasilkan tidak memiliki daya saing, dan masih banyak lagi.

Salah satu akibat dari permasalahan riset di Tanah Air, tidak ada satupun perguruan tinggi di negeri ini yang masuk dalam daftar 100 besar universitas terbaik di dunia. Sembilan perguruan tinggi di Indonesia hanya masuk dalam daftar 1.000 universitas terbaik dunia dan hanya tiga di antaranya yang masuk dalam daftar 500 universitas terbaik dunia.

Dalam daftar QS World University Rankings, publikasi tahunan yang dilakukan oleh perusahaan Inggris yang khusus bergerak di bidang pendidikan - Quacquarelli Symonds (QS), posisi tertinggi ditempati Universitas Indonesia di peringkat 296. Diikuti Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Bandung masing-masing di posisi 320 dan 331. 

Rendahnya peringkat perguruan tinggi Indonesia lantaran skor yang rendah. Dua indikator terendah adalah jumlah sitasi paper dalam lima tahun yang bersumber dari Scopus dan proporsi mahasiswa internasional, masing-masing dengan skor 2,4 dan 3,0. Skor ini berbanding terbalik dengan rata-rata skor 10 universitas terbaik dunia, yakni 88,3 dan 84,6.

Foto: Ajeng Dinar Lutfiana | KATADATA

Yanuar mengungkapkan, di era BJ Habibie sejak menjadi Kepala BPPT hingga menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi dan bahkan kemudian menjadi Wakil Presiden dan Presiden RI ke-3, arah riset di Indonesia sangat jelas. Kementerian Negara Riset dan Teknologi serta BPPT berhasil melakukan orkestra dalam tata kelola riset di Indonesia. 

Namun setelah Presiden Soeharto turun, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, BPPT, dan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan riset seperti Dewan Riset Nasional yang waktu itu sangat powerful, ikut runtuh. Riset tidak lagi menjadi hal yang penting. Informasi tentang riset hampir tidak pernah lagi muncul di halaman muka media cetak. 

Karena tidak memiliki arah riset, menurut Yanuar, maka saat ini koordinasi riset menjadi berantakan. Karena itu, diperlukan penataan kembali ekostem riset di Tanah Air. Bukan kembali ke rezim masa lalu, tapi memperbaiki tata kelola riset yang ada.

Yanuar menduga tata kelola riset berantakan ini jangan-jangan juga karena ada persoalan di kebijakan. Bukan di arah kebijakan tapi bisa jadi ada kemungkinan kebijakannya tidak cukup jelas. “Selama ini selalu terjadi perdebatan antara kebijakan atau tata kelolanya yang perlu diperbaiki. Untuk riset, menurut saya, dua-duanya perlu menjadi perhatian,” katanya.

Kondisi Riset di Negara Lain

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, mengatakan negara-negara yang tidak mengembangkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologinya akan tertinggal. 

Namun, pembangunan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi tidak bisa terjadi secara instan. Pembangunan ini merupakan proses panjang dan berkesinambungan yang membutuhkan dukungan sumber daya manusia (SDM) dan finansial yang mencukupi. 

“Pendanaan penelitian yang mencukupi dan berkelanjutan, budaya akademik, dan perangai ilmiah masyarakat merupakan syarat yang diperlukan bagi pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Teguh.

Saat ini posisi Indonesia masih tertinggal bila dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga dalam hal investasi di bidang riset. Pengelolaan kelembagaan riset di sejumlah negara melibatkan berbagai pihak dan ada pemisahan antara fungsi koordinator, invensi, dan inovasi. Praktik tersebut masih berjalan efektif hingga saat ini. Sementara di Indonesia, dengan keberadaan badan riset dan inovasi nasional atau BRIN, belum jelas badan ini nantinya akan berfungsi sebagai apa. 

Jika menengok ke negara lain, Thailand misalnya, di negara itu ada dua lembaga yang didirikan Kementerian Sains dan Teknologi (MoST) untuk menjalankan fungsi invensi dan melakukan inovasi. 

Mengutip Pandangan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) terhadap Isu Kelembagaan, Pendanaan, dan Sanksi Pidana dalam RUU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dirilis pada 2019 (sebelum UU Sisnas Iptek disahkan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah pada 16 Juli 2019), MoST menjadi regulator dan koordinator dalam ekosistem riset di negara itu. Sedangkan fungsi invensi ada pada National Science and Technology Development Agency (NSTDA) sejak 1991.

NTSDA fokus pada promosi sains, pendanaan riset, pengembangan SDM, dan infrastruktur dasar iptek. Lembaga ini membawahi empat pusat riset, yakni rekayasa genetika dan bioteknologi; teknologi metal dan material; teknologi elektronika dan komputer; serta Nanoteknologi. NSTDA juga memiliki pusat manajemen teknologi untuk transfer teknologi serta institut manajemen inovasi untuk pengembangan sumber daya.

Sedangkan fungsi inovasi dilakukan oleh Thailand Institute of Science and Technological Research (TISTR) sejak 1963. TISTR merupakan badan usaha negara di bawah MoST dengan visi mengintegrasikan sains, teknologi dan inovasi untuk menciptakan masyarakat inovasi berbasis inovasi berkelanjutan. Untuk mewujudkan visi tersebut, TISTR bekerja pada ranah pelaksanaan kegiatan riset dan pengembangan, menyediakan analisis dan layanan pengujian, serta melakukan transfer teknologi untuk meningkatkan daya saing nasional. TISTR pun memiliki badan tersendiri untuk membangun hubungan dengan industri.

Lain lagi di China. Ministry of Science and Technology (MoST) berperan sentral dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di negara itu. Tugas utama MoST adalah merumuskan, mengembangkan, dan memastikan pelaksanaan perencanaan dan kebijakan di bidang iptek; merumuskan Program Penelitian Dasar Nasional, Program Litbang Teknologi Tinggi Nasional, dan Program Pengadaan Iptek; melakukan penilaian dan pengawasan pelaksanaan rencana iptek; melaksanakan rencana pemerintah terkait pembangunan infrastruktur dan pembagian sumber daya pembangunan iptek; menyusun kebijakan yang bisa mendorong sinergi antara perusahaan, universitas, dan institut dalam mengembangkan dan memanfaatkan iptek (mendorong invensi dan inovasi); serta menentukan anggaran, audit, dan pengawasan penggunaan dana litbang.

Pemerintah China menggabungkan fungsi invensi dan inovasi dalam satu organisasi, yaitu Chinese Academy of Sciences (CAS). Berdiri sejak 1949, CAS menjadi institusi akademik terbesar di China yang membawahi 124 institusi, terdiri dari pusat riset, perguruan tinggi, perusahaan, dan mitra asing.

Lembaga-lembaga tersebut terbagi memiliki empat gugus tugas, yakni pengembangan riset dasar (center of excellence); pengembangan potensi inovasi komersial (innovation academies); pengembangan fasilitas riset skala besar untuk mendorong kolaborasi (center of big science); dan institusi dengan karakteristik lokal. 

CAS berperan sebagai think-tank, lokomotif inovasi teknologi, pengembangan sains, dan teknologi bagi pembangunan nasional, serta pengembangan kapasitas talenta bidang sains dan teknologi.

Menurut Pandangan AIPI tentang Penguatan Kelembagaan Pendanaan Riset yang dirilis pada 2017, fakta menunjukkan bahwa negara maju dengan pendapatan per kapita tinggi adalah negara yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap perekonomian khususnya tingkat kesejahteraan yang diukur dari pendapatan per kapita.

Keberhasilan beberapa negara berkembang di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura melakukan transformasi dari negara berkembang menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita tinggi ditandai oleh tingginya kontribusi total factor productivity (TFP) dalam perekonomian negara tersebut. TFP merepresentasikan perubahan atau dinamika teknologi terhadap peningkatan produktivitas perekonomian.

Foto: Ajeng Dinar Lutfiana | KATADATA

Peningkatan TFP tercipta ketika terjadi inovasi secara berkelanjutan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dari hasil riset dan pengembangan. Perekonomian dengan kontribusi TFP yang tinggi adalah perekonomian berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based economy).

SDM, khususnya tenaga peneliti berada pada posisi sentral di dalam peningkatan produktivitas perekonomian berbasis ilmu pengetahuan. Kontribusi TFP dalam perekonomian Indonesia juga terendah dibandingkan lima negara anggota ASEAN lainnya (Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina). 

Kontribusi TFP Indonesia yang rendah ini terefleksikan dari rendahnya jumlah publikasi ilmiah pada jurnal internasional dan jumlah perolehan US Patents di kawasan ASEAN 5.

Padahal di tingkat global, menurut AIPI, tuntutan serta cakupan hasil riset dan inovasi yang dibutuhkan makin besar untuk menjawab berbagai tantangan. Perkembangan di Amerika Serikat dan Eropa sebagai episentrum kegiatan riset global menunjukkan bahwa kegiatan riset ke depan semakin sulit untuk bisa meraih kemajuan yang berarti tanpa melakukan kolaborasi, baik pada tingkat nasional maupun internasional.

Di negara-negara maju, kolaborasi riset multidisiplin di lingkungan internal perguruan tinggi/lembaga riset sudah merupakan keharusan, kolaborasi antar perguruan tinggi/lembaga riset sudah merupakan hal yang biasa dan kolaborasi internasional yang terus meningkat sudah merupakan bagian dari strategi perencanaan riset. Dengan arah perkembangan ini maka kini motto penyelenggaran riset adalah ‘collaborate if we can and compete if we must’.

Manfaat berkolaborasi dalam kegiatan riset antara lain mulai dari berbagi SDM, teknologi, laboratorium dan peralatan sampai meningkatkan peluang pendanaan serta meningkatkan peluang keberhasilan dalam meraih hasil riset yang berkualitas sesuai dengan outcome yang diharapkan.

Tata Kelola dan Kelembagaan Riset

Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Rini Widyantini mengungkapkan berdasarkan aturan memang ada kementerian dan Lembaga yang melaksanakan fungsi penelitian dan pengembangan untuk kepentingan kementerian dan lembaga itu sendiri. 

Namun, Rini mengakui, tata kelola riset antarkementerian dan lembaga itu belum terkait satu sama lain. Belum ada sinergi melakukan riset untuk kepentingan nasional. Kementerian Pertanian misalnya, memiliki badan penelitian dan pengembangan (litbang) membuat kajian di bidang pertanian untuk kepentingan pengembangan kementerian. 

Begitu pula lembaga-lembaga lainnya, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), atau Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Lembaga-lembaga ini melakukan penelitian yang tidak dikaitkan dengan kementerian, sehingga tidak ada keterkaitan fungsi kelitbangan antara satu instansi dengan instansi lainnya.

Belum lagi, menurut Rini, jika dikaitkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta perguruan tinggi yang juga melakukan kajian-kajian atau penelitian. “Kementerian-kementerian itu kan output-nya adalah kebijakan. Tapi yang terjadi adalah kementerian lebih banyak disibukkan dengan manajemen kebijakan. Padahal, kebijakan itu bisa sangat terkait dengan kepentingan pemerintah daerah,” kata Rini.

Dia memberikan gambaran, Kementerian Kelautan dan Perikanan misalnya, saat melakukan penelitian tentang udang, sebenarnya tidak hanya bisa digunakan untuk kepentingan mengeluarkan kebijakan, tapi bisa juga untuk pemerintah daerah. 

Sebaliknya, pemerintah daerah semestinya juga memiliki litbang, sebab segala kebijakan seharusnya berdasarkan kajian terlebih dahulu. Kelitbangan memang diperlukan sebagai evidence-based policy. Tidak hanya antarinstasi pemerintah, hasil penelitian itu seharusnya juga bisa digunakan untuk kepentingan swasta atau industri.

Foto: Arief Kamaluddin | KATADATA

Sebenarnya, menurut Rini, dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) sudah disebutkan bahwa pemerintah wajib menyusun prioritas riset nasional. Namun, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), saat ini dalam Kabinet Indonesia Maju menjadi Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN, sendiri tidak memiliki kewenangan untuk menentukan litbang apa saja yang diperlukan di tiap kementerian.

“Padahal sebetulnya kalau secara nasional, Kemenristekdikti ini justru yang paling bertanggung jawab terhadap riset, sehingga perlu diberikan power kepada Kemristekdikti agar bisa menjadi koordinator riset. Jadi, supaya sinergis antara riset satu dengan riset lainnya,” ujarnya. “Riset harus menjadi branding bersama atas nama Indonesia, sehingga harus ada satu tujuan.” 

Saat menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), kementerian dan lembaga harus duduk bersama menyampaikan apa yang akan mereka lakukan, sehingga tidak terjadi duplikasi penelitian antarlitbang kementerian atau lembaga. Tapi karena selama ini saat pembuatan RPJM masing-masing tidak duduk bersama agar bisa terjadi mix and match, makanya seringkali terjadi duplikasi dan tidak ada koordinasi.

Menurut Rini, Indonesia tidak bisa begitu saja mencontoh keberhasilan negara lain dalam membangun ekosistem riset nasional. Sebab, setiap negara memiliki sistem, peraturan perundangan, dan anggaran yang berbeda-beda. 

Untuk menuju ekosistem riset yang ideal, yang paling penting adalah membangun ekosistem kelitbangan itu. Kalau berbicara tentang ekosistem pemerintah dan kelitbangan misalnya, tentu saja yang pertama-tama perlu dibangun adalah siapa atau pihak mana yang paling bertanggung jawab untuk melangsungkan fungsi itu. Kedua, pihak-pihak mana yang membutuhkan hasil litbang itu. Lalu, bagaimana dengan peras swasta.

Dalam ekosistem kelitbangan itu adalah bagaimana suatu kementerian bertanggung jawab untuk menjahit dari mulai perencanaan, penganggaran, dan kelitbangan dalam satu kesatuan.

 “Jadi sebetulnya para menteri yang melaksanakan urusan pemerintah di bidang riset itulah yang menjadi koordinator di bidang riset ini. Nah, pada saat dia mengoordinasikan itu, dia harus mampu mengkoordinasikan kementerian dan lembaga yang akan melaksanakan fungsi-fungsi kelitbangan. Artinya dia harus mampu menghubungkan antara kebutuhan kementerian dan lembaga satu sama lain untuk mengeluarkan kebijakan. Saya tidak tahu apakah ini yang paling ideal, tapi untuk saat ini yang paling dibutuhkan pemerintah kita adalah bagaimana mengintegrasikan sistem kelitbangan secara terpadu,” kata Rini.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Kabinet Indonesia Kerja, Mohamad Nasir, berharap melalui Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) dan dengan adanya lembaga pengembangan pengkajian dan penerapan, yang disingkat Litbangjirap, akan menghasilkan invensi dan inovasi yang bermanfaat bagi industri dan masyarakat sehingga anggaran riset menjadi efektif.

Selama ini, menurut Nasir, ada beberapa hal yang menghambat riset dan inovasi di Indonesia. Koordinasi antar lembaga yang ada kurang, sehingga terjadi tumpang tindih antara riset satu dengan riset yang lain. Akibatnya, berdampak pada terhambatnya riset dan inovasi di Indonesia. Selain itu, terjadi ketidaksinkronan antara riset dengan dunia industri.

"Semua inovasi harus link dengan industri, bukan lagi dengan supply side, tapi harus dilihat dari demand side. Industri butuh apa, kita harus melakukan itu," kata Nasir, seperti dikutip Tempo, Selasa, 30 Juli 2019.

Nasir menambahkan setelah UU Sisnas Iptek keluar, akan muncul badan riset dan inovasi nasional (BRIN). Badan ini nanti akan mengoordinasi dan mensinergikan riset yang ada di kementerian dan lembaga riset.

Foto: Ajeng Dinar Lutfiana | KATADATA

Center for Innovation Policy and Governance (CIPG) juga menilai bahwa selama ini fungsi yang paling dibutuhkan dalam ekosistem riset di Tanah Air adalah fungsi arah riset dan pendanaan riset. Co-Founder & Advisor CIPG Irsan Pawennei menekankan BRIN nanti bisa berfungsi sebagai koordinator dan fasilitator. 

Dengan adanya Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2018, arah riset sudah jelas dan dasar hukumnya juga sudah bagus. Tinggal fungsi pendanaan dan masalah pendanaan ini harus menyeluruh. Karena itu, BRIN harus bisa berfungsi seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang melekat dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) untuk melakukan sinergi perencanaan dan penganggaran bidang riset. 

Untuk itu, perangkat perundangan harus disiapkan untuk memastikan fungsi sinergitas perencanaan dan penganggaran ini dapat berjalan.

Selain itu, dalam BRIN nanti sebaiknya ada beberapa direktorat jenderal yang menangani klaster-klaster bidang keilmuan. Direktorat-direktorat jenderal ini nanti yang akan memetakan siapa saja yang memiliki penelitian dan pengembangan (litbang) bidang riset strategis dan prioritas nasional. BRIN nanti yang akan berfungsi sebagai koordinator.

Dari segi pendanaan, Irsan menyarankan dilakukan melalui skema kompetisi nasional, tidak seperti sekarang. Kalau sekarang, semua balai penelitian pasti akan mendapat uang, entah itu besar atau kecil. Peneliti-peneliti kecil juga akan dapat meskipun tidak kompeten. Dengan adanya skema kompetisi nasional, ada pemisahan antara orang yang melakukan aktivitas riset dengan lembaga yang memberikan arah dan pendanaan, sehingga peneliti harus mengajukan proposal.

Dengan adanya BRIN, menurut Irsan, lembaga-lembaga penelitian perlu ditetapkan dan diukur kinerjanya. Lewat skema kompetisi nasional, dengan sendirinya nanti akan terjadi mekanisme pasar. Lembaga yang tidak kompeten tidak mendapat dana. 

Kesimpulan

Untuk menyelesaikan permasalahan ekosistem riset di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan kelembagaan, pendanaan, dan sumber daya manusia (SDM) berbagai kalangan memberi catatan khusus. Namun, yang terpenting adalah riset harus menjadi visi bersama semua pemangku kepentingan atau stakeholder. 

Sama seperti sektor-sektor lainnya, riset juga membutuhkan investasi, baik investasi dari dalam negeri maupun luar negeri atau asing. Untuk menumbuhkan iklim investasi riset yang kondusif, maka sektor riset juga membutuhkan insentif. Riset harus dilihat sebagai investasi di masa depan, bukan untuk menghamburkan uang.

Apalagi dengan telah disahkannya Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (RUU Sisnas Iptek) menjadi undang-undang (UU) dan lewat UU itu akan dibentuk badan riset dan inovasi nasional atau BRIN, diharapkan ekosistem riset di Tanah Air akan menjadi jauh lebih baik.

  • Kelembagaan

Sebagai kementerian yang bertanggung jawab atas penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan (Kemenristekdikti) sebelumnya tidak memiliki wewenang untuk melakukan fungsi koordinasi dengan balai atau badan penelitian dan pengembangan (Balitbang) kementerian/lembaga (K/L) serta lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) lain di luar koordinasi mereka. Perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil kegiatan litbang dilakukan di internal K/L. Tak heran, jika kemudian terjadi tumpang tindih. Belum lagi, mekanisme evaluasi belum melihat pemanfaatan dana dari hasil dan keluaran litbang.

Untuk menjawab permasalahan itu, BRIN haruslah merupakan lembaga yang memiliki power untuk melaksanakan fungsi koordinasi perencanaan, program, dan anggaran secara transparan dan akuntabel. 

BRIN nantinya bisa menjalankan fungsi membuat perencanaan; menyusun dan menetapkan anggaran seperti yang dilakukan Bappenas bersama Kementerian Keuangan; serta melakukan pengawasan atau evaluasi dalam ekosistem riset nasional.

BRIN bukanlah pelaksana riset oleh karena akan mempengaruhi proses pengawasan dan evaluasi. Selain itu, BRIN juga harus memiliki fungsi strategis menetapkan arah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mencapai pembangunan nasional.

  • Pendanaan

Pendanaan riset di Indonesia masih sangat rendah. Di tingkat ASEAN 5 saja, belanja riset Indonesia terendah dibanding lima negara anggota ASEAN lainnya. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya.

Rendahnya investasi Indonesia di bidang riset dan pengembangan itu tercermin dari rendahnya gross expenditure on research and development (GERD) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Belanja riset di Indonesia masih berada di bawah 1 persen dari PDB, sementara idealnya di atas itu.  

Karena itu, terlepas dari fungsi koordinasi BRIN, lembaga penelitian dan pengembangan (litbang), Lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), dan kementerian dan lembaga (K/L) tetap memiliki otoritas untuk pemenuhan kegiatan spesfik bidang selaras pembangunan nasional. Namun, dengan pengkuran kinerja lembaga litbang yang jelas. Sedangkan litbang yang tidak memiliki fungsi penguasaan dan pengembangan iptek menjadi unsur pendukung fungsi menyusun kebijakan di bawah perencanaan dan anggaran direktorat jenderal di lingkup K/L masing-masing. 

Mekanisme pendanaan sebaiknya juga tidak menggunakan sistem pengadaan yang cenderung kaku, tidak fleksibel dan tidak sesuai karakteristik kegiatan litbang. 

Begitu pula kemampuan untuk memberikan dana di luar skema anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) menjadi penting bagi peran pendanaan BRIN.

Selain itu, karena pemerintah tidak bisa sepenuhnya diharapkan bisa mendanai sepenuhnya sektor riset, maka tidak ada pilihan lain kecuali mengundang swasta dan investor asing untuk ikut terlibat. Caranya, dengan memberi insentif semenarik mungkin agar swasta dan investor asing mau mendanai proyek-proyek penelitian di Tanah Air.

  • Sumber Daya Manusia (SDM)

Jumlah SDM riset di Indonesia kecil dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Tidak banyak orang yang memilih jalur sebagai peneliti, antara lain karena gaji sebagai seorang peneliti belum dihargai seperti profesi lainnya.

Ekosistem riset yang ada sekarang, juga tidak membuat para peneliti bisa bersaing secara sehat. Dengan sistem pemberian dana dari pemerintah ke kementerian atau ke lembaga penelitian seperti saat ini, kementerian atau lembaga penelitian yang tidak kompetitif pun tetap akan kebagian dana meskipun hasil penelitiannya tidak berkualitas. Begitu pula para peneliti hanya melakukan pekerjaannya untuk memenuhi kewajiban saja.

Karena itu, diperlukan ekosistem riset yang sifatnya kompetitif, ada proses seleksi untuk pemberian dana riset. Tidak bisa sembarangan lagi dana riset jatuh ke kementerian, lembaga, atau peneliti tanpa proses seleksi yang ketat. Hanya penelitian yang berkualitas saja yang berhak mendapatkan dana. Begitu pula insentif riset dari hulu ke hilir, dalam riset dasar maupun terapan, hanya diberikan untuk yang paling berkualitas, inovatif, dan lain sebagainya. Pembinaan terhadap jabatan fungsional peneli perlu mendepankan aspek kualitas. (*)