Sektor Usaha Andalan yang
Memukul Kinerja Grup Astra
Nazmi Haddyat Tamara
PT Astra International Tbk (ASII) mencatatkan penurunan laba sepanjang semester I 2019. Sektor andalan seperti otomotif, alat berat, dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) melemah. Hanya sektor jasa keuangan yang masih tumbuh positif dan menopang kinerja Grup Astra.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang dirilis pekan lalu, pendapatan bersih Astra sepanjang semester I 2019 sebesar Rp 116,1 triliun atau tumbuh 3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, beban pokok pendapatan, beban penjualan, biaya keuangan, dan beberapa pos lain juga naik.
Dari sisi beban, beban pokok pendapatan mencapai Rp 91,7 triliun, naik 2,71% secara tahunan. Beban penjualannya sebesar Rp 4,73 triliun, naik 3,21%. Biaya keuangannya Rp 2,17 triliun, naik hingga 72,5%. Alhasil, dengan kenaikan tersebut, laba periode berjalan Grup Astra turun 6,77% dibanding tahun lalu menjadi Rp 12,3 triliun.
Penurunan laba Grup Astra secara konsolidasi tak terlepas dari melemahnya beberapa sektor usaha yang dijalankan. Bahkan, pelemahan ini dialami oleh beberapa sektor andalan yang menyumbang pendapatan dalam porsi besar.
Jika ditelisik berdasarkan segmentasi usaha, penurunan pendapatan bersih terjadi pada segmen otomotif, agribisnis, dan teknologi informasi. Sementara itu, segmen yang masih mencetak pertumbuhan pendapatan adalah alat berat, jasa keuangan, infrastruktur, dan properti.
Segmen otomotif yang menyumbang 43% pendapatan Astra, pada semester I 2019 menurun 1,81% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Otomotif hanya mencatatkan Rp 50,3 triliun pada pos pendapatan bersih. Selanjutnya, bisnis alat berat dan komoditas tambang Astra yang dimotori oleh PT United Tractors Tbk (UNTR) membukukan pertumbuhan pendapatan sebesar 11,23% menjadi Rp 43,3 triliun. Segmen ini berada di posisi kedua dengan kontribusi 43,37% dari total pendapatan Grup Astra.
Di luar kedua segmen utama tersebut, jasa keuangan dan agribisnis berada di tempat selanjutnya dengan masing-masing porsi sebesar 8,64% dan 7,34%. Pendapatan jasa keuangan masih tumbuh sebesar 4,65%. Namun, segmen agribisnis menurun 5,49% dibandingkan semester I 2018.
Meski masih dapat mencatat pertumbuhan pada pendapatan bersih, laba dari masing-masing segmen usaha Astra menurun. Secara umum, hanya jasa keuangan dan infrastruktur yang labanya meningkat signifikan, masing-masing sebesar 30,11% dan 146,43%. Namun, kenaikan tinggi pada segmen infrastruktur hanya menyumbang sebagian kecil dari laba secara konsolidasi.
Otomotif, alat berat, dan komoditas tambang, serta agribisnis ketiganya mencatatkan penurunan laba masing-masing sebesar 17,26%; 1,61%; dan 93,5%. Agribisnis mengalami penurunan paling tajam dibandingkan segmen operasi yang lainnya.
Dengan kondisi di atas, laba bersih Grup Astra turun 5,6% pada semester I 2019 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada periode pertama tahun ini, Astra mengantongi laba bersih senilai Rp 9,8 triliun dibandingkan Rp 10,38 triliun pada 2018.
Setelah dikurangi laba yang diatribusikan kepada non-pengendali, laba bersih yang diterima Grup Astra paling besar disumbang oleh segmen otomotif dengan porsi 35,27%. Tercatat, laba bersih dari segmen ini turun hampir 18% menjadi Rp 3,5 triliun. Pemicunya adalah penurunan volume penjualan mobil dan peningkatan biaya material pada aktivitas manufaktur. Padahal, penjualan kendaraan roda dua Astra dan komponen otomotif, mengalami kinerja yang positif.
Berdasarkan data yang dikutip dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil Astra sepanjang Januari-Juni 2019 turun 6% menjadi 253 ribu unit. Penurunan ini terjadi hampir di setiap bulan pada 2019. Sementara itu, penjualan mobil secara nasional juga turun 13% menjadi 482 ribu unit. Dengan hasil tersebut, pangsa pasar Astra meningkat dari 48% menjadi 53%.
Di sisi lain, berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), penjualan sepeda motor Honda Astra meningkat 8% menjadi 2,4 juta unit. Adapun penjualan sepeda motor secara nasional hanya tumbuh 7% menjadi 3,2 juta unit.
Anak usaha Astra yang bergerak di bisnis komponen otomotif, PT Astra Otoparts Tbk (AUTO), mencatatkan peningkatan laba bersih sebesar 19% menjadi Rp 246 miliar. Kinerja positif ini didorong oleh kenaikan pendapatan dari segmen pasar suku cadang pengganti (REM/replacement market) dan ekspor.
Bergeser pada segmen operasi alat berat, pertambangan, konstruksi, dan energi, laba bersihnya meningkat sebesar 1,52% menjadi Rp 3,3 triliun. Segmen ini berada di tempat kedua dengan menyumbang 34% laba untuk Grup Astra.
Peningkatan ini disebabkan oleh kontribusi dari kegiatan operasional tambang emas yang baru beroperasi pada 2019. Hal positif juga terjadi pada usaha mesin konstruksi dan kontraktor pertambangan khususnya pada penjualan dan penyewaan alat berat.
Namun, peningkatan pendapatan dan laba United Tractors tertahan oleh harga komoditas batu bara yang melemah sepanjang 2019. Setidaknya, harga batu bara sudah turun sekitar 18% sejak awal tahun.
Penurunan ini berdampak langsung pada aktivitas penambangan batu bara yang dijalankan oleh United Tractors. Pada pos ini, terjadi penurunan laba sebelum pajak sebesar 20% menjadi Rp 1,28 triliun, padahal tahun lalu perseroan dapat mencetak laba hampir Rp 1,6 triliun.
Setali tiga uang, harga komoditas sawit yang mengalami tren penurunan pada 2019 juga memukul salah satu segmen operasi Astra. Segmen agribisnis hanya menyumbang laba bersih sebesar Rp 35 miliar atau turun drastis sebesar 94%. Padahal, segmen ini pada tahun lalu dapat menyumbang Rp 625 miliar.
Harga komoditas sawit yang melemah 18% sepanjang tahun menjadi faktor utama. Padahal volume penjualan minyak kelapa sawit dan produk turunannya, meningkat sebesar 19% menjadi 1,2 juta ton pada 2019.
Dengan berbagai kondisi tersebut, alhasil hanya jasa keuangan yang dapat menyumbang laba positif bagi Grup Astra. Laba pada segmen ini meningkat 31,61% menjadi Rp 2,8 triliun dan menyumbang 28% dari total laba keseluruhan yang diterima Astra.
Dalam keterangan resminya, Presiden Direktur Astra International Prijono Sugiarto mengatakan, kinerja Grup Astra pada semester pertama tahun 2019 dipengaruhi oleh lesunya konsumsi domestik dan tren penurunan harga-harga komoditas. Namun, perusahaan juga diuntungkan oleh peningkatan kinerja bisnis jasa keuangan dan kontribusi dari tambang emas yang baru diakuisisi.
"Prospek hingga akhir tahun ini masih menantang karena kondisi-kondisi tersebut dapat berlanjut," kata Prijono.
Kinerja fundamental perusahaan yang melemah berpengaruh pada pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Perusahaan dengan kode saham ASII ini berada pada level Rp 6.900 per lembar saham. Angka tersebut telah turun 16% sepanjang 2019.
Mengutip data RTI, harga saham saat ini memiliki nilai PER sebesar 14,26x dan PBV sebesar 1,58x. Nilai PER (Price Earning Ratio) biasanya digunakan untuk membandingkan harga saham dengan kemampuan perusahaan dalam mencetak laba. Sedangkan PBV (Price to Book Value) adalah rasio harga saham dibandingkan nilai bukunya.
Secara historis, nilai PER Astra berada pada 13,5x (2018) dan 15,6x (2017), sedangkan untuk PBV berada pada 3,2x (2018) dan 2,6x (2017). Dengan melihat data tersebut, sekilas harga saat ini terbilang undervalue atau di bawah harga wajar.
Mengutip riset yang dikeluarkan J.P. Morgan, saham ASII saat ini berada pada rating overweight. Artinya, saham ini diperkirakan akan naik lebih tinggi dibandingkan saham lain sekelasnya. Riset ini juga merekomendasikan beli saham ASII dengan target harga Rp 8.200.
Selain itu, riset lainnya dari Deutsche Bank, Ciptadana Sekuritas, dan Kresna Sekuritas juga merekomendasikan investor untuk membeli saham ini dengan target harga masing-masing di kisaran Rp 8.200 hingga Rp 8.600 per lembar saham.
***