Menakar Daya Pikat Investasi Indonesia
Safrezi Fitra
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaruh perhatian cukup besar pada peningkatan investasi di pemerintahan periode keduanya. Dia membentuk kementerian khusus yang mengurusi soal investasi. Bahkan, dia menunjuk Luhut Binsar Panjaitan untuk mengkoordinasikan kementerian tersebut.
Bukan tanpa sebab Jokowi mengambil langkah. Dalam lima tahun pemerintahannya di periode pertama, dia belum mampu mendongkrak laju investasi. Investor sepertinya masih ragu menanamkan uangnya di Indonesia.
Awal September lalu, perwakilan Bank Dunia (World Bank) menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana. Mereka memberitahukan sebanyak 33 industri merelokasikan pabriknya dari Tiongkok. Namun, tak satu pun yang melirik Indonesia. Mereka malah merelokasikan pabriknya ke negara-negara tetangga seperti Malaysia, hingga Vietnam.
Hal ini membuat Jokowi geram dan menegur para menterinya. “Tidak ada yang ke Indonesia. Tolong ini digaris bawahi. Hati-hati, berarti kita punya persoalan yang harus kita selesaikan,” ujar Jokowi saat rapat Kabinet di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (3/9). Makanya dalam pemerintahan periode kedua ini dia ingin ada fokus pemerintah dalam meningkatkan laju investasi.
Tak hanya Tiongkok yang terkena dampak perang dagang dengan Amerika Serikat, gejolak demonstrasi di Hongkong pun membuat para investornya di lembaga keuangan mengalihkan asetnya. Sebanyak Rp 56 triliun aset investor yang awalnya ditaruh di Hongkong mulai dialihkan ke Singapura. Lagi-lagi, tak sepeser pun yang masuk ke Indonesia. Ada apa dengan Indonesia, hingga investor asing malas menanamkan uangnya di Tanah Air?
Laju Investasi Asing Lambat
Sepanjang lima tahun pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla, kinerja bidang investasi belum optimal. Berbagai perbaikan yang dilakukan pemerintah belum berdampak, laju investasi asing cenderung melambat bahkan sempat turun.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi asing yang masuk ke Indonesia bergerak lambat dalam lima tahun terakhir. Pada 2014, total dana investor asing sudah mencapai US$ 28,5 miliar. Sempat mencapai US$ 32,1 miliar pada 2017, tapi kembali turun pada tahun lalu.
Minat investor asing menanamkan modalnya malah surut dengan realisasi investasi yang menurun pada 2018. Ironisnya, penurunan ini terjadi saat pemerintah meluncurkan sistem perizinan usaha secara online melalui OSS (Online Single Submision). Sistem ini dianggap mempermudah proses perizinan investor berusaha di Indonesia.
Peringkat Daya Saing Indonesia Turun
Landainya laju investasi menunjukkan minat investor menanamkan modalnya ke Indonesia masih rendah. Apalagi, peringkat daya saing Indonesia turun. Dalam laporan Global Competitiveness Index (GCI) 2019 yang baru dirilis World Economic Forum (WEF) turun Indonesia turun lima peringkat dari posisi 45 ke 50 dari 141 negara. Tak hanya penurunan peringkat, skor daya saing Indonesia juga turun meski tipis 0,3 poin ke posisi 64,6.
Dari sembilan negara ASEAN, hanya Indonesia dan Filipina yang skor daya saingnya turun. Delapan negara lainnya malah naik. Berdasarkan daftar tersebut, Indonesia makin tertinggal jauh dari Singapura yang menempati posisi pertama. Bahkan dari Malaysia dan Thailand yang sebenarnya juga turun masing-masing dua peringkat tetapi mash diposisi 27 dan 40.
Pada 2014, sebenarnya peringkat daya saing Indonesia sudah ada di peringkat 34. Setelah itu kembali turun hingga mencapai peringkat 50 pada tahun ini. Saat masih menjabat Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro pernah mengatakan merosotnya peringkat Indonesia perizinan investasi yang terlalu rumit. "Itu lebih karena regulasi yang terlalu rumit dan institusi yang disusun pemerintah, terutama yang masih belum terlalu ramah investasi," ujar Bambang saat ditemui di Hotel Fairmont, Rabu (9/10/2019).
WEF dalam World Competitiveness Report 2018 mengungkapkan butuh waktu 25 hari untuk mengurus perizinan investasi di Indonesia. Sementara lama pengurusan izin di Malaysia dan Vietnam relatif lebih singkat dibandingkan di Indonesia.
Belum lagi proses yang harus dilalui untuk mendapatkan izin di Indonesia ada 11 prosedur. Jumlah tersebut lebih banyak dari rata-rata negara Asia Tenggara lainnya yang hanya 8,6 prosedur.
Bank Dunia (World Bank) pun mengungkapkan hal yang sama. Proses perizinan di Indonesia cukup rumit, bahkan bisa menghabiskan waktu satu tahun. Jauh dibandingkan Vietnam dan Thailand yang bisa selesai dalam dua bulan.
Selain perizinan, World Bank mengungkapkan ada sederet permasalahan yang tidak mendukung iklim investasi Indonesia, seperti proses impor yang sulit dan segudang aturan yang tumpang tindih. Makanya, banyak investor enggan menanamkan modalnya Tanah Air. Dalam laporan Bank Dunia berjudul “Global Economic Risk and Implications for Indonesia”, negara kepulauan ini dinilai berisiko, rumit, dan tak kompetitif. Regulasi pun tidak terprediksi, inkonsisten, dan saling bertentangan.
Penghambat Investasi Asing Masuk ke Indonesia
Wakil Ketua Umum Bidang Moneter, Fiskal, dan Kebijakan Publik Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Indonesia Raden Pardede mengatakan banyak investor global yang belum melirik Indonesia sebagai negara tujuan investasi. Bahkan, beberapa investor pun baru saja mencabut investasinya, seperti Pepsi dan Holcim Lafarge atau Saudi Aramco yang kemungkinan batal membangun kilang di Tanah Air.
Berbeda dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, atau Filipina, yang mampu menarik minat investor. Hal ini lantaran iklim investasi di Indonesia dinilai kurang bersahabat dengan investor. “Ini sebetulnya masih permasalahan klasik, iklim dan lingkungan investasi kita belum mendukung capaian investasi,” ujarnya.
Adapun iklim investasi yang kurang kondusif ini disebabkan masalah regulasi yang rumit dan tidak harmonis antara pusat dan daerah. Sementara, sistem perizinan berusaha secara elektronik (OSS) belum mampu menjawab masalah ini. Sehingga menyebabkan ketidakpastian terhadap dunia usaha.
Menurut kajian WEF, maraknya korupsi merupakan penghambat utama investasi di Indonesia. WEF menempatkan korupsi dengan skor tertinggi, yaitu sebesar 13,8 sebagai faktor utama penghambat investasi di Indonesia. Hal tersebut lantaran maraknya praktik suap, gratifikasi, favoritisme, dan pelicin yang dilakukan sejumlah oknum, terutama dalam pengurusan perizinan.
Investor menilai praktik korupsi dapat memunculkan persaingan tidak sehat, distribusi ekonomi yang tidak merata, tingginya biaya ekonomi, memunculkan ekonomi bayangan, menciptakan ketidakpastian hukum, dan tidak efisiennya alokasi sumber daya perusahaan.
***