ANALISIS DATA

Menghitung Waktu Tepat Memasuki New Normal

Andrea Lidwina

30/05/2020, 09.00 WIB

Ilustrasi: Joshua Siringoringo

Wacana pelonggaran pembatasan sosial di sejumlah daerah di Indonesia semakin menguat. Pemerintah pun sudah menyusun rencana aktivitas hidup dan kegiatan usaha dengan kebiasaan baru (new normal) di tengah pandemi Covid-19. Apakah ini waktu yang tepat untuk "berdamai" dan hidup "bersama" Covid-19?


  • Line Chats

Masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah akan berakhir pada pekan pertama dan kedua Juni nanti. Kebijakan untuk meredam penyebaran pandemi Covid-19 sejak awal April lalu itu kemungkinan tak diperpanjang. Ini sejalan dengan rencana pemerintah menghidupkan kembali aktivitas masyarakat dan kegiatan usaha dengan kebiasaan baru (new normal). Kebijakan ini ditempuh di tengah belum redanya penyebaran virus dan ancaman gelombang kedua pagebluk.

Diawali oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yang mulai menyusun skenario new normal. Ada lima fase pemulihan ekonomi yang dirancang untuk mulai dijalankan pada 1 Juni 2020. Fase itu terdiri dari pembukaan mal dan tempat wisata, kegiatan di sekolah dan tempat ibadah, serta penyelenggaraan acara yang melibatkan banyak orang.

Di luar itu, pemerintah telah membuka operasional moda transportasi antarwilayah sejak 7 Mei. Masyarakat dapat bepergian asalkan memiliki surat dinas dan hasil tes negatif Covid-19.

Namun apakah sekarang waktu yang tepat untuk melonggarkan pembatasan, termasuk untuk memulai masa new normal? Kami bertanya kepada Pandu Riono, epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, mengenai indikator suksesnya pelaksanaan PSBB.

Sekurangnya ada tiga indikator yang mesti dilihat untuk menimbang keberhasilan PSBB. Pertama, tren kasus positif. Kedua, kapasitas tes. Ketiga, kasus pasien dalam pengawasan (PDP).

Selain ketiga indikator tersebut, kami menambahkan dua indikator lain yakni tingkat kematian pasien PDP dan tren kasus di luar Jakarta.

Kami mengukur perkembangan kasus virus corona di DKI Jakarta karena wilayah ini merupakan episentrum pandemi Covid-19 di Indonesia. Hingga 20 Mei ada 6.236 kasus positif di ibu kota atau 32 persen dari total kasus nasional.

Jakarta juga menjadi daerah pertama yang menerapkan PSBB. Di sisi lain, penerapan tiap-tiap daerah mengalami tren kasus yang berbeda, selain tidak semuanya menerapkan PSBB.

Kasus Baru Masih Fluktuatif

Sejak penerapan PSBB, angka reproduksi atau effective reproduction number (Rt) Covid-19 di DKI Jakarta sudah menunjukkan penurunan. Pada pertengahan Maret, angka reproduksi tercatat hampir mencapai 4. Ini berarti setiap satu orang terinfeksi bisa menulari empat orang lainnya.

Hasil evaluasi yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dan tim dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI mencatat, angka tersebut turun menjadi 1,11 pada 17 Mei atau sebulan setelah penerapan PSBB.

Meski trennya penularannya menurun, tetapi jumlah kasus positif per hari masih fluktuatif. Misalnya, pada 21 April sebanyak 167 kasus turun menjadi 65 kasus pada 26 April. Namun, jumlahnya kembali naik dan terus berfluktuasi hingga pekan kedua Mei ini. Bahkan, ada 182 kasus baru pada 10 Mei, tambahan kedua tertinggi di Ibu Kota sejak awal pandemi.

Penambahan kasus yang naik-turun, menurut Pandu Riono, akibat tidak konsistennya pelaksanaan PSBB. Kepatuhan masyarakat yang sudah mencapai 60 persen pada akhir April, kini mulai tidak efektif lagi. Misalnya, orang-orang berkumpul di depan restoran cepat saji McDonald’s Sarinah, Jakarta Pusat pada hari terakhir operasionalnya. Tidak ada pula aparat keamanan yang membubarkan kerumunan tersebut.

Kapasitas Tes Terbatas

Pandu Riono menilai tren kasus baru yang mengalami perlambatan tetap harus diimbangi dengan jumlah tes. Masih rendahnya kapasitas tes menunjukkan banyak kasus yang belum terdeteksi.

Secara nasional, uji spesimen di DKI Jakarta tercatat paling tinggi, yakni 102,4 ribu sampel hingga 15 Mei. Namun, rasio spesimen positif terhadap total tes (positivity rate) juga masih tinggi sebesar 8 persen. Artinya, satu spesimen terinfeksi bisa ditemukan cukup dengan menguji 13 spesimen.

Karena kapasitas tes terbatas, maka ada tiga hal yang harus diperhatikan. Kasus baru, jumlah PDP (pasien dalam pengawasan), dan jumlah kematian,” katanya.

Jumlah PDP Masih Tinggi

Pandu Riono berpendapat PDP merupakan antrean orang yang belum diperiksa Covid-19. Padahal, mereka telah melakukan kontak langsung dengan pasien positif. Jumlahnya pun masih berfluktuasi sejak awal pandemi di Ibu Kota. Hingga 15 Mei, sebanyak 558 orang masih dirawat, turun sedikit setelah tiga hari sebelumnya mengalami kenaikan.

Pemakaman dengan Protap Covid-19

Jumlah kematian kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di DKI Jakarta mengalami penurunan pada dua pekan pertama Mei, menjadi kurang dari 10 orang per hari. Namun, total seluruh pemakaman jenazah dengan protap penanganan penyakit tersebut belum berkurang.

Jika diakumulasi, maka perbandingannya menjadi 474 orang dan 2,1 ribu orang. Selisih sekitar 1,6 ribu orang itu umumnya mereka yang berstatus PDP atau ODP (orang dalam pemantauan), tetapi belum sempat diperiksa atau hasil uji spesimennya belum keluar ketika meninggal. Di sini menunjukkan kapasitas dan kecepatan uji spesimen masih rendah.

Tren Kasus Bergeser ke Luar Jakarta

Hingga 20 Mei, Jakarta memang masih menjadi episentrum Covid-19 di Indonesia. Namun proporsinya terus berkurang, dari sekitar 50 persen pada 10 April menjadi 32,5 persen. Ini menunjukkan tren peningkatan kasus terjadi di luar Jakarta.

Secara nasional, tingkat pertumbuhan rata-rata kasus pun mengalami penurunan pasca-PSBB di Jakarta. Dari rata-rata 12 persen sebelum PSBB menjadi 4,4 persen. Jakarta sebagai episentrum pun mengalami penurunan dari sekitar 11 persen menjadi 3,2 persen.

Namun sejumlah daerah justru cenderung mengalami peningkatan. Misalnya, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Jambi. Bahkan hingga 20 Mei 2020, ada 28 provinsi yang rata-rata pertumbuhan kasusnya lebih tinggi daripada nasional. Adapun Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, dan Papua Barat kasus pertamanya baru dimulai setelah 10 April.

Belum Saatnya Memulai “New Normal”

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan virus corona masih akan bertahan dalam waktu lama. Namun, hal ini bukan alasan untuk berdamai dengan virus tersebut. Pemerintah seharusnya memperkuat peperangan dengan memperketat penerapan pembatasan dan menambah kapasitas tes.

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Edbert Gani dan Teguh Wicaksono, dalam artikel “Mobilitas, Migrasi dan Kebijakan PSBB COVID-19” (2020), mengatakan PSBB pun belum bisa menekan laju masyarakat keluar-masuk daerah lain. Sebab, penerapan pembatasan di suatu daerah belum memperhatikan aktivitas di daerah lainnya, terutama yang berdekatan.

“Dengan demikian, maka protokol penanganan Covid-19 dan PSBB perlu untuk diintegrasikan dan dikomunikasikan dengan komando yang lebih lintas daerah,” tulis mereka.

Sementara dalam hal kapasitas tes, Pandu Riono berpendapat pemeriksaan terhadap virus corona harus terus meningkat hingga tidak ada lagi PDP dan ODP yang masih dirawat atau dalam proses. Menurutnya, new normal lebih baik dilakukan ketika kasus baru sudah konsisten menurun. “Setidaknya dua pekan berturut-turut,” katanya.

Selain itu, data lain seperti jumlah kasus aktif bisa menjadi acuan. Epidemiolog Universitas Padjajaran Panji Fortuna Hadisoemarto mengatakan aktivitas masyarakat di DKI Jakarta, misalnya, bisa dibuka kembali jika kasus aktif hanya ada 10 kasus.