ANALISIS DATA

Bom Waktu Utang BUMN di Masa Pandemi

Andrea Lidwina

02/07/2020, 09.00 WIB

Ilustrasi: Joshua Siringoringo

Sejumlah BUMN tertekan akibat pandemi corona: pendapatan menciut dan beban utang besar yang akan jatuh tempo. Risiko gagal bayar utang BUMN bisa makin menyulitkan pemulihan ekonomi.


  • Line Chats

Pandemi Covid-19 menambah beban perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN). Selain pendapatan yang menciut karena kegiatan operasional yang terbatas, utang yang jatuh tempo tahun ini pun terancam tak bisa dilunasi.

Garuda Indonesia, misalnya, telah mengajukan restrukturisasi utang sukuk global US$ 500 juta yang seharusnya dibayarkan pada 3 Juni lalu. Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan langkah tersebut merupakan salah satu upaya memastikan keberlangsungan usaha.

Selama pandemi, maskapai penerbangan ini memang telah mengandangkan 70% armadanya. Padahal, pemasukan dari penumpang berkontribusi 80% terhadap pendapatan perusahaan.

Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga bernasib sama. Utang yang wajib dibayarkan sepanjang 2020 mencapai Rp 35 triliun, baik ke kreditur lokal maupun asing. Namun, bebannya semakin berat karena ada utang dalam bentuk valas, sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah.

Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini menjelaskan, dikutip dari Detikcom, setiap pelemahan kurs Rp 1.000 per dolar AS bisa menaikkan beban utang Rp 9 triliun.

Sementara itu, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat ada 13 perusahaan BUMN yang memiliki obligasi jatuh tempo antara Mei dan Desember 2020. PLN termasuk salah satunya, dengan nilai utang Rp 182 miliar. Bank Tabungan Negara (BTN) dan Pupuk Indonesia punya nilai paling besar, masing-masing Rp 5,4 triliun dan Rp 4,1 triliun.

Karena itu, pemerintah berencana memberikan bantuan dengan total Rp 152 triliun pada sejumlah BUMN yang terdampak pandemi Covid-19. Bantuan tersebut diberikan melalui tiga skenario, yakni pencairan utang pemerintah Rp 108,48 triliun, penyertaan modal negara Rp 25,27 triliun, dan dana talangan Rp 19,65 triliun.

Tren Utang Membengkak

Foto: Arief Kamaludin|KATADATA

Utang adalah momok yang dihadapi perusahaan-perusahaan pelat merah. Total utang luar negeri seluruh BUMN menunjukkan tren peningkatan dalam lima tahun terakhir.

Bank Indonesia mencatat angkanya mencapai US$ 55,3 miliar atau setara Rp 775 triliun, dengan kurs Rp 14 ribu per dolar AS, hingga April 2020. Jumlah itu mengambil porsi sekitar 26,6% dari total utang luar negeri non-pemerintah yang mencapai US$ 207,8 miliar. Persentasenya naik tipis dari posisi akhir 2019, sebesar 26,3%. Namun trennya meningkat hampir 8% dalam lima tahun terakhir.

Bank Dunia dalam laporan “Infrastructure Sector Assessment Program” yang dirilis Juni 2018 menjelaskan, peningkatan utang BUMN disebabkan pengerjaan proyek-proyek pemerintah. Misalnya pada periode pertama Presiden Joko Widodo, masifnya target infrastruktur mendorong pemerintah menunjuk langsung perusahaan pelat merah sebagai pelaksana proyek.

“Dibandingkan swasta, BUMN lebih mampu mengatasi hambatan, seperti pembebasan lahan dan masalah birokrasi. Dengan begitu, pengerjaan proyek jadi lebih cepat,” tulis lembaga itu.

Persoalannya, ujar Senior Vice President Royal Investium Sekuritas Janson Nasrial yang dikutip dari CNN Indonesia, skema yang digunakan antara pemerintah dan BUMN adalah turnkey atau Contractors Pre-Financing (CPF). Dengan skema ini, pemerintah tidak wajib membayar penuh di awal, tapi boleh dilakukan ketika proyek sudah selesai. Sementara perusahaan mengerjakan keseluruhan proyek, mulai dari mendesain, membangun, hingga merampungkannya.

Alhasil, jika kas perusahaan tidak cukup untuk mendanai pengerjaan proyek, mereka harus melakukan pinjaman. Akibatnya utang semakin bertambah. Di sisi lain, tidak semua proyek pemerintah layak secara komersial sehingga BUMN kembali menanggung kerugiannya.

Utang yang membengkak kemudian tidak diimbangi dengan kemampuan membayarnya. Konsultan McKinsey & Company dalam laporan “Signs of stress in the Asian financial system” menyebutkan 32 persen utang jangka panjang korporasi di Indonesia punya interest coverage ratio (ICR) atau rasio kemampuan membayar bunga utang di bawah 1,5. Persentase tersebut merupakan ketiga tertinggi di Asia, setelah India dan Tiongkok.

Jika dilihat secara sektoral, hal tersebut paling banyak ditemukan pada perusahaan bidang utilitas, seperti transportasi, listrik, air, dan komunikasi. Jumlahnya sebanyak 62 persen. Menurut McKinsey, hal ini dikarenakan sektor utilitas perlu bekerja sama dengan berbagai stakeholder untuk menghasilkan kinerja baik. Proses yang rumit ini membuat kemampuan perusahaan membayar utang jadi lebih kecil.

Ekonom Faisal Basri dalam tulisan “Waspadai Utang BUMN” di blog pribadinya mencontohkan PLN yang tidak dibolehkan menaikkan tarif listrik, tetapi subsidinya tidak ditambah. Pemerintah hanya memberikan kompensasi yang pencairannya juga butuh waktu lama. Akibatnya, perusahaan itu hampir mengalami gagal bayar pada akhir 2019, yang bisa saja terulang lagi tahun ini.

Sejalan dengan laporan tersebut, BPS memprediksi rasio utang terhadap modal atau debt to equity ratio (DER) BUMN sebesar 1,95 pada 2018. Angka itu tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, meski menurun dari 3,2 pada 2014. Hal ini berarti, keuangan perusahaan masih lebih banyak bersumber dari pemberi utang ketimbang kasnya sendiri. Dengan begitu, kemampuan perusahaan untuk melunasi utang juga kian kecil.