ANALISIS DATA

Menuju Pelaksanaan Eksekusi
Putusan Perdata yang Efektif


Tim Riset dan Publikasi

Foto: 123rf

Hasil Riset oleh:

Didukung oleh:


Seorang juru sita sebuah pengadilan terperangah di lapangan saat akan melakukan eksekusi putusan perdata. Objek eksekusi dikuasai sejumlah orang tak dikenal yang siap untuk melawan. Tak ada persiapan apa pun dilakukan sang juru sita menghadapi ini semua. Juga kadang tak ada petunjuk apapun dari Ketua Pengadilan tentang apa yang harus dilakukannya jika hal semacam itu terjadi. Ia harus memecahkannya sendiri. Atau membalikkan badan tanda menyerah.

Juru Sita: Ujung Tombak Eksekusi Putusan Perdata

Foto: 123rf

Juru sita merupakan ujung tombak pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata. Namun di lapangan, lantaran penetapan eksekusi hanya memuat informasi yang sangat terbatas tentang objek eksekusi, seringkali juru sita harus melakukan “improvisasi” menghadapi berbagai kendala yang ada. Juru sita di Indonesia patut iri pada kolega-koleganya di Italia dalam hal ketersediaan panduan pelaksanaan tugas. Di Italia, juru sita yang akan melaksanakan eksekusi sebuah putusan pengadilan dibekali dengan perintah eksekusi (precetto) yang memuat uraian terperinci mengenai tindakan-tindakan yang dapat dilakukannya di lapangan untuk memastikan keberhasilan eksekusi putusan.

Minimnya panduan pelaksanaan tugas bagi juru sita dalam pelaksanaan eksekusi, baik yang bersifat umum—yang ada pada Hukum Acara Perdata, maupun yang bersifat kasuistis yang dimuat dalam penetapan eksekusi, mengakibatkan rendahnya keberhasilan eksekusi putusan di lapangan. Karena sesungguhnya, selain soal panduan pelaksanaan tugas, juru sita, pengadilan dan ketua pengadilan negeri yang menaungi juru sita memiliki isu kelembagaan yang berlapis-lapis untuk melaksanakan eksekusi putusan perdata di lapangan.

Tidak adanya jaminan bahwa putusan pengadilan dalam perkara perdata dapat ditegakkan secara efektif dalam waktu yang rasional, dapat mengakibatkan rendahnya minat masyarakat terutama pelaku bisnis untuk menggunakan pengadilan sebagai mekanisme penyelesaian sengketa. Karena, untuk apa menghabiskan waktu berlama-lama dan biaya yang tidak kecil beracara di pengadilan jika pada akhirnya tidak ada jaminan bahwa putusan dapat dijalankan dan penggugat dapat memperoleh kembali haknya?

Data sepanjang 2012 hingga 2018 pada lima belas pengadilan negeri di Indonesia menunjukkan belum semua permohonan eksekusi sengketa perdata yang masuk pengadilan selesai dilaksanakan. Buku II Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menyebut, faktor penghambat penyelesaian kontrak bisnis adalah sulitnya proses eksekusi putusan, lamanya proses penyelesaian perkara, dan tingginya biaya berperkara.

Lemahnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengadilan ditandai minimnya perkara perdata, termasuk sengketa kontrak bisnis, yang diajukan ke pengadilan. Terhambatnya penyelesaian kontrak bisnis itu juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi peringkat Indonesia dalam kemudahan berbisnis.

Data Ease of Doing Business (EoDB) yang dirilis setiap tahun oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa pada 2019 Indonesia hanya menempati peringkat 73 dari 190 negara dengan skor 67,96. Berdasarkan indikator yang berkaitan dengan pengadilan, Indonesia menempati peringkat 146 untuk penegakkan hukum kontrak (enforcing contract) serta peringkat 36 untuk penanganan kepailitan (resolving insolvency). Peringkat ini masih jauh dari target Paket Reformasi Ekonomi yang digagas Presiden Joko Widodo, yaitu 40. 

Penelitian yang dilakukan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) yang menggunakan metode studi kepustakaan dan lapangan menemukan sejumlah akar permasalahan pelaksanaan eksekusi sengketa perdata yang akan diuraikan pada bagian-bagian berikut artikel ini. Studi kepustakaan untuk mendapat konsep hukum mengenai eksekusi sengketa perdata, antara lain, terhadap Hukum Acara Perdata (HIR, RBg, dan Rv), UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, UU No. 7 Tahun 1989 tentang  Peradilan Agama juga literatur eksekusi perdata di negara lain yang memiliki kesamaan sistem hukum dengan Indonesia. Ada pun studi lapangan dilakukan pada 24 pengadilan negeri dan 12 pengadilan agama yang menjadi objek eksekusi selama November 2018 hingga 2019.

Pemilihan pengadilan tersebut mempertimbangkan (1) keterwakilan kota besar untuk melihat beban eksekusi dan varian perkara yang dimohonkan eksekusi; (2) keterwakilan daerah kepulauan untuk melihat aksesibilitas dalam menjangkau termohon eksekusi dan obyek eksekusi; (3) keterwakilan daerah perbatasan untuk melihat potensi masalah eksekusi sengketa perdata dengan negara lain, dan (4) keterwakilan daerah terdampak bencana untuk melihat permasalahan objek eksekusi yang berubah atau musnah akibat bencana.

Eksekusi Putusan Perdata: Tanggung Jawab Berat Ketua Pengadilan

Foto: 123rf

Eksekusi merupakan upaya kreditur merealisasikan haknya secara paksa karena debitur tidak mau secara sukarela memenuhi kewajibannya sebagaimana telah diputuskan oleh pengadilan. Di Indonesia, pihak yang ingin putusannya dilaksanakan mengajukan permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan Negeri tau Pengadilan Agama untuk kasus tertentu, yang memiliki yurisdiksi atas wilayah di mana benda/objek yang akan dieksekusi berada.

Pada perkembangannya, pengadilan tidak hanya menerima permohonan eksekusi atas putusan pengadilan belaka, juga putusan lembaga kuasi yudisial, seperti (1) putusan arbitrase; (2) putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); (3) putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan (4) putusan Komisi Informasi. Pelaksanaan eksekusi terdiri dari ketua pengadilan negeri, panitera, dan juru sita. Ketua pengadilan negeri, secara ex-officio, adalah pihak yang berwenang memimpin dan memerintahkan eksekusi sengketa perdata (Pasal 54 ayat (2) UU. No. 48 tahun 2009).

Tugas memimpin eksekusi ini menambah beban tanggung jawab ketua pengadilan negeri. Seorang ketua pengadilan negeri dituntut untuk membuat putusan yang berkualitas dalam menangani perkara, handal dalam memimpin pengelolaan pengadilan, sekaligus memiliki success rate yang tinggi dalam pelaksanaan putusan. Penumpukan tanggungjawab ini berpotensi membuat ketua pengadilan tidak fokus bekerja. Ini berbeda, misalnya,  dengan sistem di Italia, Jerman atau Belanda. 

Di Italia, eksekusi bukan ditangani oleh ketua pengadilan, melainkan oleh hakim eksekusi. Hakim eksekusi bertugas memeriksa dapat tidaknya suatu putusan dieksekusi untuk memastikan eksekusi yang akan dilakukan sah menurut hukum. Sedang di Jerman pelaksanaan eksekusi diserahkan pada pembantu atau pelayan hukum (rechtspfleger) yang merupakan pegawai pengadilan. Ada pun di Belanda tanggung jawab eksekusi dilakukan oleh sebuah lembaga di luar pengadilan bernama Koninklijke Beroeporganisatie van Gerechtsdeurwaarders (KBvG). KBvG adalah organisasi profesi yudisial yang dibentuk berdasarkan The Judicial Officers Act (UU tentang Pejabat Yudisial). 

Untuk melaksanakan eksekusi putusan, menurut Pasal 196 HIR yang pertama kali harus dilakukan oleh ketua pengadilan adalah melakukan aanmaning. Yaitu, memerintahkan jurusita memanggil termohon eksekusi untuk diperingatkan agar memenuhi putusan secara sukarela dalam waktu 8 (delapan) hari. 

Masih menurut Pasal 196 HIR, putusan yang memenuhi syarat untuk dieksekusi tidak dapat dilaksanakan tanpa didahului aanmaning. Aanmaning dilakukan dalam sidang insidental yang dipimpin ketua pengadilan, yang dalam praktik, biasa berlangsung 1 (satu) kali.  Permasalahannya, Hukum Acara Perdata tidak mengatur kapan sidang aanmaning harus dilaksanakan. Akibatnya, terbuka kemungkinan pelaksanaan eksekusi yang berlarut-larut karena tidak ada batas waktu yang baku yang harus diikuti oleh ketua pengadilan. Untuk efisiensi dan kepastian proses eksekusi, perlu diatur kapan waktu paling lambat ketua pengadilan harus melaksanakan aanmaning, dengan memperhitungkan secara wajar waktu yang dibutuhkan untuk menelaah dan mempersiapkan kelancaran kegiatan persiapan eksekusi  yang pada umumnya dilakukan ketua pengadilan sebelum melakukan aanmaning. Selain itu, harus diatur juga bahwa aanmaning dapat dilaksanakan paling banyak (2) dua kali. Dimana aanmaning kedua hanya boleh dilakukan jika termohon berhalangan hadir dengan alasan jelas pada aanmaning pertama, serta jarak aanmaning pertama dengan kedua tidak boleh lebih dari 7 (tujuh) hari kerja.

Dalam praktik, ketua pengadilan biasanya tidak langsung melakukan pemanggilan untuk aanmaning, tapi menelaah permohonan eksekusi lebih dulu. Penelaahan merupakan proses yang penting mengingat seringkali terdapat situasi/kondisi yang kompleks atas objek eksekusi. Penelaahan dilakukan oleh ketua pengadilan bersama tim penelaah permohonan eksekusi dan menghasilkan resume. Jika ketua pengadilan menganggap permohonan eksekusi dapat dikabulkan, maka panitera dan/atau juru sita diperintahkan memanggil termohon untuk diberi peringatan. Namun, ketika ketua pengadilan menganggap permohonan tidak bisa dikabulkan, juru sita akan membuat berita acara yang memuat putusan tidak dapat dilaksanakan.

Berkaitan dengan proses penelaahan ini, diperlukan ketentuan yang lebih jelas yang mewajibkan sekaligus memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memastikan kelancaran proses eksekusi. Misalnya, kewajiban pengadilan melakukan pemeriksaan setempat dalam untuk mengetahui kondisi terakhir objek eksekusi dan kewenangan ketua pengadilan mengubah informasi mengenai kondisi objek eksekusi yang tercantum dalam putusan sesuai situasi terakhir di lapangan. Merujuk sistem eksekusi putusan di Jerman, jika ada amar putusan tidak jelas, rechtspfleger  (pelayan hukum) dapat mengubah putusan dalam perkara pokok sepanjang ada permintaan pemohon eksekusi untuk memperjelas amar putusan eksekusi. Ketua pengadilan juga perlu diberikan panduan yang lebih jelas jika terdapat benda tidak bergerak milik pihak ketiga di sekitar objek eksekusi atau objek eksekusi dikuasai pihak ketiga beritikad baik.

Ketidakkonsistenan menyikapi amar putusan yang kurang jelas tidak hanya membuat tiadanya kepastian hukum bagi para pihak, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik. Untuk itu, diperlukan aturan yang mengatur tahapan yang ditempuh terhadap amar putusan yang tidak jelas, yaitu: (1) mengajukan permohonan perubahan amar putusan kepada ketua pengadilan sesuai dengan petitum gugatan; (2) ketua pengadilan mengeluarkan penetapan yang berisi perubahan amar putusan yang memperbaiki amar tidak jelas; (3) amar yang dijatuhkan dalam penetapan harus sebagaimana yang tercantum dalam petitum gugatan; (4) terhadap penetapan ketua pengadilan tidak dapat diajukan upaya hukum; (5) penetapan tersebut menjadi dasar bagi pemohon untuk mengajukan permohonan eksekusi.

Sistem promosi dan mutasi hakim juga kerap mengakibatkan proses eksekusi dilaksanakan dalam periode kepemimpinan 2 (dua) ketua pengadilan. Ketua pengadilan lama yang menetapkan putusan eksekusi diganti ketua pengadilan baru sebelum eksekusi dilakukan. Ini menimbulkan dua praktik di lapangan. Ketua pengadilan yang baru hanya menjalankan eksekusi yang sudah ditetapkan atau bisa meninjau kembali penetapan eksekusi, seperti misalnya yang pernah terjadi di Pengadilan Negeri Bojonegoro.  Tidak ada aturan mengenai soal ini dalam Hukum Acara Perdata Indonesia.

“Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri” yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI, terdapat ketentuan, “terhadap penetapan ketua pengadilan negeri terdahulu yang menyatakan putusan tidak dapat dilaksanakan dan barang jaminan dibebaskan dari tanggungan apabila dikemudian hari ditemukan ada kesalahan, penetapan ketua pengadilan dapat dicabut kembali dengan ada atau tidak adanya permohonan pencabutan”. Dari ketentuan ini, bisa disimpulkan ketua pengadilan dapat mengubah penetapan eksekusi.

Karena itu, dibutuhkan aturan yang memberi wewenang ketua pengadilan yang baru untuk meninjau dan mengubah penetapan eksekusi yang dikeluarkan ketua sebelumnya. Peraturan itu harus menegaskan ketua baru tidak dapat mencabut penetapan sebelumnya kecuali memenuhi 3 (tiga) syarat: (1) penetapan yang mau dicabut menyatakan bahwa putusan tidak dapat dilaksanakan; (2) ketua baru menemukan kesalahan atau kekeliruan dalam penetapan tersebut, dan (3) dilakukan berdasarkan permohonan pemohon eksekusi.