Kisruh Apartemen Berlanjut
KATADATA ? Konflik antara pemilik atau penghuni apartemen dan pihak pengelola yang ditunjuk oleh Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) kembali terjadi. Kasusnya selalu sama, PPPSRS yang seharusnya merupakan perwakilan dari pemilik apartemen, malah kerap dijadikan perpanjangan tangan pengembang. Mereka menentukan iuran yang angkanya berasal dari pengembang, tanpa transparansi. Akhirnya pemilik apartemen atau konsumen merasa dirugikan.
Seperti yang terjadi pada apartemen The Lavande Residences di Tebet, Jakarta Selatan. Senin 16 Juni lalu, pihak pengelola dan PPPSRS Lavande Residences mematikan aliran listrik warga pemilik dan penghuni apartemen tersebut. Alasannya, karena para warga belum membayar tunggakan iuran listrik dan iuran pemeliharaan lingkungan (IPL) yang diberlakukan pengelola dan PPPSRS. Salah satu unit apartemen yang diputus aliran listriknya adalah milik pemain basket dan aktor film Eiffel I'm In Love, Samuel Rizal.
Menurut keterangan dari salah satu penghuni Pratiwi Soedono, sebelumnya pihak pengelola dan PPPSRS memang telah mengancam akan memutus aliran listrik warga, jika belum membayar tunggakan hingga 14 Juni 2014. Padahal saat itu, warga Penghuni dan Pemilik apartemen The Lavande Residences sedang bersengketa dengan Pengurus P3SRS yang diduga bentukan pengembang PT Agung Podomoro Land Tbk dan pihak pengelola yang juga merupakan anak usaha Agung Podomoro. Sengketa perdata ini masih berlangsung di di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Warga Lavande sengaja mengangguhkan pembayaran listrik dan IPL sejak Juni 2013. Para warga tidak terima dengan keputusan PPPSRS yang menaikkan tarif listrik dan IPL secara sepihak, tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan warganya. PPPSRS menaikkan tarif listrik dari Rp 800 per kilowatt jam (kWh) menjadi Rp 1.430 per kWh. Padahal saat itu, pemerintah hanya menaikan tarif untuk pengguna apartemen sebesar 10 persen, atau hanya mencapai Rp 880 per kWh.
"PPPSRS beralasan selisih kenaikan tarif itu digunakan untuk pembelian solar dan perbaikan genset. Padahal biaya untuk genset itu sudah sudah termasuk dalam iuran maintenance fee (IPL). Saat itu mereka (PPPSRS) tidak bisa menjawab," ujar Pratiwi. Selain kenaikan tarif listrik, PPPSRS juga menaikkan IPL dari Rp 12.000 per meter menjadi Rp 14.000 per meter.
Kisruh pun terjadi, hingga Kementerian Perdagangan turun tangan untuk memediasi konflik tersebut pada Oktober 2013. Hasil dari mediasi tersebut memutuskan bahwa pihak PPPSRS harus mengumumkan kepada warganya, bahwa tarif listrik yang berlaku adalah Rp 1.210 per kWh. Kemudian PPPSRS juga harus melakukan pertemuan dengan warga untuk mendiskusikan tarif listrik dan IPL. Selain itu PPPSRS juga harus menggelar rapat sesuai dengan aturan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS, yaitu setiap enam bulan.
"Sejak mediasi tersebut hingga sekarang, PPPSRS belum melakukan hasil mediasi. Setiap bulan, kami selalu mengirimkan surat kepada PPPSRS agar mereka menjalankan hasil mediasi. Namun, tetap saja tidak digubris."
Sebenarnya, kata Pratiwi, Masalah ini didasari karena tidak adanya transparansi keuangan dan pengelolaan di apartemen tersebut. Sesuai aturan dalam Pasal 57 ayat 3 dan Pasal 67, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1998 tentang Rumah Susun, disebutkan pengembang hanya dibenarkan menjadi Pengurus dan Pengelola sementara, selama paling lambat satu tahun. Setelah itu, harus dibentuk PPRS. Adapun PPPSRS dibentuk dan anggotanya pun merupakan pemilik dan penghuni.
Namun, kebanyakan pengembang biasanya tidak mau melepas potensi pendapatan dari apartemen yang sudah mereka jual. Makanya dengan berbagai upaya, pengembang akan tetap berusaha memegang kendali atas perputaran uang di apartemen yang dibangunnya.
Menurut Pratiwi, PPPSRS di Lavande Residences merupakan bentukan dari pihak pengembang, yakni PT Agung Podomoro Land Tbk. Para warga mendapat undangan untuk mengikuti rapat pembentukan PPPSRS pada hari Rabu, 16 Mei 2012. Rapat tersebut dilaksanakan pada pukul tiga sore dan dilakukan bukan di lokasi apartemen, melainkan di gedung Smesco di jalan Gatot Soebroto.
"Karena hari dan jam kerja, makanya tidak banyak yang datang. Dari sekitar 125 orang yang hadir, hanya sekitar 25 orang yang merupakan penghuni asli apartemen Lavande (jumlah hunian di Lavande adalah 725 unit). Selebihnya itu karyawan Agung Podomoro," ujar Pratiwi, kepada Katada, Rabu (18/6). "Makanya yang terpilih pun adalah orang dari Agung Podomoro (Setiarto Haryono), yang mengaku penghuni Lavande, padahal tidak."
Setelah kepengurusan PPPSRS terpilih, tidak pernah ada rapat lagi yang yang melibatkan warga. Bahkan melakukan rapat dengan warga, PPPSRS menunjuk langsung konsultan pengelola, yang merupakan anak usaha dari Agung Podomoro. PPPSRS, kata Pratiwi, hanya pengumuman yang ditempel di papan pengumuman. Termasuk saat menaikan tarif listrik dan IPL. Makanya warga pemilik dan penghuni Lavande Residences melakukan penahanan pembayaran listrik dan IPL, untuk menuntut adanya transparansi di tempat tinggalnya sendiri.
Menurut Pratiwi, bukan hanya Lavande Residence, yang memanipulasi pembentukan PPPSRS, tapi hampir semua apartemen Agung Podomoro yang lain. Bahkan para penghuni apartemen Mediterania Marina Residences di Ancol, Jakarta Utara, membuat PPPSRS tandingan, karena PPPSRS yang ada juga merupakan bentukan Agung Podomoro. "Ini memang sengaja dibuat oleh developer, karena mereka tidak mau kehilangan uang miliaran rupiah dari memainkan iuran warga apartemen," ujarnya.