Naik 19 Persen, Utang Luar Negeri Pemerintah Hampir Samai Swasta
Utang luar negeri pemerintah terus meningkat sehingga jumlahnya sudah hampir menyamai utang oleh pihak swasta. Kenaikan utang luar negeri pemerintah terutama terjadi pada industri jasa keuangan.
Bank Indonesia mencatat, utang luar negeri Indonesia selama periode Januari-Juli 2016 melonjak US$ 14,02 miliar atau setara Rp 182,26 triliun. Lonjakan itu hampir melampaui pertumbuhan utang sepanjang tahun lalu yang sebesar US$ 16,85 miliar.
Gubernur BI Agus Martowardojo menilai, kenaikan utang luar negeri sebagai hal yang wajar asalkan diarahkan untuk kegiatan produktif. Namun, dia meminta setiap utang dipagari dengan perlindungan nilai tukar (hedging). “Sehingga tidak membuat risiko dari foreign exchange,” katanya di Jakarta, Senin (19/9).
Mengacu pada data BI, total utang luar negeri hingga Juli lalu mencapai US$ 324,2 miliar atau naik 6,4 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Porsi utang masih didominasi swasta, meski jumlahnya terus menurun. Utang swasta sebesar US$ 164,5 miliar atau turun 3,4 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
Sebaliknya, utang pemerintah terus naik sebesar 18,7 persen dibandingkan Juli 2016 menjadi US$ 159,7 miliar. Alhasil, jumlahnya sudah hampir menyamai besaran utang luar negeri pihak swasta. (Baca juga: Utang Swasta Turun, Ekonomi Bertumpu dari Utang Pemerintah)
Meski utang luar negeri pemerintah meningkat, besaran utang swasta tetap jadi fokus pantauan BI. Sebab, porsinya masih lebih besar dari utang pemerintah. Agus menjelaskan, BI telah mengeluarkan sejumlah aturan untuk meningkatkan kehati-hatian utang oleh pihak swasta, di antaranya terkait rasio lindung nilai (hedging) dan peringkat utang untuk korporasi nonbank.
Selain itu, ada kewajiban bagi korporasi nonbank melibatkan kantor akuntan publik untuk mengaudit laporan keuangannya guna memenuhi laporan kegiatan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank. “Dengan itu kami meyakini (utang) akan terjaga dengan baik, mengingat porsi utang swasta besar,” kata Agus.
Jika dirinci menurut sektor ekonomi, utang luar negeri swasta terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, serta listrik, gas dan air bersih. Porsi utang luar negeri keempat sektor itu mencapai 75,7 persen terhadap total utang luar negeri swasta.
Namun, jika dilihat pertumbuhannya, utang luar negeri dari sektor pertambangan dan sektor keuangan masih tumbuh negatif. Sedangkan di sektor industri pengolahan dan sektor listrik, gas dan air bersih, utang luar negeri masih menanjak.
Di sisi lain, kenaikan utang luar negeri pemerintah pada Juli terjadi pada industri jasa keuangan. Utang pada sektor ini meningkat dari hanya US$ 88,8 miliar pada Juli 2015 menjadi US$ 113,4 miliar pada Juli 2016.
Meski total utang luar negeri terus meningkat, BI mencatat perbaikan dalam struktur utang seiring dengan penurunan utang jangka pendek. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara menjelaskan, utang jangka pendek pada Juli 2016 sebesar US$ 41,2 miliar atau turun 3,6 persen dibanding periode sama tahun lalu. Jadi, utang luar negeri masih didominasi utang jangka panjang sebesar US$ 283 miliar, yang naik 8 persen dibandingkan Juli 2015.
Sebagai informasi, utang luar negeri swasta terbesar per Juli 2016 berasal dari Singapura senilai US$ 53,9 miliar. Sedangkan utang pemerintah terbesar berasal dari Jepang, yakni US$ 17 miliar. (Baca juga: Cadangan Devisa Bisa Jaga Rupiah dari Risiko Bunga The Fed)
Ke depan, menurut Tirta, BI akan terus memantau perkembangan utang luar negeri, khususnya milik swasta. Tujuannya untuk memastikan bahwa utang yang dimaksud berperan optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas makroekonomi.