Buka World Ocean Summit, Wapres JK Tekankan Penegakan Hukum
Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan pentingnya penegakan hukum untuk mendukung pengelolaan laut yang berkelanjutan. Penegakan hukum itu ditunjukkan pemerintah selama ini melalui sikap tegas terhadap semua tindakan penyimpangan di sektor perikanan atau illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF).
Ia menjelaskan, Pemerintah Indonesia menaruh perhatian besar terhadap sektor maritim. Sebab, sektor maritim berkontribusi 20 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyediakan 11 persen lapangan pekerjaan di seluruh Indonesia.
“Akan bahaya jika kita kehilangan (kontribusi) itu. Kami dengan tegas melawan IUUF. Memang banyak illegal fishing, tapi pasca kebijakan tegas, produksi perikanan membaik,” ujar Kalla saat membuka pertemuan dua tahunan para pelaku sektor kelautan, World Ocean Summit (WOS), di Nusa Dua, Bali, Kamis (23/2).
(Baca: 2050, Populasi Kakap, Tuna dan Kepiting Bisa Bernilai Rp 50 Triliun)
Selain penegakan hukum, kolaborasi dengan berbagai pihak juga ditempuh pemerintah. Kalla mengatakan, pemerintah sangat mendorong kerja sama dengan sektor swasta, termasuk lembaga riset, untuk memastikan pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan. Selain itu, pembangunan infrastruktur untuk mendukung industri perikanan juga dipercepat sehingga nelayan dapat berproduksi secara efisien.
Sekadar informasi, WOS merupakan konferensi yang dihadiri para diplomat, pemerhati lingkungan hidup, organisasi nonpemerintahan, dan para pemangku kepentingan sektor kelautan dan perikanan dari seluruh dunia. Selain Kalla, pejabat Indonesia yang hadir di acara tersebut antara lain Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
(Baca: Tuna Indonesia Terancam Punah dalam 3-10 Tahun)
Pada konferensi yang digelar untuk keempat kalinya ini, isu yang menjadi fokus pembahasan adalah pembiayaan untuk pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan. Seperti dikutip dari The Economist, penyelenggara WOS 2017, diskusi yang berlangsung akan diarahkan untuk mendorong efektivitas pemanfaatan dana, baik pemerintah maupun swasta, untuk mewujudkan ekonomi laut berkelanjutan.
Pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan, yang juga disebut dengan istilah Blue Economy ini dianggap penting dan relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Laporan International Union for Conservation of Nature menyebutkan, ikan tuna di Indonesia dalam ancaman. Hal itu ditunjukkan dari tingkat eksploitasi yang sudah mencapai titik maksimum di sebagian besar laut Nusantara.
Padahal, tuna merupakan merupakan komoditas unggulan perikanan Indonesia. Dengan kontribusi mencapai Rp 6,5 triliun pada 2015, tuna adalah penyumbang nilai ekspor terbesar setelah udang. (Baca: Walton Family Kucurkan Rp 427 Miliar untuk Perikanan Indonesia)
Eksploitasi berlebihan membuat stok tuna menurun. "Indonesia menghadapi masalah overfishing dan illegal fishing,” ujar Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Pandjaitan, di acara yang sama.
Kajian University California, Santa Barbara dan Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan menyimpulkan, bila eksploitasi berlebihan dibiarkan, maka tak hanya terhadap tuna, biomassa ikan di perairan Nusantara akan anjlok hingga 81 persen pada tahun 2035. Selain berdampak pada pendapatan negara, menurunnya tangkapan tuna akan menyebabkan jutaan nelayan kehilangan mata pencarian.
Di samping fokus pada pembiayaan pengelolaan laut berkelanjutan, WOS juga akan mendiskusikan sejumlah isu lainnya, termasuk sampah plastik. Luhut mengatakan, selain penangkapan ikan ilegal, sampah plastik merupakan ancaman yang harus diatasi. Dalam laporannya, United Nations Development Programme menyebutkan Indonesia adalah salah satu penyumbang terbesar sampah plastik di laut.
Laporan dan Penulis: Jeany Hartriani (Nusa Dua)