MA Batalkan Privatisasi Air Jakarta, Pengusaha Tunggu Langkah Pemprov
Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan yang membatalkan privatisasi air di Provinsi DKI Jakarta. Keputusan MA nomor 31 K/Pdt/2017 yang dipublikasikan Selasa (10/10) memerintahkan penghentian kebijakan swastanisasi air minum yang dijalankan BUMD milik pemerintah Jakarta, PAM Jaya, dengan pihak swasta yaitu PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonaise Jaya (Palyja).
Menyikapi putusan MA ini, Direktur Utama PT Aetra Air Jakarta Muhammad Selim mengatakan, massih menunggu langkah dari Pemprov DKI Jakarta dalam menindaklanjuti putusan MA ini. "Kami akan berjalan seperti biasa, hingga menunggu tindak lanjut pemerintah," kata Selim dihubungi Katadata, Rabu (11/10).
Selim pun mengatakan belum mempelajari keputusan dengan detil. Rencananya dia akan berkoordinasi dengan tim di internal perusahaan setelah menerima putusan MA.
Kepemilikan di perusahaan induk Aetra, Acuatico Grup, baru saja berpindah tangan dari Recapital Advisor yang dimiliki pengusaha Roesan Roeslani dan wakil gubernur terpilih Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Sandiaga Uno ke Salim Grup. Grup Salim mengakuisisi Acuatico Group dengan nilai US$ 92,87 juta pada 8 Juni 2017.
(Baca: Selain Astra, Kini Salim 'Menguasai' Bisnis Air Bersih di Jakarta)
Sementara itu Direktur Umum PAM Jaya Erlan Hidayat mengatakan pihaknya akan mendalami keputusan MA dengan berkonsultasi terhadap Pemprov Jakarta. "Sikap dan Posisi PAM Jaya tentu akan merupakan cermin dari sikap dan arahan Pemprov selaku pemilik perusahaan," kata Erlan dalam pesan tertulis.
Erlan mengatakan meminta waktu untuk menyikapi keputusan di tingkat kasasi ini. "Keluarnya Putusan MA ini bagi PAM Jaya bukanlah akhir dari segalanya dalam pelayanan publik, sangat mungkin hal ini justru merupakan awal dari tata-laksana pelayanan publik yang kita sama-sama inginkan di bidang air minum," kata Erlan.
MA mengabulkan gugatan yang diajukan 12 warga Jakarta yang menggugat Aetra, Palyja, PAM Jaya dan juga presiden, wakil presiden, menteri keuangan, menteri pekerjaan umum, dan DPRD DKI Jakarta.
"Menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta dalam wujud Pembuatan Perjanjian Kerjasama (PKS) tertanggal 6 Juni 1997 yang diperbaharui dengan Perjanjian Kerjasama (PKS) tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini," bunyi putusan yang dikeluarkan sejak April 2017, namun diunggah ke situs MA pada Selasa (10/10).
Hakim kasasi yang dipimpin Nurul Elmiyah memerintahkan agar pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta disesuaikan dengan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1992. Perda ini memberikan kewenangan kepada PAM Jaya untuk menyediakan dan mendistribusi air minum kepada masyarakat.
Peneliti persoalan air dari Amrtya Institute, Nila Ardhianie, mengatakan keputusan MA bakal menguntungkan Pemprov Jakarta dan Pemerintah Pusat. Alasannya akan membuat pemerintah terhindar dari pembayaran defisit yang sangat besar akibat perbedaan imbalan dan tarif air yang terus berlangsung sejak kontrak pertama kali berjalan. Nila menghitung kerugian keuangan PAM Jaya mencapai Rp 18,2 triliun pada akhir kontrak 2022.
Nila mengatakan sebaiknya semua pihak mendukung keputusan ini. "Masyarakat yang memenangkan gugatan masih harus terus aktif memastikan bahwa putusan ini dapat dieksekusi karena pengelolaan oleh pemerintah bagaimanapun menjamin tarif yang lebih rendah," kata Nila.
Gugatan terhadap privatisasi air bermula pada November 2012. Ke-12 orang ini mewakili beberapa organisasi masyarakat sipil–termasuk Solidaritas Perempuan, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, Urban Poor Consortium maupun Walhi Jakarta. LBH Jakarta sebagai kuasa hukum para penggugat.
Setelah melalui dua tahun persidangan, pada Maret 2015, pengadilan memenangkan gugatan dan membatalkan perjanjian kerjasama PAM Jaya dengan kedua perusahaan. Pengadilan berpendapat kontrak melanggar hak asasi manusia dan tak dilakukan dengan tender. Keputusan ini kemudian dibawa ke tingkat banding.
Pada Januari 2016, pengadilan tinggi membatalkan keputusan pengadilan negeri dengan argumentasi bahwa gugatan bukan termasuk kategori citizen law suit. LBH Jakarta kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada Maret 2016. Keputusan terakhir di MA kembali memenangkan gugatan warga Jakarta.