Angka Kelahiran Indonesia Terus Turun dalam 50 Tahun, Efek Childfree?
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kelahiran di Indonesia terus turun, tercermin dari total fertility rate (TFR) yang turun menjadi 2,18 dari 50 tahun lalu sebesar 5,61. Benarkah penurun ini seiring makin populernya tren rumah tangga yang enggan memiliki anak alias childfree?
TFR 2,18 berarti setiap perempuan melahirkan dua sampai tiga anak selama masa reproduksinya, menurun dibandingkan lima dekade lalu yang antara lima sampai enam anak. Namun, Ketua Prodi Magister Ekonomi Kependudukan dan Ketenagakerjaan UI Diahhadi Setyonaluri menyebut penurunan tersebut tidak selalu terkait dengan tren childfree.
"Tapi karena orang mulai sadar jumlah anak yang ideal. Angkanya kan 2,18 artinya rata-rata per perempuan usia produktif punya anak sekitar dua. Bukan childfree tapi punya anak sekitar dua," kata perempuan yang akrab disapa Ruri itu sata dihubungi lewat panggilan telepon, Senin (13/2).
Ia juga pernah melakukan kajian yang menunjukkan bahwa rumah tangga yang tidak memiliki anak memang naik. Namun, angkanya sangat tipis dalam beberapa tahun terakhir. Jumlahnya diperkirakan hanya sekitar 9% dari total rumah tangga Indonesia.
Selain itu, ia melihat ada kemungkinan rencana childfree hanya pandangan yang sifatnya dinamis. Ia mencontohkan, pasangan muda di bawah 25 tahun yang baru menikah mungkin awalnya berkomitmen untuk tidak memiliki anak, tetapi rencana itu dapat berubah seiring usia yang terus menua dan kehidupan yang makin mapan.
Hal ini senada dengan data BPS yag menunjukan puncak kelahiran dalam beberapa dekade terakhir bergeser ke usia yang lebih tua. Pada tahun 1971, angka kelahiran tertinggi pada usia 20-24 tahun yang mencapai 286 kelahiran per 1.000 perempuan. Namun pada 2022, puncaknya di usia 25-29 tahun yang mencapai 131 kelahiran per 1.000 perempuan. Lengkapnya pada grafik dibawah ini.
Grafik di atas menunjukkan puncak kelahiran mulai bergeser ke usia 25-29 tahun mulai awal tahun 2000-an. Bahkan dalam dua dekade terakhir, terjadi peningkatan angka kelahiran per 1.000 perempuan pada kelompok usia 25-29 tahun, sementara untuk usia lebih muda terus menyusut.
"Jadi ketika mereka settle, punya kerjaan tetap, gaji baik, ada kemungkinan preferensi childfree bisa bergeser ketika mereka menua," kata Ruri.
Ekonom senior yang juga mantan Menteri Keuangan Chatib menjelaskan fenomena childfree dari sudut pandang ekonomi lewat konsep permintaan terhadap anak atau opportunity cost. Ia menjelaskan, jika suami dan istri di negara maju bekerja memutuskan untuk memiliki anak, maka salah satunya harus berhenti bekerja. Hanya ini menyebabkan adanya pendapatan yang hilang.
"Ini adalah cerminan dari opportunity cost. Pengorbanan yang harus dilakukan karena memiliki anak dan cerminan dari harga untuk memiliki anak. Jika harganya relatif mahal, maka permintaan terhadap anak akan mengalami penurunan," ujarnya dalam sebua unggahan di akun instagram pribadinya belum lama ini.
Sebaliknya, menurut dia, kesulitan untuk mencari pekerjaan di negara berkembang membuka kemungkinan terdapat suami atau istri yang tidak bekerja. Dengan demikian, pendapatan yang kemungkinan hilang saat memiliki anak akan relatif kecil.
"Permintaan untuk memiliki anak relatif kecil sehingga harga anak relatif kecil, akibatnya permintaan terhadap anak meningkat," ujarnya.
Perbincangan terkait childfree belakangan ramai setelah influencer Gita Savitri alias Gitasav dalam komentar di akun instagramnya menyebut childfree merupakan resep awet muda. Menurut dia, tidak memiliki anak berarti seorang perempuan bisa tidur cukup delapan jam sehari, tidak stres karena mendengar anak menangis, hingga punya uang untuk melakukan botox saat diperlukan.