NUS: Satelit, Solusi Terbaik ERP Jakarta

ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya
Penulis: Padjar Iswara
Editor: Ade Wahyudi
8/2/2017, 02.10 WIB

KETIKA Jakarta masih disibukkan oleh perdebatan seputar proses tender dan pemilihan teknologi untuk proyek jalan berbayar yang kini sedang dilelang, Singapura sudah berancang-ancang melompat ke tahap selanjutnya.

Jika tak ada aral-melintang, Negeri Singa ini bakal mulai menerapkan sistem jalan berbayar secara elektronik alias Electronic Road Pricing (ERP) yang berbasiskan pada teknologi satelit Global Navigation Satellite System (GNSS) terhitung mulai 2018 mendatang.

 
On Board unit ERP di Singapura. www.wikipedia.com

Ini berarti, sistem lama berbasiskan teknologi komunikasi jarak pendek atau Dedicated Short Range Communication (DSRC) akan ‘diistirahatkan’ setelah beroperasi dua dasawarsa. Untuk beralih ke sistem baru ini, Singapura sebagai salah satu pionir ERP di dunia tentu tak main-main. Sebuah studi mendalam telah dilakukannya 10 tahun lamanya.

Mungkin belum banyak yang tahu, sebuah studi mendalam juga telah dilakukan oleh Singapura untuk penerapan ERP di Jakarta. Studi ini dilakukan oleh Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, National University of Singapore (NUS).

Tim riset dipimpin oleh Prof. Lee Der Horng, yang dikenal sebagai pakar teknik transportasi. Ia menjabat sebagai Direktur Pusat Riset Transportasi yang didirikan oleh NUS dan Otoritas Transportasi Darat Singapura, sekembalinya dari mengajar dan menjadi Dekan di Southwest Jiaotong University (SWJTU) dan Beijing University of Technology (BJUT), Cina.

Program teknik sipil NUS merupakan salah satu yang terbaik, yaitu menempati peringkat tiga dunia. Sedangkan NUS sendiri selama tiga tahun berturut-turut menempati urutan teratas dalam peringkat terbaik universitas di Asia berdasarkan QS University Rankings.

Bertajuk Smart Mobility in Jakarta City 2016”, studi ini baru dilansir pada 2016 lalu (untuk format laporan lengkap berjumlah 107 halaman, klik di sini). Berbeda dengan studi Japan International Cooperation Agency (JICA) yang hanya berupa studi kelayakan bisnis (feasibility study) atas penerapan teknologi DSRC, isi laporan NUS mengupas perbandingan beragam jenis teknologi ERP untuk diterapkan di Jakarta.

NUS membandingkan berbagai teknologi sistem ERP di sejumlah negara, baik yang menggunakan sistem DSRC, GNSS atau seluler. Selanjutnya NUS mencari teknologi ERP yang paling cocok untuk diterapkan di Jakarta.

Ada tiga kota paling menonjol dan menjadi referensi penerapan ERP berbasis DSRC (plus kamera) dan Automatic Number Plate Recognition (ANPR) atau Identifikasi otomatis pelat nomor kendaraan. Tiga kota itu adalah Singapura, Stockholm (Swedia) dan London (Inggris).

Singapura merupakan kota pertama di dunia yang menerapkan sistem ERP—disebut ERP1—untuk mengendalikan lalu lintas sejak 1998. London dan Stockholm menerapkan sistem ERP pada 2003.

Lalu lintas di Jakarta. Arief Kamaludin|Katadata.
Alat ERP di kawasan Kuningan, Jakarta . Arief Kamaludin|Katadata.

Sistem ERP berbasis DSRC dan ANPR di ketiga kota ini berhasil mengurangi volume kendaraan sebesar 20-30 persen. Namun, teknologi DSRC dan ANPR mulai dianggap usang seiring dengan munculnya teknologi yang lebih canggih berbasis satelit, yakni GNSS atau populer dengan nama GPS (Global Positioning System). Pada 2014, sekitar 3,1 miliar telepon seluler (smartphone) dipasangi teknologi GNSS.

Berdasarkan kajian NUS, sistem ERP berbasis GNSS mempunyai kelebihan dibanding ERP berbasis DSRC (plus kamera) dan ANPR. Tingkat akurasi GNSS dalam mendeteksi OBU sangat tinggi mencapai 99 persen, hampir sama dengan DSRC (95-99 persen) dan ANPR (98 persen). Perealisasian ERP berbasis GNSS juga jauh lebih cepat dibanding DSRC karena tidak memerlukan pembangunan infrastruktur berat seperti gantry.

Lantaran minim kebutuhan infrastruktur, dari sisi biaya penerapan ERP berbasis GNSS menjadi lebih murah dibanding DSRC. Implementasi DSRC memerlukan belanja modal (capex) yang mahal, terutama pada awal penerapan proyek ERP. Biaya operasional (opex) ERP berbasis DSRC juga sangat tinggi.

 Lantaran minim kebutuhan infrastruktur, dari sisi biaya penerapan ERP berbasis GNSS menjadi lebih murah dibanding DSRC.

Sebaliknya ERP berbasis GNSS tak memerlukan capex dan opex-nya rendah hingga sedang. GNSS memang memiliki kelemahan, yakni miskin sinyal dalam terowongan bawah tanah atau underpass. Namun, kekurangan ini bisa diatasi dengan memasang alat GPS Repeater.

Jerman negara pertama yang menerapkan ERP berbasis GNSS (terhadap truk dan kendaraan berat) pada 2005. Sistem jalan berbayar dengan teknologi ini terbukti andal mendeteksi kendaraan berat yang melintas di jalan berbayar hingga 99,75 persen. Pendapatan dari jalan berbayar di negara ini mencapai 4,1 miliar euro atau sekitar Rp 58,6 triliun per tahun.

Langkah Jerman diikuti, Slovakia, Hungaria, Rusia, Belgia. Swiss juga sudah mengadopsi GNSS. European Global Navigation Satellite System Agency dalam laporannya berjudul GNSS Adoption For Road User Charging In Europe 2015 menyebutkan di Swiss, manfaat penerapan ERP berbasis GNSS berhasil mengurangi volume truk yang melintas di jalan raya.

 
 

Sistem ERP di Swiss tersebut berjalan baik dan biaya operasionalnya rendah hanya 5 persen dari pendapatan. Biaya transportasi menjadi efisien, rata-rata hanya 1-2 persen terhadap harga di konsumen. Dampaknya terhadap inflasi juga relatif rendah hanya 0,11 persen.

Keandalan GNSS membuat negara-negara lain di Eropa dan juga Asia mulai melirik ERP berbasis satelit. Bulgaria telah meminta masukan dari Bank Dunia dan lembaga donor ini merekomendasikan pengendalian truk berat dengan ERP berbasis GNSS. Bulgaria akan mengadopsinya pada 2018.

Studi NUS menyebutkan Republik Ceko, Lithuania, Norwegia, Polandia, Slovenia, Spanyol, Swedia, dan Denmark mulai mempertimbangkan teknologi GNSS sebagai solusi ERP di masa mendatang. Negara-negara di Eropa tersebut bersiap-siap meninggalkan DSRC. (lihat : Ramai-ramai Berpaling ke Teknologi Satelit)

Kota London yang menjadi acuan penerapan ERP berbasis ANPR juga sudah melirik GNSS. Pada 2005, otoritas kota London mulai melakukan kelayakan uji coba GNSS dalam sistem ERP-nya. Bahkan Singapura sudah memutuskan menggunakan GNSS untuk menggantikan DSRC yang dianggap sudah usang. ERP di Singapura berbasis GNSS (ERP2) ini akan mulai 2018 dan beroperasi penuh pada 2020. Penggunaan GPS (satelit) di Singapura juga sebelumnya sudah diuji cobakan pada autonomous taxy (car). Singapura pun menjadi negara pertama di dunia yang melakukan uji coba mobil tanpa sopir ini pada kendaraan komersial.

Solusi Terbaik

Dengan segala kelebihannya, hasil kajian NUS menyebutkan GNSS menawarkan platform superior untuk ERP. Atas dasar itulah, NUS menilai teknologi satelit (GNSS) merupakan solusi terbaik untuk ERP Jakarta.

 Dengan segala kelebihannya, hasil kajian NUS menyebutkan GNSS menawarkan platform superior untuk ERP. Atas dasar itulah, NUS menilai teknologi satelit (GNSS) merupakan solusi terbaik untuk ERP Jakarta.

 Penilaian NUS bukan tanpa dasar. Dalam kajiannya NUS menyebutkan penerapan ERP berbasis DSRC di Jakarta akan membutuhkan banyak gantry. Misalnya untuk koridor I (Blok M – Jakarta Kota) sedikitnya perlu ada 50 gantry. Pembangunan gantry selain memakan banyak lahan dan mahal, biaya pengoperasian dan perawatannya pun tinggi.

Pemda DKI Jakarta telah mengidentifikasi Jalan Jendral Sudirman paling potensial menjadi zona ERP. Kajian NUS menyebutkan ada sekitar 100 jalan kecil atau persimpangan (jalan tikus) menuju Jalan Sudirman sepanjang 12 km. Dengan ERP berbasis DSRC maka sedikitnya perlu ada 5-6 gantry kecil untuk meng-cover 1-2 jalan kecil menuju kawasan Sudirman. (lihat gambar 1)

 
 Gambar 1. Perkiraan Pembangunan Gantry di Jalan Sudirman

Pembangunan gantry bukan saja bisa mengganggu kelancaran lalu lintas dan para pengendara, tapi juga bisa merusak jaringan utilitas perkotaan seperti pipa gas, jaringan listrik, air ledeng dan drainase. Fasilitas publik ini perlu direlokasi (ditata ulang) sehingga membutuhkan biaya tambahan yang tidak sedikit dan tidak mudah memutuskan pihak yang harus menanggung biaya tambahan ini. Waktu pembangunan gantry pun menjadi berlarut-larut dan lebih lama. Dampaknya implementasi penerapan ERP juga molor.

Sebaliknya, penerapan ERP berbasis satelit GNSS tidak perlu mengubah jaringan utilitas perkotaan. Walhasil periode penerapan sistem ERP berbasis GNSS akan lebih cepat (sekitar 2-3 tahun) dibanding ERP berbasis DSRC yang membutuhkan waktu minimal 5 tahun.

Kajian NUS menilai implementasi ERP berbasis GNSS di Singapura (ERP2) terkendala oleh infrastruktur warisan dari ERP sebelumnya (ERP berbasis DSRC/ERP1). Migrasi dari ERP1 ke ERP2 memerlukan proses yang bertahap. Untuk transisi saja dibutuhkan waktu sedikitnya 18 bulan sebelum ERP1 sepenuhnya dihapus pada 2020.

Jakarta, dalam kajian NUS disebutkan tidak menghadapi problem warisan infrastruktur ERP seperti di Negeri Singa. Walhasil penerapan ERP berbasis GNSS di Jakarta lebih fleksibel dan bisa lebih cepat dibanding Singapura.

Catatan penting lainnya, zona ERP di Jakarta diyakini tidak hanya berlaku di jalan protokol seperti Jalan Sudirman dan Jalan H.R Rasuna Said, tapi juga bisa diperluas ke jalan lainnya. Saat ada penambahan zona jalan berbayar, sistem ERP berbasis DSRC harus mengeluarkan lagi biaya pengembangan infrastruktur.

Kondisi itu tidak akan terjadi pada sistem ERP berbasis GNSS. Menurut kajian NUS, total cost of ownership (TCO) ERP berbasis satelit dalam jangka panjang menjadi lebih murah dibanding ERP berbasis DSRC ketika terjadi penambahan zona jalan berbayar.