Hasto Wardoyo tak menyentuh satu pun dari sederet air mineral kemasan yang disuguhkan pramusaji. Di acara “Indonesia Development Forum” yang diselenggarakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Ritz Carlton Hotel, Kuningan, Jakarta, awal pekan lalu, Bupati Kulonprogo ini membawa bekal penghilang dahaga sendiri.

Bak Mahapatih Majapahit, Gadjah Mada, yang mengeluarkan sumpah Palapa, kepada sekitar 400 peserta acara -ada pula Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya- Hasto mengikrarkan “janji sucinya”. “Saya bersumpah tidak mau minum air selain AirKu.”

AirKu merupakan minuman mineral kemasan produksi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kulonprogo. Hasto memang mendorong badan usaha daerah itu untuk membuat air konsumsi, selain menyediakan air bersih untuk keperluan rumah tangga sehari-hari. Tepatnya, ia memaksa dengan menjadikan jabatan direksi PDAM sebagai pertaruhan bila tak bisa memproduksinya.

Hasto, yang memasuki priode kedua memimpin kabupaten di Yogya karta itu (2017-2022), memang ingin membuat daerahnya makin mandiri. Ia mulai serius menggarap beberapa ceruk bisnis. Dengan menimbang konsumsi masyarakat Kulonprogo hingga enam juta gelas air mineral sebulan, ia berharap dua juta gelas akan terpenuhi oleh AirKu (Air Kulonprogo).

“Karena orang kita ini miskin tapi nggaya, sudah tidak mau merebus air,” ujar Hasto dengan logat Jawa yang kental.

Ilustrasi Air Mineral AirKu (Katadata)

Tak hanya soal air mineral, dokter kandungan ini pun memimpikan daerahnya memiliki gerai kopi selevel Starbucks. Karenanya, anak buahnya pun diminta membuat brand kopi sendiri, termasuk gerainya. Ia menamakan StarProg.

Kopi tersebut merupakan hasil hilirisasi komoditas yang dikembangkan warga Kulonprogo. Dia mengatakan StarProg merupakan kepanjangan dari Starbucks Kulonprogo. Targetnya, StarProg dapat bersaing dengan gerai kopi internasional tersebut, bukan saja di perkampungan, juga menjajakannya di tempat yang lebih besar seperti sejumlah bandara.

(Baca juga: Libatkan Ahli Jepang, Bandara Kulon Progo Tahan Gempa & Tsunami).

Langkah fenomenal alumni Universitas Gadjah Mada ini yakni mendirikan “Tomira” atau Toko Milik Rakyat. Bak seorang salesman, Hasto memaparkan toko ini berkembang dengan mewajibkan gerai retail besar seperti Alfamart dan Indomaret menjajakan komoditas yang dihasilkan masyarakat Kulonprogo.

Di sini, pemilik retail yang ingin membangun toko harus mengajak koperasi lokal dengan skema bagi hasil berkurun tiga tahun. “Misalkan, setiap toko ada 400 produk, masyarakat Kulonprogo bisa mengisi 20 produk,” papar Hasto.

Sayangnya, sejumlah testimoni masyarakat menyebutkan produk Tomira masih kurang laku dibandingkan dengan buatan pabrikan besar. Di antaranya karena harga untuk barang yang sama masih lebih mahal.

Tomira - Indomaret (Katadata | Istimewa)

Upaya lain untuk menggerakkan ekonomi daerahnya mewajibkan pelajar membeli batik motif khas Kulonprogo: Geblek Renteng. Dengan sekitar 80 ribu siswa sekolah di Kulonprogo, tentu usaha kecil dan  menengah yang memproduksinya akan terdongkrak. Ia menamakan gerakan ini sebagai “Bela Beli Kulonprogo”.

Mengenai sejarah motifnya, Hasto memberikan sedikit cerita. “Kami adakan kontes desain dan yang menang kami namakan Geblek Renteng,” kata dia merujuk nama motif yang seperti ketela goreng terikat. (Lihat pula: Jokowi Minta Bandara Kulonprogo Beroperasi April 2019).

Bukan saja memberdayakan ekonomi, dia juga melarang iklan rokok dalam bentuk baliho hingga billboard. Dalam hitungan Hasto, penduduk Kulonprogo setahun menghabiskan Rp 96 miliar untuk membeli rokok. Padahal, belanja kesehatan di sana lebih rendah dari jumlah itu. Atas dasar itu, dia memutuskan untuk mengeluarkan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok.

Ketika hendak mengeluarkan aturan tersebut tentu tidak mudah. Apalagi mitra strategisnya mulai di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hingga PDI P, partai tempatnya bernaung, hampir dipenuhi para perokok. Setengah bercanda, Hasto kemudian menegur rekan-rekannya.

“Saya tanya, apa kamu cita-citanya jadi perokok? Dia bilang tidak. Berarti, biar bibirmu sakit hatimu masih waras. Akhirnya perda-nya bisa keluar,” kata Hasto yang disambut tawa hadirin.

(Lihat pula: Pemerintah Genjot Pembangunan Tiga Destinasi Wisata).

Hasto memiliki alasan serius mengapa kebijakan yang kurang populis ia ambil. Ini karena kemiskinan dan ketimpangan masih melanda Kulonprogo. Menurut Hasto, cara untuk mengentaskan permasalahan ketimpangan tersebut harus menyasar kemandirian serta mewujudkan ekonomi daerah yang berdikari.