Cerita Putri Mandalika Beralih Jadi Tradisi Tangkap Cacing

Katadata
ilustrasi Tradisi Nyale, Tradisi Menangkap Cacing Laut Masyarakat Lombok
Penulis: Tifani
Editor: Intan
8/9/2022, 16.08 WIB

Cerita Putri Mandalika atau lebih dikenal sebagai Mandalike merupakan legenda yang berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Cerita Putri Mandalika menjadi asal usul tradisi menangkap cacing laut masyarakat Lombok. Dalam cerita Putri Mandalika, pada zaman dahulu ada kerajaan yang bernama kerajaan “Sekar Kuning” dari Negeri Tonjeng Beru.

Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Panji Kusuma, terkenal dengan sebutan nama Raja Tonjeng Beru dan permaisurinya bernama Dewi Seranting. Raja Raden Panji Kusuma merupakan raja yang bijaksana rakyatnya hidup makmur, dan sejahtera. Kerajaan tersebut sangatlah tentram dengan rakyat yang juga makmur.

Dilansir dari laman Warisanbudaya.kemdikbud.go.id, suatu hari Ratu Dewi Seranting, melahirkan seorang anak yang berparas cantik dan diberi nama Putri Mandalika. Putri Mandalika dikenal sebagai sosok yang sangat cantik, kecantikannya bahkan dikenal hingga ke pelosok negeri. Cerita Putri Mandalika tidak hanya dikenal sebagai sosok yang cantik, melainkan tutur katanya lembut dan bahasanya sopan, serta suka menolong.

Putri Mandalika juga tidak sombong dan merakyat, jika berpapasan dengan rakyatnya Putri Mandalika selalu menyapa dengan ramah dan santun. Keluhuran jiwanya, kemurahan hatinya dan kecantikannya membuat Putri sangat disayang sama semua rakyatnya. Para pangeran dari berbagai kerajaan banyak yang ingin mempersunting sang putri.

Putri Mandalika pun akhirnya bertapa untuk meminta petunjuk. Lalu setelah bertapa, putri mengundang seluruh pangeran yang ingin melamarnya untuk berkumpul pada tanggal 20 bulan 10 pada penanggalan Sasak. Para pangeran diminta berkumpul di Pantai Seger, yang saat ini lebih dikenal sebagai Pantai Kuta, Lombok, pada pagi buta sebelum adzan Subuh berkumandang.

Kemudian pada hari yang ditentukan para pangeran mulai berkumpul untuk melamar Putri Mandalika. Saat matahari berada di ufuk timur, puteri bersama raja dan ratu serta pengawal datang menemui mereka. Putri Mandalika terlihat cantik karena menggunakan bahan sutra. Penampilan putri membuat para pangeran makin terpikat karena parasnya yang cantik dan dengan balutan sutra.

Setelah itu Putri Mandalika naik ke atas Bukit Seger ditemani pengawal. Dari atas bukit, putri menyampaikan pesan pada semua yang hadir di Pantai Seger. Ia berencana menerima semua pinangan pelamar.

Putri  Mandalika mengambil keputusan tersebut supaya ketentraman dan kedamaian pulau tidak rusak karena perselisihan. Pengumuman tersebut membuat semua peserta heran, karena bagaimana bisa Putri Mandalika menerima lamaran dari semua pangeran yang melamarnya. Kemudian Putri Mandalika menjatuhkan diri ke laut dan hanyut ditelan ombak.

Melihat kejadian itu, para pangeran yang hadir berusaha mencari Putri, namun tidak ditemukan. Setelahnya, muncul binatang-binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak. Binatang tersebut menyerupai cacing yang amat panjang.

Masyarakat Lombok menyebutnya nyale. Perbuatan putri sangat dikenang masyarakat Lombok. Oleh karena itu dibuat Upacara Nyale atau Bau Nyale, upacara dilakukan pada Februari hingga Maret, setiap tahun.

Dalam tradisi Nyale di Lombok, Nusa Tenggara Barat, masyarakat Suku Sasak (Majelis Sasak Lombok) menggunakan perhitungan Rowot. Penanggalan Kalender Rowot telah menjadi penentu puncak Bau Nyale sejak dari dulu yang sudah sangat dipercaya. Dinamai kalender rowot karena berasal dari cerita Putri Mandalika.

Dalam kisah tersebut, Putri yang terjun ke laut malah diangkat ke langit menjadi rasi bintang Rowot. Perhitungan Rowot pada Suku Sasak, yaitu sistem penanggalan yang memperhitungkan pergerakan bulan, bintang (Pleiades), dan matahari. Bau Nyale terdiri dari dua kata, yaitu Bau yang artinya menangkap dan Nyale adalah cacing laut sejenis filum annelida.

Tradisi Bau Nyale adalah tradisi turun temurun masyarakat Lombok Tengah yang telah berusia ratusan tahun. pada umumnya setelah tradisi Nyale selesai akan dilanjutkan dengan mepaosan. Dalam tradisi ini dimulai dengan pembacaan lontar yang dilakukan tokoh adat sehari sebelum pelaksanaan tradisi. Mepaosan dilakukan di bangunan tradisional tiang empat yang disebut Bale Saka Pat.

Pembacaan lontar dilakukan dengan tembang pupuh atau nyanyian tradisional, dengan urutan Pupuh Smarandana, Pupuh Sinom, Pupuh Maskumandang, dan Pupuh Ginada. Proses tradisi Bau Nyale menggunakan berbagai perlengkapan, yaitu daun sirih, kapur, dua buah gunungan yang berisi jajan tradisional khas Sasak, kembang setaman dengan sembilan jenis bunga, serta buah-buahan tradisional.

Upacara digelar pada dini hari sebelum masyarakat turun ke laut untuk menangkap nyale. Upacara dilakukan para tokoh adat. Upacara dinamakan Nede Rahayu Ayuning Jagad. Prosesi dilakukan dengan cara para tetua adat berkumpul dalam posisi melingkar dan ditengah-tengahnya diletakkan jajanan dalam bentuk gunungan.