Mengenal Sejarah Tradisi Karapan Sapi Khas Masyarakat Madura

ANTARA FOTO/Saiful Bahri/
Joki memacu sapi saat latihan karapan sapi di Desa Durbuk, Pamekasan, Jawa Timur, Minggu (19/4/2020). Latihan tersebut merupakan uji coba terakhir menjelang bulan puasa dan dilaksanakan kembali pada pertengahan bulan Ramadan.
Penulis: Tifani
Editor: Intan
19/9/2022, 10.11 WIB

Tradisi Karapan Sapi merupakan perlombaan pacuan sapi, yang menjadi ciri khas masyarakat Suku Madura. Beberapa kota di Madura menggelar tradisi Karapan Sapi pada Agustus atau September. Kemudian pelaksanaan babak final akan digelar pada akhir September atau Oktober.

Biasanya, gelaran final tradisi Karapan Sapi diadakan di bekas Kota Karesidenan, Pamekasan, untuk memperebutkan piala bergilir presiden yang saat ini berganti menjadi piala gubernur. Pada perlombaan tersebut, sepasang sapi menarik sejenis kereta dari kayu tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi itu.

Pasangan sapi dipacu untuk adu cepat melawan pasangan-pasangan lain. Trek pacuan yang digunakan dalam tradisi Karapan Sapi ini biasanya hingga 100 meter dan perlombaan akan berlangsung sekitar sepuluh detik hingga satu menit.

Tidak hanya perlombaan, tradisi Karapan Sapi menjadi ajang pesta rakyat dan acara yang prestisius bagi masyarakat Madura. Bahkan status sosial pemilik sapi karapan terangkat jika sapinya menjadi juara. Pasalnya, hewan ini sering dijadikan bahan investasi dengan cara dilatih dan dirawat sebelum bertanding. Dengan begitu, sapi karapan akan menjadi sehat, kuat, dan bisa memenangi perlombaan.

Biaya pemeliharaan sepasang sapi karapan bahkan cukup fantastis, berkisar antara Rp 4 juta hingga Rp 25 juta rupiah per bulanya. Biaya tersebut digunakan untuk membeli pakan, obat-obatan maupun pemeliharaan lainnya. Terkadang sapi karapan diberi aneka jamu dan puluhan telur ayam per hari, terutama menjelang diadu di arena perlombaan.

Tradisi Karapan Sapi banyak melibatkan masyarakat luas. Di antaranya pemilik sapi pacuan, tukang tongko yang bertugas mengendalikan sapi pacuan di atas kaleles. Ada juga tukang tambeng yang menahan tali kekang sapi sebelum dilepas.

Selanjutnya, terdapat tukang gettak yang bertugas menggertak sapi agar saat diberi aba-aba dapat melesat cepat, serta tukang tonja yang menarik dan menuntun sapi. Terakhir, ada tukang gubra yang bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapi pacuan.

Prosesi Karapan Sapi

Sebelum tradisi Karapan Sapi dimulai, pasangan-pasangan sapi diarak mengelilingi arena pacuan dengan iringan gamelan Madura. Selain untuk melemaskan otot-otot sapi, proses ini menjadi arena pamer keindahan pakaian dan hiasan dari sapi yang berlomba. Setelah parade selesai, barulah pakaian dan seluruh hiasan dibuka.

Setelah itu, perlombaan pacuan sapi ini akan dimulai. Pertama dimulai untuk menentukan klasemen peserta. Pada babak ini, peserta akan mengatur strategi agar sapi pacuan mereka masuk ke kelompok 'atas' agar pada babak selanjutnya (penyisihan), bisa berlomba dengan sapi pacuan kelompok 'bawah'.

Kemudian babak penyisihan terbagi menjadi babak pertama, kedua, ketiga, dan keempat atau babak final. Dalam babak penyisihan ini, permainan memakai sistem gugur. Jadi, sapi-sapi pacuan yang sudah kalah tidak bisa mengikuti pertandingan babak selanjutnya.

Sedangkan sapi pacuan yang menjadi pemenang akan berhadapan lagi dengan pemenang dari pertandingan lainnya. Begitu seterusnya hingga tersisa satu sapi karapan sebagai pemenang.

Jika diperhatikan, Karapan Sapi tak sekadar perlombaan, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti kerja keras, kerja sama, sportivitas, persaingan, dan ketertiban.

Dilansir dari laman Kemdikbug.go.id, kemunculan tradisi Karapan Sapi tidak dapat dipisahkan dari kondisi tanah di Madura yang kurang subur. Dengan kondisi alam tersebut, maka masyarakat Madura lebih memilih menjadi nelayan atau beternak sapi daripada menjadi petani. Bagi masyarakat peternak, sapi-sapi itu juga dimanfaatkan untuk membajak sawah atau ladang. Masyarakat Madura sudah mengenal Karapan Sapi dari waktu yang cukup lama.

Ada juga yang menyebut sejarah tradisi Karapan Sapi disebut berkaitan dengan seorang ulama Sumenep bernama Syekh Ahmad Baidawi. Ahmad Baidawi alias Pangeran Katandur ini memperkenalkan cara bercocok tanam dengan sepasang bambu yang ditarik oleh dua ekor sapi. Awalnya, Karapan Sapi ini digelar untuk memperoleh sapi kuat yang bisa membajak sawah. Namun lambat laun Karapan Sapi ini menjadi ajang perlombaan hingga saat ini.

Jenis-jenis Karapan Sapi

Tradisi Karapan Sapi terdiri dari beberapa jenis, mulai dari karapan kecil tingkat kecamatan, hingga Karapan tingkat karesidenan yang diikuti oleh para juara tiap wilayah dan menjadi puncak acara. Masing-masing jenis tradisi Karapan Sapi ini juga berdasarkan pada lingkup perlombaan dan panjang lintasan.

Kerrap Keni

Kerrap Keni atau karapan kecil merupakan nama untuk salah satu jenis Karapan Sapi. Kerrap Keni digelar di tingkat kecamatan atau kelurahan dengan lintasan pacu sepanjang 100 meter. Pemenang Kerrap Keni akan mendapatkan hak untuk mengikuti Karapan Sapi di tingkat yang lebih tinggi.

Kerrap Rajah

Para juara Kerrap Keni akan berlomba di Kerrap Rajah atau karapan besar ini yang lingkupnya berada di tingkat kabupaten/kota. Adapun panjang lintasan Karapan Sapi jenis ini mencapai 120 meter.

Kerrap Gubeng

Kerrap Gubeng atau Kerrap Karesidenan dilaksanakan di tingkat eks Karesidenan Madura. Peserta dalam Kerrap Gubeng ini merupakan para pemenang dari Kerrap Rajah. Karapan Sapi jenis ini diselenggarakan pada hari Minggu sebagai acara puncak untuk mengakhiri musim karapan. Selain ketiga jenis itu, masih ada beberapa jenis Karapan Sapi lain seperti Kerrap Onjangan atau Undangan dan Kerrap Ajar-ajaran atau latihan.