Joe Biden Ultimatum Israel untuk Ubah Kebijakannya di Gaza

ANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Lamarque/WSJ/cf
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memberikan ultimatum kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk melindungi warga sipil dan pekerja bantuan di Gaza.
Penulis: Hari Widowati
5/4/2024, 13.16 WIB

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memberikan ultimatum kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Ia mendesak Israel untuk melindungi warga sipil Palestina dan pekerja bantuan asing di Gaza atau Washington akan mengurangi dukungannya kepada Israel dalam perangnya melawan militan Hamas.

Pesan tersebut disampaikan setelah berbulan-bulan AS menyerukan agar Israel mengubah taktik militernya yang telah menewaskan puluhan ribu warga Palestina. Dunia mengecam Israel atas serangan yang menewaskan tujuh pekerja bantuan World Central Kitchen (WCK), sebuah badan amal yang mengirimkan makanan untuk korban bencana alam dan perang di seluruh dunia. Israel mengakui bahwa serangan tersebut adalah sebuah kesalahan.

Gedung Putih tidak mengatakan secara pasti langkah apa yang mereka inginkan untuk diambil Netanyahu, atau sanksi apa yang akan dilakukannya jika Netanyahu gagal mengambil langkah tersebut. Namun, para analis mengatakan bahwa ancaman tersiratnya adalah untuk memperlambat transfer senjata AS ke Israel atau meredam dukungan AS di PBB.

"Ini adalah momen 'titik balik' yang bisa Anda dapatkan," kata analis Steven Cook dari lembaga pemikir Dewan Hubungan Luar Negeri, seperti dikutip Reuters, Kamis (4/4).

Dennis Ross, seorang diplomat veteran AS yang sekarang bekerja di Washington Institute for Near East Policy mengatakan Biden meminta Netanyahu memenuhi kebutuhan kemanusiaan di Gaza atau AS akan menyetop bantuan militer untuk Israel.

Biden, yang akan mencalonkan kembali pada Pemilu November mendatang, berjuang untuk menyeimbangkan tekanan untuk mengendalikan Netanyahu dari para anggota Partai Demokrat progresif yang kecewa dengan jumlah korban tewas warga sipil Palestina. Sejauh ini, Netanyahu menolak untuk menetapkan syarat-syarat transfer senjata.

Perang dimulai setelah serangan Hamas pada 7 Oktober terhadap Israel yang menewaskan 1.200 orang. Serangan ini memicu invasi Israel yang telah menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza yang padat penduduknya. Sekitar 2,3 juta orang penduduk Gaza harus mengungsi.

Kementerian Kesehatan di Gaza menyatakan lebih dari 33.000 warga Palestina telah tewas akibat serangan Israel. Sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Israel menuduh Hamas menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia.

Gedung Putih mengatakan bahwa Biden meminta Israel untuk mengumumkan dan menerapkan serangkaian langkah spesifik, konkret, dan terukur untuk mengatasi kerugian warga sipil, penderitaan kemanusiaan, dan keselamatan para pekerja bantuan.

"Ia menegaskan bahwa kebijakan AS terkait Gaza akan ditentukan oleh penilaian kami terhadap tindakan segera Israel atas langkah-langkah tersebut," Gedung Putih menambahkan dalam sebuah pernyataan.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken lebih blak-blakan. "Dengar, saya hanya akan mengatakan ini: jika kita tidak melihat perubahan yang perlu kita lihat, akan ada perubahan dalam kebijakan AS (terhadap Israel)," ujarnya.

Pada Kamis (4/4) malam, hanya beberapa jam setelah Biden menelepon Netanyahu, pemerintah Israel mengumumkan beberapa langkah untuk meningkatkan aliran bantuan ke Gaza. Mereka akan membuka pelabuhan Ashdod dan penyeberangan Erez ke Gaza utara dan meningkatkan pengiriman bantuan dari Yordania. Namun, tidak jelas apakah langkah-langkah tersebut akan cukup untuk memenuhi tuntutan AS.

Titik Balik bagi Biden

Serangan mematikan Israel terhadap para pekerja dari kelompok amal WCK milik koki selebritas Jose Andres menjadi titik balik bagi Biden, yang selama ini merupakan pendukung setia Israel.

Serangan tersebut terjadi ketika pemerintahan Biden telah meningkatkan tekanan terhadap Israel untuk mempertimbangkan alternatif serangan darat yang terancam di kota Rafah, Gaza Selatan. Rafah merupakan tempat perlindungan terakhir yang relatif aman bagi warga sipil di daerah kantung pantai tersebut.

Seorang sumber Reuters yang mengetahui pembicaraan tersebut mengatakan bahwa pembicaraan selama 30 menit itu berlangsung tegang. Biden mengutarakan keprihatinannya sedangkan Netanyahu membela pendekatannya terhadap Gaza.

Seorang pejabat senior Gedung Putih menggambarkan pembicaraan tersebut sebagai pembicaraan yang "sangat langsung dan sangat lugas". Ia menyebut pembicaraan tersebut melibatkan Wakil Presiden Kamala Harris, Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan, dan Blinken.

"Kami membutuhkan rencana komprehensif agar Israel dapat melakukan pekerjaan yang lebih baik di sini. Mereka tidak boleh membunuh para pekerja bantuan kemanusiaan dan warga sipil," ujar pejabat senior itu kepada Reuters.

Meskipun Biden telah lama menghindari pengurangan dukungan AS untuk Israel, ia mungkin telah mencapai batas kesabarannya. "Akan selalu ada titik di mana pemerintahan Biden merasa bahwa biaya domestik dan internasional untuk mendukung kampanye Israel di Gaza lebih besar daripada manfaat yang bisa dicapai Israel di lapangan," kata Mike Singh, mantan pejabat Dewan Keamanan Nasional untuk Timur Tengah.

Singh, yang kini bekerja di Washington Institute for Near East Policy, mengatakan jika Israel tidak memenuhi persyaratan Biden, langkah yang paling mungkin dilakukan adalah AS merundingkan resolusi Dewan Keamanan PBB, seperti mengakhiri konflik Israel-Hizbullah pada 2006.

"Menetapkan syarat-syarat pada transfer senjata lebih penuh dengan risiko politik, kemungkinan besar akan menghadapi tentangan keras di Capitol Hill, dan dapat membuat Israel rentan terhadap serangan Hizbullah atau proksi Iran lainnya," ujar Singh.

Namun, Biden mungkin telah mengirim telegram pemikirannya bulan lalu setelah mengatakan bahwa invasi Israel di Rafah akan menjadi "garis merah". Dia tidak mengatakan akan memotong semua (pasokan) senjata sehingga Israel tidak lagi memiliki Iron Dome (sistem pertahanan rudal) untuk melindungi mereka.

Dia tidak secara eksplisit memberikan jaminan seperti itu tentang senjata ofensif. Hal ini memicu spekulasi bahwa dia dapat memberlakukan persyaratan pada transfer senjata semacam itu ke Israel.

Jonathan Panikoff, mantan wakil kepala intelijen nasional untuk Timur Tengah, mengatakan bahwa Biden tidak mungkin mengambil tindakan drastis yang dapat merusak hubungan AS-Israel, seperti menahan pembelian senjata-senjata besar atau sepenuhnya meninggalkan Israel di PBB.

Namun, ia dapat memberikan persyaratan untuk barang-barang militer yang lebih kecil. AS juga dapat mengambil tindakan lebih lanjut terhadap para pemukim Yahudi ekstremis yang terlibat dalam serangan terhadap warga Palestina di Tepi Barat.

"Kekecewaan Biden terhadap bagaimana perang ini dilakukan, dan terhadap Perdana Menteri Netanyahu sendiri, telah mencapai puncaknya," kata Panikoff.