EDISI KHUSUS | Jelajah Jalan Raya Pos

Mengenal Islam Melalui Ragam Wisata Religi Cirebon

wikipedia
Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan salah satu tempat wisata religi Cirebon.
Editor: Redaksi
13/8/2021, 11.45 WIB

Cirebon tak lepas dari pengaruh Islam. Kota ini menjadi persinggahan para pedagang asing melalui jalur perlintasan perdagangan yang dikenal mancanegara. Keberhasilan penyebaran Islam di Cirebon tidak lepas dari kiprah Walangsungsang, yakni pendirian Keraton Pakungwati.

Keraton tersebut kemudian berkembang menjadi Kesultanan Cirebon yang merupakan simbol kejayaan Islam pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Peran ulama sebagai penyebar Islam menjadi titik awal perkembangan agama ini di Cirebon.

Peninggalan sejarah Islam di Cirebon merupakan bukti berkembangnya agama Islam, sehingga terdapat banyak masjid yang berfungsi sebagai sarana ibadah, sosial, pendidikan, dan politik. Para ulama pada zaman kerajaan dahulu juga dimakamkan di beberapa tempat di Cirebon untuk mengenang jasa mereka.

Kesultanan Cirebon dahulu erat berhubungan dengan Kesultanan Demak dan Kesultanan Banten sehingga budaya Islam tumbuh pesat di kota ini. Oleh sebab itu, wisata religi merupakan salah satu daya tarik Kota Cirebon.

Saat ke Cirebon, mengunjungi tempat wisata religi dapat dijadikan pilihan untuk memperluas pengetahuan sekaligus memahami sejarah islam di sana. Jangan lewatkan ragam wisata religi Cirebon berikut ini.

1. Keraton Kasepuhan

Keraton Kasepuhan adalah keraton tertua di Kota Cirebon. Saat ini masih digunakan sebagai kediaman Sultan Kasepuhan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Keraton Kasepuhan dibangun pada tahun 1447 dan memiliki desain perpaduan gaya Sunda, Jawa, Islam, Cina, dan Belanda. Walaupun Sultan Kasepuhan masih tinggal dalam keraton, beberapa bagian keraton dibuka untuk umum.

Keraton Kasepuhan berhubungan langsung dengan sejarah awal terbentuknya Kota Cirebon. Keraton ini memiliki sejarah masuknya berbagai suku, agama dan budaya di Cirebon. Hal tersebut dapat dilihat saat awal perkembangan Keraton Kasepuhan dari Padepokan Pakungwati hingga menjadi Keraton Kasepuhan.

Keraton Kasepuhan memiliki kompleks Siti Hinggil yang memiliki lima bangunan tanpa dinding, dengan bangunan utama bernama Malang Semirang. Bangunan ini memiliki enam tiang yang melambangkan rukun iman.

Secara keseluruhan, bangunan tersebut memiliki tiang berjumlah dua puluh yang melambangkan sifat-sifat Tuhan. Ada pula gapura bergaya Majapahit. Kata gapura sendiri berasal dari bahasa arab, yaitu Al Ghafur yang berarti maha pengampun.

Pengunjung Keraton Kasepuhan juga dapat menyaksikan kereta keraton dan benda-benda pusaka di gedung museum yang juga menyimpan peninggalan bersejarah Sunan Gunung Jati, salah satu anggota Wali Songo yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Cirebon.

2. Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon masih berada dalam kawasan kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon, tepatnya di sebelah barat alun-alun Kasepuhan. Secara administratif, masjid ini berada di Jalan Keraton Kasepuhan 43, Kelurahan Kesepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Jawa Barat, Indonesia.

Islam berkembang pesat saat Sunan Gunung Jati menjadi raja di Cirebon sekaligus seorang anggota Wali Songo. Dengan demikian, segala aktivitasnya tentu tidak terlepas dari upaya menyebarkan agama Islam. Oleh sebab itu, pada tahun 1480 M, Sunan Gunung Jati mendirikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa, merupakan gagasan Sunan Gunung Jati saat beliau berkunjung ke Demak dan melihat Masjid Agung Demak. Beliau kemudian berkonsultasi dengan Raden Fatah, Sultan Demak saat itu dan mendapat restu.

Dalam membangun Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Sunan Gunung Jati dibantu oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Sementara arsitek dari masjid tersebut bernama Raden Sepat, mantan arsitek Kerajaan Majapahit.

Raden Sepat membuat ruang utama di dalam masjid dengan luas 400 meter dan kemudian meluruskan atau mengarahkan tempat pengimaman ke arah kiblat dengan tingkat kemiringan 300 ke arah barat laut.

Sunan Gunung Jati menjadikan masjid tersebut sebagai pusat dakwah Islam. Arsitektur bangunan masjid ini bercorak akulturasi budaya Hindu, Jawa, dan Cina. Hal tersebut bisa dilihat dari bangunan pagar yang berbentuk punden berundak khas Hindu, aksen bertumpuk khas Jawa, serta hiasan keramik dari Cina.

Pada dinding barat di ruang utama Masjid Agung Sang Cipta Rasa, terdapat bagian menonjol yang disebut mihrab berukuran 244 x 140 x 250 cm. Pada bagian mihrab masjid ada ukiran berbentuk bunga teratai yang dibuat oleh Sunan Kalijaga. Ada pula tiga buah ubin bertanda khusus yang melambangkan tiga ajaran pokok agama, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.

Hingga kini, Masjid Agung Sang Cipta Rasa masih dirawat dan dilestarikan dengan baik sebagai tempat untuk beribadah, seperti sholat, itikaf, berdoa, tahlilan, dan kegiatan religius islam lainnya.

3. Masjid Raya At-Taqwa

Sunan Gunung Jati semasa hidupnya telah banyak memiliki gagasan yang erat dengan pengembangan syiar Islam, seperti dalam bidang pembangunan tajug yaitu masjid kecil dan sederhana.

Salah satunya adalah Tajug Agung yang kini berubah nama menjadi Masjid Raya At-Taqwa Cirebon. R. M. Arhatha, yang dulu menjabat sebagai kepala Koordinator Urusan Agama Kota Cirebon mempunyai gagasan untuk merenovasi Tajug Agung menjadi Masjid At-Taqwa.

Pada waktu itu, sudah ada Masjid Agung Sang Cipta Rasa sehingga Tajug Agung tidak dibenarkan memiliki nama yang sama pada dua masjid berbeda yang letaknya masih dalam satu kota.

Akhirnya pada tahun 1951 terwujudlah bangunan masjid baru yang diresmikan menjadi Masjid Raya At-Taqwa tahun 1963. Masjid ini memiliki ciri khas gaya arsitektur Islam Jawa dengan atap jurai dan dilengkapi dengan empat menara kecil dan menara utama setinggi 65 meter.

Prasasti warna emas dengan kaligrafi syahadat dua kalimat mendominasi fasad dapat ditemukan dalam masjid ini. Prasasti tersebut terbuat dari semen yang diperkuat dengan kaca di atas granit asli dari Brasil. Prasasti tersebut dibingkai berwarna putih sehingga semakin menonjolkan warna emas gerbang.

Terdapat enam tiang lampu taman yang menghiasi pintu masuk gerbang. Seluruh lantai dan dinding masjid menggunakan batu granit, begitu juga dengan tiang-tiang yang ada di dalam masjid.

Tiang-tiangnya dihiasi dengan ornamen arsitektur Islam. Berbeda dengan bangunan lain, dindingnya tidak dilengkapi jendela berlapis kaca. Jendela-jendela besar dibiarkan terbuka agar udara masuk dan keluar masjid dengan lancar.

Keteduhan Masjid Raya At-Taqwa semakin terasa saat di luar masjid terdapat 10 pohon kurma di halaman samping yang dekat dengan jalan, serta dilengkapi dengan dua air mancur di kedua sisinya.

4. Makam Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati adalah salah satu anggota Wali Songo, atau sembilan wali Islam yang dihormati di Indonesia. Ia mendirikan Kesultanan Banten, serta Kesultanan Cirebon di pantai utara Jawa.

Sunan Gunung Jati terlahir dengan nama Syarif Hidayatullah pada tahun 1448 M, Ia merupakan anak dari perkawinan dinasti antara Syarif Abdullah Maulana Huda, seorang Mesir keturunan Hasyim, dan Nyai Rara Santang, putri Prabu Siliwangi, Raja Sunda (Pajajaran).

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati dapat mengklaim keturunan di pihak ayah, dari nabi Islam Muhammad, dan di pihak ibu, seorang Dewaraja Hindu dari Kerajaan Sunda.

Beberapa sumber mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati lahir di Pasai, salah satu pusat Islam paling awal di Asia Tenggara. Sementara sumber lain mengatakan bahwa ia lahir di Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.

Sunan Gunung Djati dikabarkan menikah dengan saudara perempuan Trenggono, yaitu Sultan Demak, dan pernah memimpin ekspedisi militer Demak melawan Sunda dengan julukan Fatahillah. Dia mengalahkan Portugis di pangkalan Sunda Kelapa dan memberi nama menjadi Jayakarta pada tahun 1527. Sampai hari ini, kemenangannya atas Portugis diperingati sebagai hari jadi resmi berdirinya Jakarta.

Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Djati, Cirebon dikenal juga sebagai Jalur Sutra. Ini karena ada Pelabuhan Muara Jati yang berada di lalu lintas utama kawasan tersebut telah menjadi arena perdagangan internasional.

Pelabuhan tersebut adalah jalur utama transportasi yang menghubungkan Cirebon dengan wilayah-wilayah lain. Kota ini pun menjadi sibuk dan ramai karena menjadi tempat persinggahan bagi setiap budaya, gerakan, dan pemikiran yang melintasi kawasan tersebut.

Oleh sebab itu, Sunan Gunung Jati meneruskan pendahulunya, mengembangkan pusat Kesultanan Islam Cirebon yang berada di Keraton Pakungwati. Dalam keraton tersebutlah Sunan Gunung Jati mulai membangun dan mengembangkan Kesultanan Cirebon sampai dengan pengunduran dirinya hingga wafat.

Para ziarah Makam Sunan Gunung Jati hanya boleh berkunjung hingga bata depan pintu serambi. Pada waktu-waktu tertentu dibuka  selama beberapa menit dan dijaga jika ada yang memaksa masuk saat ramai pengunjung. Dari pintu yang diberi nama “Selamat Tangkep” tersebut, terlihat  puluhan  tangga dan beberapa pintu lagi menuju Makam Sunan Gunung Jati.

Untuk peziarah penganut tradisi Tionghoa, disediakan ruangan khusus pada bagian barat serambi muka tersebut yang bertujuan agar peziarah tidak merasa saling terganggu karena cara ziarah yang berlainan. Alasan lain karena posisi makan Nyi Ong Tien berada disebelah Barat makam Sunan Gunung Jati (suaminya) dan beberapa makam keluarga serta kerabat Keraton yang berada dalam satu cungkup bangunan.

Sebanyak tiga kali seminggu, makam-makam tersebut dibersihkan dan diperbarui dengan rangkaian bunga yang segar oleh juru kunci yang bertugas setiap hari senin, kamis dan hari jumat.

Pada hari Senin dan Kamis, juru kunci masuk dari pintu dapur pesambangan pada pagi hari. Sedangkan pada Jumat petugas masuk melalui pintu serambi muka tempat peziarah di siang hari. Karena itu, secara rutin pintu “Selamat Tangkep” yang memperlihatkan cungkup Makam Sunan Gunung Jati dibuka setiap Jumat atau setiap acara penggantian petugas pada sore hari setiap setengah bulan.

Demikian tempat-tempat wisata religi Cirebon yang dapat Anda kunjungi untuk menenangkan hati atau mengenang sejarah peradaban islam di Kota Cirebon.