Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto telah resmi dilantik presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai menteri pertahanan. Terkait masuknya ia ke koalisi pemerintah, Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris pun memberi catatan.
Syamsudin menilai, seharusnya presiden tak memasukan Prabowo ke dalam koalisi pemerintah. Dengan begitu, proses pemilihan umum yang dilaksanakan secara demokrasi menjadi percuma. Sebab, baik yang menang maupun kalah, sama-sama bisa berkuasa di pemerintahan.
Menurutnya, demokrasi yang baik adalah politik yang menjunjung tinggi posisi koalisi dan oposisi. "Jika sudah begini, kita bukan lagi negara demokrasi, melainkan negara integralistik atau negara dengan konsep kekeluargaan," kata Syamsuddin dalam diskusi mencermati kabinet Jokowi jilid II di Upnormal Coffee Roaster Raden Saleh, Jakarta, Selasa (22/10).
(Baca: Masuk Kabinet, Prabowo Dulu Sering Sindir Sri Mulyani soal Utang)
Selain itu, ia pun merisaukan posisi Prabowo yang akan menjadi Menteri Pertahanan. Menurut Syamsudin, menteri pertahanan merupakan salah satu posisi yang cukup kuat dan strategis dalam pemerintahan.
Sedangkan dalam sistem ketatanegara Indonesia, dia mengingatkan tentang sebuah dewan yang berfungsi sebagai triumvirat.
Triumvirat sendiri merupakan posisi sementara bagi pihak tertentu, untuk memimpin negara jika terjadi kekosongan kekuasaan ataupun bila presiden dan wakil presiden tidak dapat memimpin jalannya pemerintahan karena satu dan lain hal. Kebijakan itu sebelumnya diatur dalam pasal 8 ayat 3 UUD 1945.
(Baca: Belasan Tokoh Potensial Jadi Wajah Baru di Kabinet Jokowi)
Maka dari itu ia meminta masyarakat seperti media, akademisi dan lain-lain untuk mengingatkan pemerintah akan hal tersebut dan meminta pemerintah tetap berjalan di jalurnya.
Adapun menilai alasan Prabowo masuk ke koalisi pemerintah saat ini lantaran tak memiliki peluang dalam pemilu 2024 karena faktor usia dan pesaing baru yang lebih muda.