Badan Arbitrase Tangani Banyak Kasus di Sektor Konstruksi Sejak 2014

Donang Wahyu|KATADATA
Suasana gedung-gedung perkantoran di DKI Jakarta difoto dari ketinggian.
28/3/2019, 19.41 WIB

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) mencatat pihaknya menangani 473 kasus sengketa dalam lima tahun terakhir. Dari jumlah tersebut, perkara arbitrase terkait konstruksi merupakan yang paling banyak ditangani BANI.

BANI merupakan lembaga independen yang memberikan beragam jasa yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan. BANI didirikan pada tahun 1977 oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

Ketua BANI Hussayn Umar mengatakan, perkara arbitrase di sektor konstruksi paling banyak seiring gencarnya pembangunan infrastruktur di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. "Sengketa di bidang konstruksi paling banyak karena infrastruktur begitu berkembang," kata dia di kantornya, Jakarta, Kamis (28/3).

(Baca: Pembangunan Infrastruktur Masif, Akankah Dongkrak Ekonomi?)

Secara rinci, perkara di sektor konstruksi yang ditangani BANI mencapai 27,09% dari total kasus yang ditangani lembaga tersebut sepanjang 2014-2018. Jenis perkara lainnya yang banyak ditangani, yakni sewa-menyewa sebesar 24,6%, kemudian di sektor teknologi, informasi, dan komunikasi sebanyak 13,01%.

Selebihnya, perkara lain-lain sebesar 13,01%, perkara jual beli sebesar 8,3%, energi dan sumber daya mineral 5,88%, transportasi 2,85%, investasi 2,67%, asuransi 1,43%, keagenan 0,89%, dan keuangan sebesar 0,18%.

(Baca: OJK Akan Gabungkan 6 Lembaga Penyelesaian Sengketa Jasa Keuangan)

Hussayn mengatakan, pihak yang bersengketa arbitrase di bidang konstruksi banyak berasal dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Konstruksi. Meski begitu, ada pula pihak dari perusahaan swasta baik dari dalam dan luar negeri.

"Ada Waskita Karya dan lainnya, tapi ada juga yang terlibat perusahaan asing dari Korea dan Jepang. Hanya saja mereka bekerja sama dengan Indonesia," kata dia.

Arbitrase Semakin Diminati

Jumlah perkara yang ditangani BANI dalam lima tahun terakhir meningkat ketimbang periode lima tahun sebelumnya. Pada 2010-2014, total perkara yang ditangani BANI sebanyak 310 kasus, pada 2005-2009 sebanyak 132 kasus, dan pada 2000-2004 hanya 93 kasus.

Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia (UI) Zen Umar Purba mengatakan, gugatan arbitrase mengalami peningkatan karena dianggap lebih efisien dan efektif dibandingkan mekanisme perdata melalui pengadilan. Jika melalui pengadilan, suatu perkara perdata harus melewati tahapan panjang.

Ia memaparkan, pihak yang berperkara harus melalui sidang pertama di Pengadilan Negeri, banding di Pengadilan Tinggi, kasasi di Mahkamah Agung (MA), dan peninjauan kembali (PK) hingga putusan final dan mengikat. Hal tersebut membutuhkan waktu kurang lebih lima tahun.

Sementara itu, putusan arbitrase paling lama hanya butuh waktu 180 hari. “Mereka rugi sekali jika harus ikut acara (pengadilan) begini," kata Zen.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia juga lebih dipilih dibandingkan arbitrase internasional karena eksekusinya lebih mudah. Sekretaris Jenderal BANI Krisnawenda mengatakan putusan arbitrase internasional memakan waktu lama.

Jika putusan arbitrase internasional berkaitan dengan aset negara, maka hal tersebut harus akan terlebih dulu disampaikan ke MA. Dari MA, putusan arbitrase internasional akan dikirimkan kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Setelah itu, putusan arbitrase internasional dikirimkan ke Pengadilan Negeri sesuai daerah perkara untuk bisa dieksekusi. "Sekarang bandingkan kalau orang berperkara arbitrase di Indonesia, itu eksekusinya langsung," kata dia.

Reporter: Dimas Jarot Bayu