Kontraktor minyak dan gas bumi (migas) mempertanyakan rencana peraturan kewajiban membuat kapal Floating Production Storage and Offloading (FPSO) di dalam negeri. Sebab, rencana peraturan yang tengah digodok Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) itu dikhawatirkan akan menyuburkan praktik monopoli.
Joint Venture and PGPA Manager Ephindo Energy Private Ltd Moshe Rizal Husin mengatakan, pengembangan industri dalam negeri dengan mewajibkan penggunan produk lokal membutuhkan iklim kompetisi yang sehat. Tujuannya agar dapat menekan harga serta meningkatkan kualitas barang yang akan dijual. “Jangan jadi ajang monopoli segelintir pengusaha,” kata dia kepada Katadata beberapa hari lalu. (Baca: Ada Insentif, Investor Asing Berminat Bangun Galangan Kapal)
Menurut Moshe, banyak biaya produksi di dalam negeri yang tidak kompetitif dibandingkan dengan biaya di luar negeri. Alhasil, kalau kebijakan tersebut dipaksakan maka biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor kian membengkak.. Dampak lanjutannya adalah penerimaan negara bakal berkurang karena biaya itu akan dibayarkan juga oleh pemerintah melalui skema cost recovery atau pengembalian biaya operasi.
Karena itulah, Moshe meminta pemerintah mempersiapkan terlebih dahulu industri konstruksi atau galangan kapal dalam negeri. Dengan begitu, akan menciptakan iklim yang kompetitif bagi industri galangan kapal di dalam negeri dan pemerintah dapat mengontrolnya. “Tidak sekadar mengeluarkan regulasi,” kata dia. (Baca: Kontraktor Migas Akan Wajib Gunakan Kapal FPSO Buatan Lokal)
Sementara itu, Kepala Divisi Survei dan Pemboran Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Ngatijan mengatakan, rencana mewajibkan pembangunan kapal FPSO di dalam negeri diharapkan bisa meningkatkan penggunaan komponen dalam negeri. Mengingat ada batasan penggunaan barang dalam negeri seperti tertuang dalam Pedoman Tata Kerja Nomor PTK-007/ SKK00000/2015/SO tentang pengelolaan rantai suplai. “Ini untuk memacu industri galangan kapal dalam negeri,” ujar dia.
Berdasarkan catatan SKK Migas, pertumbuhan TKDN industri hulu migas tahun lalu sebesar 64,49 persen. Pencapaian tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang 10 tahun terakhir. Adapun komitmen pengadaan barang dan jasa dalam menggenjot TKDN tersebut bernilai US$ 6,52 miliar.
Tapi, SKK Migas masih membutuhkan tanggapan dari kontraktor migas sebelum mengeluarkan aturan tersebut. Bahkan, untuk mengetahui respons dari kontraktor, SKK Migas sudah mengirimkan surat pemberitahuan dengan batas waktu tanggapan hingga 1 Juni mendatang.
Sebelumnya, Deputi Pengendalian Dukungan Bisnis SKK Migas Rudianto Rimbono optimistis industri galangan kapal di dalam negeri dapat membuat FPSO untuk kebutuhan kontraktor migas. Apalagi, galangan kapal Indonesia selama ini tidak hanya melayani kebutuhan dalam negeri tapi juga pasar global. (Baca: Dua Aturan Ini Bikin Galangan Kapal Nasional Sulit Bersaing)
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, saat ini ada sebanyak 250 galangan kapal di Indonesia. Sekitar 70 di antaranya berlokasi di Batam, Riau. Lokasi ini dianggap strategis karena berdekatan dengan Singapura. Sementara pemerintah memiliki empat galangan, yakni PT IKI di Makasar, PT DOK Kota Bahari di Jakarta, PT PAL di Surabaya, dan PT DOK Perkapalan di Surabaya.